http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2008092223261934

      Selasa, 23 September 2008 
     
      OPINI 
     
     
     
Tajuk, Jangan Paksakan RUU Pornografi 

      SETELAH lama menghilang sebagai isu publik, tiba-tiba saja Rancangan 
Undang-Undang Pornografi siap disahkan oleh DPR pada hari ini. Namun, rencana 
itu batal lantaran arus penolakan tetap kuat.

      DPR sepertinya tidak pernah belajar dari pengalaman, bahwa pembuatan 
undang-undang tidak boleh dan tidak bisa sembarangan. Bukankah sudah ada produk 
undang-undang DPR yang dimentahkan dan dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi?

      DPR juga terlihat semakin menjauhkan diri dari semangat reformasi yang 
mengamanatkan transparansi dan partisipasi. Semestinya, sebuah rancangan 
undang-undang yang krusial dan sensitif hendaknya melibatkan masyarakat luas. 
Pembahasannya bukan dilakukan secara tertutup dan diam-diam.

      Itu sebabnya, ketika terdengar kabar RUU Pornografi segera disahkan oleh 
DPR, arus perlawanan kembali merebak dan meluas. Demonstrasi pecah di sejumlah 
daerah. Begitu juga sejumlah LSM perempuan dengan gigih kembali menyuarakan 
penolakan mereka.

      Penolakan terhadap RUU Pornografi bahkan kembali membangkitkan keinginan 
Bali untuk menjadi daerah otonomi khusus. Ini pertanda protes yang sangat berat 
karena selangkah lagi bisa berubah menuntut keluar dari Negara Kesatuan 
Republik Indonesia.

      Bali yang merupakan destinasi pariwisata memang akan menjadi korban UU 
Pornografi itu bila disahkan. Turis tak boleh lagi berjemur di pantai dengan 
hampir tampak seluruh tubuhnya. Seniman Bali yang piawai membuat patung 
telanjang pun bisa dihukum penjara. UU Pornografi akan menghancurkan Bali!

      RUU Pornografi sejak digulirkan awal 2006 telah menghebohkan. Karena 
menghebohkan itulah lalu dibuat berbagai perbaikan. Nama RUU yang semula RUU 
Antipornografi dan Antipornoaksi diganti menjadi RUU Pornografi. Sejumlah pasal 
dihilangkan dan disempurnakan, tapi semuanya berlangsung diam-diam.

      Tiba-tiba saja, draf akhir RUU Pornografi yang berisi 44 pasal siap untuk 
disahkan meski pembahasannya tanpa melibatkan partisipasi masyarakat secara 
luas dan juga jauh dari semangat keterbukaan.

      Hasilnya ialah RUU Pornografi itu tetap saja mengundang kontroversi, baik 
dari segi substansi maupun materi. Sebagian perkara masih sumir dan multitafsir 
karena tidak ada parameternya. Contoh, bagaimana menentukan sebuah tindak 
kejahatan seksual atas dasar imajinasi dan persepsi?

      Selain itu, belum ada ketegasan apakah pornografi menjadi domain publik 
atau privat. Ketidakjelasan itu mengaburkan apa yang sesungguhnya mau diatur 
dan dilarang dalam RUU Pornografi.

      Yang lebih berbahaya, untuk mencegah dan mengawasi kejahatan seksual, RUU 
Pornografi membuka ruang bagi masyarakat untuk bertindak main hakim sendiri. 
Hal tersebut jelas dapat memicu kekerasan dan konflik horizontal. Padahal, 
semua itu seharusnya menjadi domain negara.

      Masih banyak hal yang belum terjawab oleh RUU Pornografi. Karena itu, RUU 
ini tidak boleh dipaksakan untuk segera disahkan oleh DPR. Bahkan, sebaiknya 
draf RUU ini dipetieskan saja. RUU ini jangan diteruskan. Simpanlah RUU ini 
dalam arsip DPR, daripada menimbulkan perpecahan bangsa.

      Fraksi-fraksi di DPR semestinya menyadari bahwa RUU yang sarat 
kontroversi itu hanya membuat energi anak bangsa ini terbuang sia-sia dan 
bangsa ini tercabik-cabik.
     


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke