Lailatul Qadar

Oleh: KH. A. Mustofa Bisri



SUDAH sejak puasa dapat separo bulan, sms-sms terus berdatangan ke Hp saya,
menanyakan kapan datangnya Lailatul Qadar. Saya tidak tahu persis apakah
mereka yang menanyakan hal itu mempunyai tujuan yang sama; untuk apa? Karena
tentunya pertanyaan tersebut selaras dengan persepsi masing-masing tentang
Lailatul Qadar.


Tempo hari saya menulis di rubrik Hikmah Ramadan ini tentang Nuzulul Quran,
turunnya kitab suci Quran, pada bulan suci Ramadan. Nah, Lailatul Qadar
itulah malam mulia dimana Quran turun. Bersamaan dengan itu rombongan
malaikat yang dipimpin malaikat Jibril juga turun atas perintah Allah.


Menurut  banyak mufasir, pada malam itu Allah menurunkan Quran dari Lauh
Mahfuzh secara utuh sekaligus ke langit dunia, sebelum kemudian
diterjemahkan dan disampaikan malaikat Jibril kepada Rasulullah SAW secara
bertahap sesuai konteks.


Maka, malam saat turunnya Quran itu disebut Allah sebagai malam mulia yang
kemuliaanya melebihi seribu bulan dan penuh kedamaian hingga terbitnya fajar
(Q. 97). Pertanyaannya, apakah kemuliaan malam itu berlangsung terus setiap
Ramadan atau hanya pada masa turunnya Quran?


Berdasarkan beberapa hadis Nabi Muhammad SAW  tentang malam Qadar, para
ulama menyatakan bahwa kemuliaan Lailatul Qadar itu berlangsung terus setiap
Ramadan. Hanya saja mereka berbeda mengenai tepatnya malam mulia itu.


Berdasarkan hadis-hadis yang menjadi pegangan masing-masing, ada yang
berpendapat:  Lailatul Qadar itu di awal Ramadan; ada yang di malam 21; ada
yang di malam 23; 24; 25; 27 Ramadan. Dan, mayoritas ulama menyatakan bahwa
malam mulia itu ada di antara 10 malam terakhir Ramadan.


Banyak  yang menyatakan bahwa Lailatul Qadar sengaja disembunyikan agar kaum
muslimin memburunya pada setiap malam di seluruh malam Ramadan.


Kemudian apa makna kemuliaan Lailatul Qadar yang melebihi 1.000 bulan itu?
Lalu apa yang hendak (atau sebaiknya) kita lakukan bila menjumpainya?


Pertanyaan ini diajukan satu dan lain hal karena akhir-akhir ini banyak
orang yang mempunyai persepsi bahwa Lailatul Qadar itu semacam sesuatu benda
yang bukan malam.


Seperti disebutkan dalam surah 97. Al-Qadr, Lailatul Qadar itu lebih baik
dari seribu bulan. Artinya, amal baik yang dilakukan pada malam itu
mempunyai nilai yang lebih baik dari amal yang sama dalam seribu bulan tanpa
Lailatul Qadar.


Maka dulu, pada zaman kaum muslimin orientasinya masih kebahagiaan akherat
dan bukan sesuatu yang instan dan bersifat duniawi, orang yang meyakini
suatu malam merupakan Lailatul Qadar, sudah berada di mushalanya sejak ashar
untuk njungkung beribadah. Dan, baru pulang besok paginya setelah shalat
subuh.


Mengingat bahwa tidak ada seorang pun yang tahu tepatnya kapan Lailatul
Qadar, maka berbahagialah mereka yang setiap malam di bulan suci Ramadan
mensucikan dirinya dan giat melakukan amal ibadah semata-mata karena Allah.
Karena mereka pasti akan bertemu dengan Lailatul Qadar dan bayangkan amal
ibadah mereka pun dinilai lebih dari amal-ibadah 83 tahun 4 bulan.
Subhanallah!


Setidak-tidaknya, bila mereka menjumpai malam mulia itu dalam keadaan
jungkung ibadah, dosa-dosa mereka  yang telah lampau akan diampuni oleh
Allah, sebagaimana hadis yang bersumber dari  Sahabat Abu Hurairah r.a. ini:
Rasulullah SAW bersabda: Man qaama Lailatal Qadri iimaanan waihtisaaban
ghufira lahu maa taqaddama min dzanbihi. (Barangsiapa jungkung ibadah pada
malam Qadar semata-mata karena iman dan mengharap pahala, maka akan diampuni
dosanya yang sudah lampau).



Penulis adalah pemimpin Pondok Pesantren Roudhotut Thalibin, Rembang.


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke