Diskusi Komunitas Utan Kayu
Adonis, Sang Penyair Politis Adonis lahir dan besar di Syria, melanjutkan pendidikannya di Libanon yang menjadi bagian kawasan yang disebut Timur Tengah. Jamaknya kawasan ini dipandang hanya diidentikkan dengan satu tradisi: Islam. Oleh karena itu, St Sunardi Ketua Program Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta yang menjadi narasumber dalam bedah buku Adonis al-Tsabit wal Mutahawwil 21/2 di Teater Utan Kayu memulai pemaparannya dengan memberikan klarifikasi tentang kawasan Timur Tengah itu. Sunardi menyatakan bahwa Timur Tengah merupakan bagian besar sebuah kawasan Mediterania (Laut Tengah). Dan sepanjang sejarah, kawasan Mediterania ini tempat bertemunya budaya-budaya besar: Mesir Kuno, Yunani Kuno (Helenistik, khususnya sejak Iskandaria menjadi ibu kota), Romawi Kuno, Kristen (Koptik, Maronit, dsb), Islam dan Eropa. Pandangan seperti inilah yang seharusnya digunakan oleh siapa pun yang ingin menilai kawasan itu, dan menghindar praktik yang disebut oleh Sunardi stereptipisasi ideologis. Dan demikianlah konteks karya Adonis tersebut. Buku Adonis tersebut berikhtiar mencari proses pembakuan kebudayaan Arab-Islam pada aras politik, keagamaan, dan seni. Kencenderungan umum ini pun bisa dipahami, kawasan tersebut yang pernah lahir peradaban-peradaban besar, namun mengapa nasib yang terjadi saat ini justeru kemunduran? Begitulah Adonis menghadirkan secara pararel dua kekuatan dalam sejarah kebudayaan Arab-Islam yang masing-masing berorientasi pada ittiba atau al-qadim (masa lalu, imitasi, status quo) dan ibda atau al-hadatsah (inovasi, modernitas, pembaharuan). Gerakan pembaharuan hakikatnya bagi Adonis juga merupakan dasar (ushul) yang terdapat dalam budaya Arab-Islam, namun dalam perjalanan sejarahnya kekuatan ini dikalahkan, dan dikubur oleh kekuatan yang pertama. Sehingga warisan yang sampai pada umat Arab-Islam saat ini hanyalah satu warisan saja, yakni warisan yang berorientasi pada masa lalu dan pro status quo. Untuk itu, Adonis mengajak untuk melakukan dekonstruksi (al-hadam) melalui proses internal budaya Arab-Islam sendiri, dengan menggantikan warisan yang regresif dengan warisan yang progresif. Bagi Sunardi, buku Adonis ini dari sisi informasi historis, data dalam buku tersebutlah tidaklah baru, terutama bagi orang yang sudah terbiasa dengan sejarah Islam. Barangkali yang agak asing bagi pembaca di Indonesia adalah berbagai informasi menarik yang berkaitan dengan sastra yang bisa ditemukan dalam buku ini dan yang tidak diketahui orang kebanyakan. Lebih dari itu, keunikan buku ini terletak dari ulasan seorang Arab yang hidup di jaman modern namun mendapatkan masyarakat dan lingkungannya sedang terpuruk. Mengapa mentalitas orang Arab cenderung mandeg? Di mana bakat kreativitas Arab dikuburkan? Bukankan pada jaman modern justeru kreativitas yang dijunjung tinggi dan bukannya kemapanan? Bukankan kreativitas itu modern dan modernitas itu kreatif? Namun bagi Sunardi, Adonis tidak bermaksud mengajak pembacakhususnya orang-orang Arabmeromantisasi masa lalu (walaupun kadang-kadang ini tidak bisa dihindarkan). Dia benar-benar sedang mencari semacam conditions of possibility bagi budaya Arab yang kreatif. Adonis juga memberikan gambaran yang hiperbolik (juga tragis) tentang perjalanan sejarah peradaban Arab-Islam yang mengalami defenseless saat berhadapan dengan dunia modern. Singkatnya bagi Sunardi, karya Adonis tersebut menjadi semacam percakapan tentang the rise and fall of Arab creativity. www.utankayu.org --------------------------------- Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now. [Non-text portions of this message have been removed]