Jumpa lagi, dan langsung ikut komentar tentang Bank Syariah ini meskipun bukan 
ahlinya.

Hingga kini, menurut pandangan saya, persoalan di Bank Syariah terletak pada 
paradigma awal yang sempit, yaitu soal riba dan non-riba. Memang tidak salah, 
karena ini adalah persoalan yang mendasar dalam sistem Islam. Namun, gara-gara 
ini akhirnya sulit untuk melakukan pengembangan pada tataran praktis. Padahal, 
banyak hal yang harus dituntaskan mengingat persoalan bank tidak semata soal 
pinjam-meminjam, kredit. Secara sederhana, kita bisa mulai bertanya bagaimana 
manajemen perbankan Syariah, bagaimana pengelolaan modal dan strateginya, apa 
saja jasa yang bisa ditawarkan, bagaimana format yang ideal dalam 
pelaksanaannya, bagaimana mengelola risiko. Ini baru dari sudut pandang intern 
perbankan itu sendiri. Masih banyak unsur lain yang sangat terkait: nasabah 
(bagaimana agar bisa dijaring untuk menggunakan jasa, pelayanan, kepuasaan, 
kelancaran aktivitas, dll); pihak ketiga yang menjadi partner bisnis; regulasi; 
lembaga penjaminan kredit; dan lain-lain.

 

Saya pribadi optimis dengan Sistem Ekonomi Syariah meskipun apa yang 
berlangsung sekarang belum mencapai taraf yang diharapkan (ideal). Barangkali 
ini adalah alasan di balik pelaksanaan sistem Syariah yang belum menunjukkan 
hasil yang memuaskan, alasan kenapa banyak orang mengatakan bahwa Syariah hanya 
label dan tidak ada beda signifikan dengan BK. Pada sisi lain, para pendukung 
sistem Syariah lebih memilihnya karena faktor non-riba sebagaimana ajaran 
agama, terlepas dari bagaimana pelayanan dan sejauh mana manfaat yang 
didapatkan dari produk, jasa, dan sistemnya dibandingkan dengan apa yang ada 
pada BK.

 

Mungkin juga, alasan mereka yang mengatakan hanya label bahwa pada kenyataannya 
sistem Syariah lebih fokus kepada bagaimana menjaring konsumen, khususnya para 
pendukungnya yang di negara ini sangat besar potensinya mengingat masyarakat 
muslim adalah mayoritas. Sebagai ilustrasi, soal non-riba saja masih dipandang 
sebatas layanan yang ditawarkan kepada konsumen dengan cara pendirian unit-unit 
Syariah oleh bank-bank konvensional. Bukankah modal yang terhimpun dan 
tersalurkan pada unit ini akhirnya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari 
sistem utama bank itu sendiri. Sederhananya, uang halal secara syariah dan uang 
haram atau syubhat atau tidak jelas juga akan bercampur baur. Jika demikian, 
apa artinya pelabelan Syariah pada unit yang menawarkan produk-produk Syariah?

 

Pada sisi konsep sendiri, juga ada beberapa produk yang tidak ada bedanya 
dengan produk bank konvensional dari segi keuntungan kecuali pada bentuk 
pelaksanaannya. Sebagai contoh, produk murabahah. Kasus yang disampaikan oleh 
Bung Donnie di sini, saya perhatikan, adalah bentuk murabahah. Bisa dilihat 
perbedaannya pada contoh kasus berikut ini.

 

Donnie ingin membeli rumah seharga 200 juta. Uang Donnie hanya 50 juta. 
Kebutuhan modal pembelian ini adalah 150 juta. Agar bisa membeli rumah, Donnie 
datang ke salah satu bank untuk mendapatkan modal. 

 

(1)    Pada bank syariah, produk murabahah bisa diterapkan: bank akan membeli 
kontan rumah tersebut seharga 150 juta dan menyerahkannya kepada Donnie dalam 
bentuk jual beli lagi dengan harga yang lebih besar dari 200 juta dan Donnie 
membayarkanya secara cicilan sebesar nominal dan dalam periode waktu yang 
disepakati oleh kedua belah pihak. Katakanlah harga yang ditawarkan oleh bank 
+12% menjadi 224 juta untuk jangka waktu 5 tahun. Artinya, margin keuntungan 
bank dari modal 200 juta yang dikeluarkan adalah 24 juta untuk jangka waktu 5 
tahun. 224 juta / 60 = 3.735.000 ribu per bulan. Jika Donnie setuju, 
dilaksanakanlah sistem ini. Bagaimana bank menentukan margin ini sangat 
tergantung dengan kondisi ekonomi, kelancaran keuangan, cost recovery, dan 
faktor-faktor lain yang lebih mendalam dibahas dalam buku-buku operasional dan 
manajemen Bank Syariah lengkap dengan ada rumusan dan strateginya.

(2)    Pada bank konvensional, katakanlah Donnie pinjam 200 juta dengan bunga 
12%, kira-kira apa bedanya dengan produk murabahah? Bedanya hanya terletak pada 
sistem interaksi antara Donnie dan pihak bank, yang pada bank syariah unsur 
riba tidak ada lagi karena penawaran bank adalah harga jual rumah oleh pihak 
bank kepada Donnie dengan menyebutkan harga asli pembelian yang akan dilakukan 
apabila deal dan margin keuntungan bank sendiri. Ini pun masih menjadi 
perdebatan ulama tentang kebolehan harga tinggi daripada harga asal karena 
faktor waktu (pembayaran cicil dan tunda). Oleh Ulama Kontemporer dinyatakan 
boleh dengan pertimbangan bahwa waktu juga bernilai uang dari segi bisnis, beda 
dengan pandangan banyak ulama fikih klasik.

 

Ini baru pada bentuk produk yang digunakan. Belum lagi soal administrasi dan 
lain-lain memandang pelayanan dan kepuasaan juga penting.  Dilihat dari contoh 
di atas, bisa dibayangkan bahwa untuk satu proses saja memerlukan tahapan 
sistem yang tidak fleksibel. Ini tantangan bagi pengembangan Ekonomi Syariah 
sebenarnya. 

 

Meskipun demikian, saya tidak ingin pesimis karena nyatannya Ekonomi Syariah 
memang tergolong baru segi konsepsi keuangan modern dan ketentuan-ketentuan 
hukum yang telah banyak dibahas oleh ulama fikih klasik menjadi acuan untuk 
pengembangan pada sisi konsep dan hukumnya. Untuk pengembangan produk, tentu 
saja masih sangat diperlukan berbagai terobosan. 

 

Hal yang lebih penting, sistem ekonomi Syariah harus dilihat dan dipraktikkan 
secara integral. Itu jauh dari mungkin dengan bentuk bank konvensional hanya 
membuka unit syariah. Jadi, ini memang tantangan besar bagi para penggiat, 
peneliti, para ahli, dan mahasiswa yang berkecimpung dalam kajian ekonomi 
Syariah. Tidak sebatas kepada persoalan konsep dan hukum, tetapi juga manajemen 
keuangan, manajemen administrasi, manajemen risiko, manajemen bisnis, dan 
seterusnya.

 

Demikian komentar saya, terimagajih hehehe

 

Wassalam

Aman

   

 

From: wanita-muslimah@yahoogroups.com [mailto:[EMAIL PROTECTED] On Behalf Of 
Donnie
Sent: Friday, May 30, 2008 9:27 AM
To: wanita-muslimah@yahoogroups.com
Subject: Re: [wanita-muslimah] Makna di Balik Syariah

 



apa yang aku pahami dari paparan ini adalah:
Bank syariah didirikan oleh orang Islam, asal uang Bank dan kemana 
uang Bank diinvestasikan harus dalam bisnis yang halal, terus apabila 
dapat keuntungan tidak boleh berpamer-pamer.

Dapat keuntungannya dari mana? kenapa banyak yang bilang kalo mau 
pinjam di Bank Syariah lebih berat daripada di Bank non Syariah. 
kemaren ada yang posting buat ngajuin kredit aja administrasinya 
harus dibayar dimuka...

Pengalaman saya pernah mau ngajuin kredit rumah. Kebetulan 
developernya punya koneksi di BNI syariah. Demi kelancaran 
pembayaran (kalo developer kenal baik dengan banknya) dan mencoba 
untuk berbisnis dalam bingkai keIslaman, meluncurlah saya kesana.
Hmm.. syaratnya book.. nggak fleksible sama sekali. Buat saya yang 
buruh tidak tetap dengan sumber penghasilan yang tidak tetap pula 
(meskipun kalo dipaksa-paksain bisa juga membayaran cicilan kredit), 
mereka sama sekali tidak bisa memfasilitasi kebutuhan saya. Harus 
punya gaji tetap, cicilan harus bisa dipotong langsung dari bendahara 
kantor.. dll

Lha pindah ke bank non syariah.. eh ternyata lancar jaya.. dan 
cicilan bisa juga lunas sebelum waktu jatuh tempo.

Moral of the story:
-Bank syariah (at least yang saya kunjungi waktu itu) kehilangan 
pasar potensial yang lebih cair kondisi finansialnya. Dan saya rasa 
saat ini potensi pasar yang seperti ini sangat besar diantara 
profesional muda.
-Apakah dengan memilih2 nasabah seperti itu bisa dibilang sesuatu 
yang Islami? Nasabah yang bener2 terjamin tidak akan membuat rugi 
Bank. Lha padahal namanya bisnis kan ada risiko ruginya.. :)

Donnie

On May 29, 2008, at 12:01 PM, Lina Dahlan wrote:
> Makna di Balik Syariah
>
> Merek atau label bisnis mencerminkan nilai (value) yang ingin kita
> tawarkan dari bisnis kita. Jadi, artinya ketika kita memberi
> label "syariah" pada bisnis kita berarti bisnis kita harus
> menjadikan nilai2 sayriah sbg penggeral dari seluruh proses bisnis
> yang ada, baik dari segi system, produk, distribusi keuntungan,
> hingga berbagai aspek bisnis lainnya.
>
> Ibarat rumah, bisnis syariah terdiri dari struktur bangunan yang
> tidak boleh terpisah satu sama lainnya. Fondasinya harus syariah,
> tiang2nya harus syariah, dan atapnya pun harus syariah. Kalau
> struktur bangunan tidak selaras, rumah tsb tidak akan bertahan lama.
> Pakar marketing, Hermawan Kartajaya mengatakan bahwa bisnis syariah
> tidak akan bertahan apabila hanya citra dan identitasnya saja yang
> syariah tetapi tidak disertai dengan integritasnya
>
> Fondasi Tiang dan Atap.
>
> 1) Fondasi "Tauhid (Iman)"
>
> Menurut Imam Ghazali, kebanyakan manusia seperti keledai yang
> memutar mesin penggilingan. Agar si keledai mau memutar
> penggilingan, di lehernya diikatkan kayu dan diujung kayu itu ada
> makanan. Seolah-olah makanan itu siap untuk disantap. Akan tetapi,
> si keledai tak mampu meraihnya. Setiapkali keledai itu bergerak,
> makananyapun ikut bergerak. Dorongan untuk makan makanan yang ada
> didepan mata yang memotivasi keledai bergerak. Dengan perumpamaan
> ini, Imam Gazhali ingin mengingatkan kita agar memiliki tujuan utama
> sebagai misi aktivitas kita. Jangan seperti keledai yang hanya
> berputar-putar mengejar makanan.
>
> Artinya, dalam berbisnis, kita tidak boleh hanya sekedar
> mengumpulkan keuntungan. Ada misi pokok yang kita harus emban
> sebagai khalifah Allah di muka bumi ini. Selain itu, bisnis yang
> kita bangun harus berdimensi kerahmatan bagi seluruh alam (rahmatan
> lil alamiin). Bisnis yang tidak merusak lingkungan. Bisnis kita
> harus menyumbangkan sesuatu kepada peradaban dunia. Di atas semua
> itu, apa yang kita lakukan bermuara pada satu titik: mencari ridha
> Allah.
>
> Kalau fondasi ini telah kita tanamkan dalam langkah bisnis, insya
> Allah tidak akan pernah mengenal lelah untuk membesarkannya.
> Walaupun ada halangan atau badai, badai pasti berlalu. :"Dan Ibrahim
> berkata,"Sesungguhnya aku pergi menghadap Tuhanku,d an Dia akan
> memberi petunjuk kepadaku." (QS37:99).
>
> Dari semua kerja keras yang kita lakukan untuk membesarkan bisnis
> kita, pada akhirnya adalah bekal untuk kembali menuju Allah Yang
> Maha Agung.
>
> 2) Tiang-Tiang Syariah
>
> Tiang2 inilah yang akan membentuk bangunan bisnis syariah kita.
> Artinya, seluruh proses bisnis dari awals ampai akhir,d ari proses
> input sampai proses output, harus dilakukan berlandaskan syar'I
> (AlQur'an dan As-Sunah).
>
> Rasulullah SAW bersabda,"Perumpamaan orang beriman itu bagaikan
> lebah. Ia makan yang bersih, mengeluarkan sesuatu yang bersih,
> hinggap di tempat yang bersih,d an tidak merusak atau mematahkan
> (yang dihinggapinya),: (HR Ahmad, Al-Hakim,d an Al-Bazzar). Lebah
> hanya hinggap ditempat pilihan. Lebah hanya mendatangi bunga,
> buah2an, atau tempat bersih lainnya yang mengandung nektar (bahan
> madu). Iapun mengeluarkan sesuatu yang bersih dan bermanfaat: madu.
>
> Begitulah seharusnya bisnis syariah kita. Semua berasal dari yang
> bersih: tidak ada modal dari korupsi, suap, penipuan, pencurian etc,
> Begitu juga outputnya mendatangkan manfaat bagi banyak manusia. Juga
> tidak merusak lingkungan,
>
> 3) Atap Penghayatan (Ihsan).
>
> Tiang, dinding, pintu dan jendela serta segala asesori tak akan
> bertahan lama bila tak dilindungi dengan atap dari serangan panas
> dan hujan. Begitupun bisnis syariah, bila tidak didukung oleh
> penghayatan (merasa dekat, melihat dan dilihat Allah), niscaya akan
> mudah rusak dan rapuh. Penghayaan disini akan menunjukkan kondisi
> kejiwaan kita yang merasa senantiasa diawasi oleh Allah. Perasaan
> ini akn melahirkan sikap hati-hati, waspada,d an terkendalinya
> suasana jiwa.
>
> Ketika seseorang berislam, beriman, tapi tidak berihsan, saat itu ia
> belum sampai apda ruh ajaran Islam. Ketika seorang Muslim naik haji
> tetapimasih saja korupsi, orang tsb belum sampai pada ruh ajaran
> Islam. Ketika kita sudahmenjalankan bisnis syariah dgn niat karena
> Allah, menjalankan sesuai syariah, tapi tidak melakukan pengharyatan
> ihsan dalam bisnis, kita belum sampai pada ruh bisnis Islam.
>
> Contoh sederhananya begini. Dari bisnis syariah kita mendapat
> keuntungan 2 Miliar. Untuk menunjukkan status , keuntungan 2 Miliar
> ini kita belikan mobil Jaguar versi terbaru. Padahal, kita sudah
> punya Avanza. Ini sah-sah saja bagi kita sesuai syariah. Namun, kita
> tidak merasa risih memamerkan gaya hidup bermewah-mewahan dengan
> simbul status mobil berharga miliaran sementara di sisi lain banyak
> masyarakat yang untuk makan saja sulit. Kalau bisnis syariah kita
> mampu kita hayati, kita tidak akan membeli mobil mewah ini. "Maka,
> celakalah bagi orang-orang yang mengerjakan sholat, yaitu orang2
> yang lalai shalatnya, orang2 yang berbuat riya' ". (QS107:4-6)
>
> Wassalam,
> Lina
>
> Sebagai akhir episode akan dipaparkan Perbedaan Bisnis Syariah dan
> Bisnis Konvensional, sbg kesimpulan.
>
>
> 

[Non-text portions of this message have been removed]

 



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke