FPI itu akidah nya Ahlussunnah, tapi model dakwah Wahabi. Hal ini terjadi 
karena infiltrasi faham Wahabisme ke dalam model2 perjuangan Rizieq. Bisa di 
fahami karena Rizieq adalah alumni Madinah, Saudi. Menyuruh FPI belajar kpd 
Natsir berarti tetap mengkiblatkan FPI ke Wahabism...karena Natrsir juga adalah 
Wahabism, walau sedikit moderat. Saya lebih cenderung menyuruh FPI belajar ke 
Gus Dur......

vic



----- Pesan Asli ----
Dari: Sunny <[EMAIL PROTECTED]>
Kepada: [EMAIL PROTECTED]
Terkirim: Sabtu, 6 September, 2008 06:22:16
Topik: [wanita-muslimah] FPI Perlu Meniru Strategi Natsir


http://www.gatra. com/artikel. php?id=118155

Bedah Buku
FPI Perlu Meniru Strategi Natsir

Membaca undangan bedah buku Hitam Putih FPI di sebuah milis, seorang jurnalis 
yang biasa memandu talkshow di salah satu televisi swasta bereaksi spontan. 
"Hitam-putih FPI? Emang-nya FPI ada putihnya?" ujar pria berkacamata minus itu, 
dengan senyum sinis.

Ketika diskusi buku itu berlangsung di Gedung Gatra, Kalibata, Jakarta Selatan, 
Kamis 14 Agustus lalu, seorang peserta berkerudung juga memprotes judul buku 
itu. Tapi dengan angle berbeda. "Aksi FPI selalu putih, tidak ada hitamnya," 
katanya, membela FPI.

FPI --kependekan dari Front Pembela Islam-- adalah organisasi yang berpusat di 
Jakarta, yang dikenal luas lantaran lantang merazia tempat hiburan. Mei lalu, 
FPI kembali jadi sorotan pada saat terjadi insiden di Monas. Ketua FPI, Habib 
Rizieq Shihab, sampai ditahan polisi untuk kedua kalinya. Kini ia tengah 
menjalani proses pengadilan.

Mengkaji gerakan sosial sarat pro dan kontra macam FPI rupanya harus siap 
menanggung reaksi pro-kontra pula. Walaupun diniatkan seimbang, bagi yang 
kontra-FPI, buku itu dinilai lunak. Bagi yang pro-FPI, buku itu dianggap 
menyudutkan. "Reaksi pro-kontra itu saya anggap risiko," kata Andri Rosadi, 
penulis buku yang diangkat dari tesis master di Jurusan Antropologi Universitas 
Gadjah Mada, Yogyakarta, itu. "Studi ini untuk memahami FPI, bukan menghakimi."

Pada saat penelitian, Andri membaur dalam pengajian rutin FPI, berinteraksi 
dengan anggota, mendalami kehidupan pribadi mereka, dan mengamati cara habib 
mengatasi pengaduan jamaah, mulai agenda organisasi sampai urusan pribadi. 
Andri mendapat gambaran model kepemimpinan Habib Rizieq yang penuh human 
interest. Bisa dipahami bila loyalitas anggota amat kuat.

"Habib itu orang paling bijak di muka bumi," ujar Tarmidi, anggota FPI asal 
Jakarta Utara yang menghadiri diskusi di Gatra. Dalam penelusurannya, Andri 
menemukan anggota yang semula antipati pada FPI akibat pencitraan media, tapi 
setelah menyaksikan langsung ceramah Habib Rizieq berubah jadi terpesona.

Tipologi anak muda yang menjadi anggota FPI juga teridentifikasi. Sebagian 
pemuda yang diwawancara mengaku termotivasi masuk FPI karena haus agama. 
Kehidupan mereka sebelumnya jauh dari panduan agama. Ada mantan pemuda nakal 
dan pernah dipenjara akibat perkelahian. Ia mengaku tertarik masuk FPI karena 
nalurinya sebagai petarung cocok dengan watak FPI yang lugas menindak.

Secara sosial, FPI tidak dilihat sebagai simpul yang berdiri sendiri, melainkan 
ditempatkan secara bertalian dengan elemen lain: negara dan masyarakat sipil. 
Aksi kekerasan FPI tidak hanya dibaca sebagai ekspresi problem internal FPI, 
juga cermin bahwa ada masalah di level negara. Misalnya, lemahnya penegakan 
hukum. Juga ada masalah di tingkat masyarakat, antara lain maraknya penyakit 
sosial.

Salah satu sumbangan orisinal buku ini adalah temuan friksi internal antara apa 
yang oleh sebagian anggota FPI diistilahkan sebagai "kelompok hitam" dan 
"kelompok putih". Terjadi rivalitas antara dua kelompok ini pada lapis kedua di 
bawah Habib Rizieq. Kelompok hitam dikatakan berisi kalangan oportunis yang 
suka mengambil keuntungan pribadi di tengah aksi FPI.

Bila kehidupan ekonomi oknum oportunis itu mulai mapan, biasanya mulai malas 
terlibat aksi. Bila tidak kuat dengan komitmen moral, godaan finansial anggota 
FPI amat menggiurkan. "Kalau saya mau jual diri, dua bulan di FPI saya sudah 
bisa punya mobil mewah. Saya tidak mau begitu," kata Tarmidi, anggota FPI yang 
berkunjung ke Gatra. "Sudah sembilan tahun di FPI, saya masih pakai motor, 
kredit belum lunas. Tapi saya merasa lebih terhormat."

Dengan cara pandang berbasis pemahaman friksi internal itu, sinyalemen bahwa 
sejumlah pengusaha hiburan diperas FPI diduga adalah akibat ulah "kelompok 
hitam" tadi. Mereka bergerak di luar kendali organisasi. Pembersihan internal 
untuk menggulung penunggang gelap itu, kata Tarmidi, beberapa kali dilakulan. 
Bahkan Laskar FPI sempat dibekukan, semata untuk pembersihan tadi.

Yudi Latif, pembedah buku, menilai, sebagai penelitian sosial, buku itu berada 
dalam tradisi verstehen (berempati pada objek). "Tugas penelitian sosial tidak 
memberikan stempel hitam atau putihnya gerakan," kata doktor sosiologi politik 
itu. "Tapi bagaimana kita memahami. Paham tidak berarti setuju."

Kritik Yudi, buku itu kurang mendalami akar sosial FPI. Tiga fase perkembangan 
yang banyak dipakai dalam studi gerakan sosial --tahap persiapan (gestation), 
pembentukan (formation), dan konsolidasi (consolidation) , kata Yudi, tidak 
diulas secara mendalam. Bila hal itu didalami, akan mempermudah memprediksi 
masa depan FPI.

Ada dua catatan Yudi melihat kemunculan FPI. Pertama, FPI dibaca sebagai residu 
ingatan pahit di masa lalu. "Dalam banyak gerakan sosial di Indonesia, ingatan 
pedih ke belakang sangat powerful melahirkan gerakan radikal," ujar Yudi. Tiap 
pergantian rezim, sejak masa kolonial, banyak ingatan pedih belum diselesaikan. 
Akibatnya berkepanjangan dan menjadi sumber identitas baru.

Kedua, FPI dinilai sebagai cermin masyarakat plural. Dalam latar demikian, 
agama menjadi jangkar identitas. Hal itu kian efektif ketika terjadi pergeseran 
dari pemerintahan otoriter menjadi pemerintahan tanpa otoritas. Eksesnya, 
negara kehilangan daya melindungi warga, lalu anarki di depan mata. FPI lahir 
dalam situasi demikian, ketika negara dipandang tidak menjalankan layanan 
publik dengan baik.

"FPI harus dibaca secara simptomatik, bagian dari gejala patologi sosial 
masyarakat kita yang tanpa otoritas," kata Yudi. "Tanpa ada penyelesaian 
persoalan mendasar dan manajemen kekuasan ambruk, sehingga orang mencari jalan 
sendiri-sendiri. "

Adian Husaini, pengulas yang lain, lebih banyak mengkritik. "Buku ini katanya 
untuk memahami FPI, bukan menghakimi. Itu hanya basa-basi. Buku ini 
menghakimi," ujar Adian. "Saya berharap, ada teori sosial baru tentang 
fundamentalisme. Ternyata tidak ada."

Buku itu, di mata Adian, justru menambah stigmatisasi FPI. Adian mengkritik 
ulasan Andri bahwa Habib Rizieq dalam pemikiran fikih bersifat moderat karena 
menganut mazhab Syafi'iyah, tapi dalam soal akidah bersifat tegas akibat 
pengaruh Wahabisme, mengingat Rizieq pernah kuliah di Saudi.

Adian menunjukkan buku I'tiqad Ahlussunnah Waljamaah (aswaja) karya Siradjuddin 
Abbas yang dirujuk buku Andri. Buku Siradjuddin itu anti-Wahabi, kata Adian, 
tapi juga tegas dalam isu akidah. "Jangan setiap yang tegas soal akidah 
dibilang Wahabi," tutur Adian.

Ia mempersoalkan rujukan Andri ketika menyimpulkan bahwa konsep politik aswaja 
tidak bisa kritis pada penguasa. Sehingga sikap keras FPI pada penguasa 
dianggap menyimpang dari teologi aswaja yang dianutnya.

Kritik Adian membuat para penanya, yang sebagian besar simpatisan FPI dan belum 
membaca lengkap isi buku itu, meminta buku tersebut ditarik dari peredaran. Ada 
pula yang menyoal tiadanya wawancara langsung dengan Habib Rizieq, tapi hanya 
merujuk pada buku karya Rizieq. Andri sendiri berkomitmen mengoreksi yang 
keliru dan melengkapi yang kurang.

Akhirnya, Yudi Latif menutup diskusi dengan merenungkan efektivitas jalan 
kekerasan dalam gerakan keagamaan. Tingkat ketahanan gerakan demikian, kata 
Yudi, biasanya tidak lama. Ekspresi kekerasan sering menyisakan konflik 
internal, rentan politisasi, dan penyusupan penunggang gelap (free rider). 
"Gerakan kekerasan paling mudah dimasuki penetrasi intelijen," katanya.

Yudi mengingatkan jalan Mohammad Natsir, pemimpin Masyumi. Natsir punya gagasan 
negara Islam, tapi selalu berkomitmen memperjuangkannya lewat jalur konsensual. 
Ketika menjumpai Darul Islam yang menggunakan senjata, Natsir menolak. Masyumi 
kemudian dipatahkan. Natsir bilang, tidak masalah patah secara politik, ia 
mengubah strategi dengan mendirikan Dewan Dakwah.

"Lewat jalur dakwah, perjuangan kami akan menang," kata Natsir. Melalui jalan 
dakwah secara damai, ia semaikan Islamisasi di kampus-kampus terkemuka yang 
tadinya dikenal sekuler. Islamisasi berikutnya merambahi birokrasi. Natsir 
memilih filosofi garam ketimbang gincu.

Garam yang larut dalam air tak terlihat, tapi terasa. Sedangkan gincu, walau 
terlihat mencolok, rasanya hambar. "Harus ada perubahan modus perjuangan FPI," 
tutur Yudi. "Kita apresiasi semangatnya, tapi bagaimana semangat itu tidak 
backfire bagi perkembangan FPI sendiri."

Asrori S. Karni
[Buku, Gatra Nomor 42 Beredar Kamis, 28 Agustus 2008] 

[Non-text portions of this message have been removed]

    


      
___________________________________________________________________________
Dapatkan nama yang Anda sukai!
Sekarang Anda dapat memiliki email di @ymail.com dan @rocketmail.com.
http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/id/

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke