Jurnal Sairara:
   
   
  Kepada Saudara Taufiq Ismail 
   
   
  3.
   
   
  MENCOCOKKAN DATA
   
   
  Faktor penting untuk mencari dan mendapatkan kebenaran dari kenyataan adalah 
keniscayaan mendapatkan data-data yang akurat, check-recheck akan data-data itu 
menjadi penting. Kiranya mendapatkan kebenearan dari kenyataan sulit diperoleh 
jika kita berangkat  berangkat dari data rekaan. Sama sulitnya jika kita 
bertolak dari dermaga apriorisme dan mutlak-mutlakan sehingga  menempatkan 
pencarian di rumah tahanan. Mutlak-mmutlakan akan menutup toleransi. 
Mencocokkan data agar bisa jadi milik bersama dalam melihat suatu masalah, 
kukira tidak ada bau-baunya dengan  menghujat dan dendam, mencari menang 
sendiri. Data adalah dasar membuat tafsiran dan evaluasi.
   
   
  Lalu bagaimana akuratisasi data Taufiq Ismail? Untuk ini aku ambil alinea 
pertama artikel pertama dari "respons" beliau yang mengatakan:
   
   
  "Pada hari bulan 9 Juni 2000, di aula Fakultas Sastra Universitas Indonesia 
diadakan diskusi bertajuk Marxisme-Leninisme dalam Perspektif Budaya. Untuk 
kedua kalinya sesudah 38 tahun (pertama kali ialah dalam Musyawarah Federasi 
Teater se-Indonesia, Desember 1962 di Yogyakarta) wakil dari dua kelompok 
seniman-budayawan yang berseteru di masa Demokrasi Terpimpin bertemu di dalam 
sebuah forum terbuka". 
   
   
  Akuratkah data ini?
   
   
  Jauh sebelum tahun 1962, oleh Konferensi Daerah Lembaga Sastra [Lestra] Lekra 
Jawa Tengah, aku sudah dipilih sebagai orang pertama Lestra Jawa Tengah.  
Sebagai orang pertama, aku merasa niscaya mengikuti semua kegiatan sastra-seni 
yang berlangsung di propinsi ini, termasuk di daerah Daerah Istimewa 
Yoygakarta, di mana aku menjadi orang pertama Lekra Kota Yogyakarta. Dengan 
mengikuti langsung semua kegiatan sastra-seni di propinsi  Jawa Tengah dan 
Daerah Istimewa Yogyakarta serta  Kota Yogyakarta, sebagai ibukota DI 
Yogyakarta, aku ingin memiliki data-data akurat, lalu berbicara serta 
mengavaluasi keadaan atas dasar data-data tersebut. Tidak berdasarkan rekaan. 
Berdasarkan sikap ini, sekali pun tanpa undangan resmi,  maka aku bersama 
penyair dan dramawan Timbul Darminto, esais Z.Afif alm. asal Aceh[meninggal di 
Swedia],  penyair Putu Oka,  hadir  di dalam Musyawarah Teater Seluruh 
Indonesia [MTSI] dan bukannya "Musyawarah Federasi Teater se-Indonesia" seperti 
yang
 dikatakan oleh Taufiq Ismail. Ya memang tujuan penyelenggaraa MTSI yang 
berlangsung di pendopo Akademi Seni Drama dan Filem Indonesia [ASDRAFI], Ngasem 
ini, antara berharap membentuk suatu federasi teater se Indonesia.  Sedangkan 
tema yang diangkat pun sama sekali bukan seperti yang dikatakan oleh Taufiq 
Ismail adalah "Marxisme-Leninisme dalam Perspektif Budaya". 
   
   
  Jika memperhatikan  pembicaraan-pembicaraan dalam MTSI di Nagsem ini, maka 
masalah yang sangat menonjol dibicarakan adalah soal  Manipol dalam kaitannya 
dengan teater, sastra dan seni. Dan sama sekali tidak menyentuh soal 
"Marxisme-Leninisme Dalam Perspektif Budaya" seperti yang dikatakan oleh 
Saudara Taufiq Ismail. Aku tidak tahu apakah Saudara Taufiq Ismail hadir 
langsung dalam Musyawarah yang tidak bisa dikatakan berhasil karena tidak bisa 
mengambil jalan keluar dari perbedaaan pandangan yang jelas antara kelompok 
Manipolis dan yang tidak setuju dengan  Manipol. Kelompok Manipolis ini, 
terutama diwakili  didominasi oleh pekerja teater  dari Jawa Timur yang bukan 
orang-orang Lekra. Rustandi Kartamihardja KH, dalam Musyawarah ini berpihak ke 
kelompok Manipolis yang didominasi oleh wakil-wakil Jawa Timur. Dari Lekra Jawa 
Tengah hanya kami berempatlah yang hadir dan sama sekali tidak merupakan 
kekuatan dominan dibandingkan dengan jumlah yang serta dalam MTSI. 
   
   
  Tidak berapa lama setelah MTSI berlangsung  maka muncullah yang kemudian 
dikenal dengan Manifes Kebudayaan disusul oleh Koferensi  Karyawan  Pengarang 
Seluruh Indonesia di Jakarta , yang  kemudian oleh Harian Bintang Timur, 
Jakarta [kalau tidak salah menyatakan diri berafiliasi dengan Partindo],   
disingkat menjadi  KKPSI -- yang dilihat dari sikon pada tahun 60an,  sebuah 
singkatan yang bersifat politis.  
   
   
  Agaknya pada tahun 60an, campur tangan partai-partai politik , termasuk 
Angkatan Darat dalam dunia sastra-seni sangat intens. Sastrawan-seniman 
diperebutkan oleh kekuatan-kekuatan politik tanpa kecuali, hingga muncul 
lembaga kebudayaan ini dan itu sehingga tidak sedikit sastrawan-seniman yang 
menjadi partisan kekuatan politik tertentu. Barangkali keadaan ini disebabkan 
karena partai-partai dan kekuatan politik non partai politik, pada waktu itu 
menyadari posisi dan pengaruh sastrawan-seniman.  
   
   
  Adalah benar bahwa Marxisme tanpa Leninisme pada tahun2 64-65 disarankan 
untuk diajar di Universitas-universitas. Benar juga bahwa dalam kerangka mata 
pelajaran civic di SMP-SMA,  Manipol diajarkan. Sebagai pengajar mata pelajaran 
civic di salah sebuah SMP dan SMA di Yogayakarta, sesuai dengan petunjuk 
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada waktu itu, aku pun turut mengajarkan 
Manipol.
   
   
  Tapi apakah Manipol sama dengan Marxisme? Sebatas pengetahuan dan bacaanku, 
aku tidak pernah mengetahui dan membaca bahwa ada pimpinan PKI yang mengatakan 
bahwa Manipol adalah identik dengan program dan konsep PKI. Manipol adalah 
konsep atau gagasan Soekarno. 
   
  Lalu soal Marxisme, apakah salahnya mengenal Marxisme secara sebenarnya? Di 
Perancis, Marxisme diajarkan sebagai salah satu aliran sosiologie yang tak 
terabaikan. Mengajarkan Marxisme di Perancis, tidak serta-merta sejajar dengan 
maksud menjadikan para pelajar menjadi Marxis, tapi lebih bertujuan untuk 
mengenal apa bagaimana sesungguhnya Marxisme itu, sehingga para pelajar tidak 
memahami  Marxisme berdasarkan ilmu kuping. Jika ia menerima atau tidak 
menerimanya maka penerimaan dan penolakan itu adalah  berdasarkan pemahaman". 
Jika informasi yang kudapatkan benar dikatakan bahwa  bahkan peserta SESKOAD di 
Bandung pun mempelajari Marxisme. Aku lalu membayangkan, ooo,  betapa 
menyenangkan dan akan menambah pengetahuan pendengar, termasuk diriku, jika 
berlangsung suatu  diskusi sehat, tenang tanpa emosi  mengenai Marxisme. 
Apalagi jika aku melihat apa yang terdapat di Perancis atau Eropa Barat secara 
lebih luas, sebagai contoh, akhirnya Marxisme dan Marxisme itu ada
 macam-macam. Pergulatan pikiran yang ditunjukkan oleh Internasionale II  saja 
barangkali bisa memperlihatkan bahwa Marxisme dan Marxisme itu tidak tunggal.  
Aku selamanya tertarik mencoba memahami alur pikiran siapa pun, dari mana pun 
datangnya. 
   
   
  Karena itu, tema diskusi bertajuk Marxisme-Leninisme dalam Perspektif Budaya  
seperti yang dituturkan oleh Saudara Taufiq Ismail, jika dibahas dengan tenang 
barangkali akan memberikan banyak manfaat. Paling tidak merupakan ayunan 
langkah untuk penyadaran. Inikah yang terjadi?  Tentu Taufiq lebih tahu. Dan 
kukira akan sangat berharga  dan masih relevan jika Saudara Taufiq Ismail 
bersedia membuat ikhtisar diskusi tersebut untuk dipelajari bersama.  
   
   
  Apa yang kuajukan di atas terhadap alinea pertama "respons" bagian pertama 
Saudara Taufiq Ismail hanyalah acuan bandingan guna mencocokkan data sebagai 
bagian dari metode berpikir: mencari kebenaran dari kenyataan.   
   
   
    Selanjutnya dalam kerangka mencocokkan data ini pula, aku memasuki alinea 
kedua "respons" bagian pertama Saudara Taufiq Ismail  yang berbunyi sebagai 
berikut:
   
   
  "Untuk pertama kalinya Asrul Sani dan saya akan berhadapan dengan Pramoedya 
Ananta Toer dan (penyair Lekra) Putu Oka Sukanta.  Dua hari sebelumnya 
tiba-tiba Asrul Sani sakit  dan Putu Oka berhalangan. Asrul digantikan (dosen 
sosiologi) Imam Prasodjo dan Putu Oka digantikan (sastrawan) Martin Aleida. 
Rocky Gerung, mahasiswa kekiri-kirian yang jadi moderator sejak awal sudah 
terasa selalu berusaha memojokkan saya. Dia tidak berhasil".
   
   
  Sebagai data, apakah data yang tertera di alinea ini akurat?

   
   
  Sebelum memasuki alinea kedua ini, masih kurasakan perlunya menggarisbawahi 
uluran tangan dan pikiran rekonsiliasi Saudara Taufiq Ismail dengan kembali 
mengatakan tanpa bosan bahwa dua tangan telah saling terulur tapi sudahkah 
jari-jari dua tangan terulur itu secara hakiki sudah bersentuhan dan berjabatan 
dalam artian hakiki rekonsialiasi nalar? Untuk mengejawantahkan harapan dan 
mimpi ini sekali lagi dan lagi-lagi, barangkali  memang diperlukan  sikap dan 
usaha untuk tetap :"Courage,  un petit peu encore des efforts" [Ayo, 
berusahalah lebih keras sedikit lagi]."Courage,  un petit peu encore des 
efforts" [Ayo, berusahalah lebih keras sedikit lagi] untuk menjungkirbalikkan 
keadaan guna mewujudkan rekonsialisi yang republiken dan berkindonesiaan. 
Adakah kita punya keberanian begini? Rekonsiliasi agaknya mengandung juga 
faktor keberanian berobah dan mengobah secara nalar. ****
   
   
  Paris, Mei 2008
  ----------------------
  JJ. Kusni, pekerja biasa pada Koperasi Restoran Indonesia di Paris.
   
   
  [Bersambung .....]

       
---------------------------------
 Yahoo! Toolbar is now powered with Search Assist.   Download it now! /a

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke