Akhir Qarunisme Ekonomi? KH Didin Hafidhuddin
Guru Besar IPB, Direktur Pascasarjana UIKA Bogor dan Ketua Umum BAZNAS

Irfan Syauqi Beik
Dosen IE-FEM IPB dan Ketua Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Malaysia  

Dunia internasional tengah menyaksikan fenomena sangat luar biasa dahsyat, 
yaitu krisis keuangan yang kondisinya diyakini lebih buruk daripada peristiwa 
Great Depression yang terjadi pada 1930. Krisis yang berawal dari AS itu belum 
menunjukkan ada tanda-tanda akan berakhir meskipun Senat dan DPR AS telah 
meluluskan revisi rencana penyelamatan pasar keuangan AS senilai 700 miliar 
dolar AS. 

Bahkan, pengamat ekonomi dunia mengatakan rencana tersebut atau yang dikenal 
dengan istilah bailout plan gagal memperbaiki tingkat kepercayaan terhadap 
pasar. Itu dibuktikan dengan belum membaiknya kinerja bursa-bursa di seluruh 
dunia.

Indeks harga saham gabungan di Wall Street, misalnya, pada 6 Oktober jatuh pada 
level di bawah 10 ribu setelah sepekan sebelumnya mengalami one day drop 
tertinggi dalam sejarah akibat penolakan DPR AS terhadap draf awal bailout 
plan. Kondisi tersebut memicu krisis kepercayaan rakyat AS terhadap 
pemerintahnya. 

Dalam survei CNN yang dilaksanakan 3-5 Oktober 2008, mayoritas rakyat AS 
menyatakan tidak percaya Presiden George Bush memiliki kemampuan mengatasi 
krisis. Hanya 26 persen yang meyakini dia sanggup memperbaiki keadaan yang 
terus memburuk ini. 

Kondisi ini mirip dengan kasus Presiden Nixon yang mundur akibat skandal 
Watergate, di mana ia juga mendapatkan tingkat kepercayaan sangat rendah, yaitu 
di bawah 30 persen. Survei CNN juga menyimpulkan 80 persen rakyat AS memiliki 
pandangan kondisi perekonomian pada situasi sangat buruk sehingga mereka 
mengalami kekhawatiran yang luar biasa terhadap masa depan.    

Kondisi di AS juga berdampak terhadap Eropa. Kinerja pasar keuangan Eropa 
mengalami tren penurunan dalam sepekan terakhir. Mereka menyaksikan kejatuhan 
nilai saham terburuk dalam sejarah Eropa pada 6 Oktober. Rata-rata penurunan 
yang terjadi pada angka 6-10 persen. Sejumlah negara terpaksa melakukan 
langkah-langkah darurat untuk menyelamatkan perekonomian. 

Pemerintah Inggris, misalnya, menyatakan akan menjamin seluruh simpanan 
warganya di bank senilai maksimal 50 ribu poundsterling setelah sebelumnya 
melakukan nasionalisasi terhadap sejumlah lembaga keuangan yang mengalami 
krisis. Demikian pula dengan Jerman, Kanselir Angela Merkel menegaskan 
pemerintahannya menjamin seluruh tabungan warganya. Ia menyiapkan dana 782 
miliar dolar AS untuk merealisasikan kebijakan ini. 

Begitu pula dengan Perancis, Belgia, serta sejumlah negara lainnya. Memburuknya 
kondisi pasar keuangan juga telah merambah Asia, termasuk Indonesia. Kita 
melihat bursa sempat turun 10 persen sehingga menimbulkan kekhawatiran terhadap 
kemungkinan terhambatnya pertumbuhan ekonomi yang akan berdampak pada 
peningkatan angka pengangguran dan pengurangan kesempatan kerja masyarakat.

Situasi dunia yang seperti ini semakin meyakinkan penulis bahwa sistem ekonomi 
kapitalis telah gagal menciptakan keadilan dan kesejahteraan dunia. Dia 
menciptakan akumulasi kapital dan modal yang sangat luar biasa, terutama dalam 
lima dekade terakhir. Bahkan, Prof Zubair Hassan menyatakan akumulasi kapital 
sejak 1950 hingga saat ini jauh lebih besar daripada akumulasi kapital sejak 
sebelum 1950 hingga zaman Nabi Adam AS. 

Namun, di sisi lain ia pun menciptakan ketidakseimbangan pendapatan dan 
kekayaan antarkelompok masyarakat dan bangsa-bangsa di dunia. Karena itu, 
penulis melihat kembali ke sistem ekonomi syariah merupakan solusi terbaik 
untuk mengatasi krisis.

Qarunisme/ ekonomi
Sejarah telah mengajarkan kepada kita bahwa segala sesuatu yang dibangun 
berdasarkan prinsip-prinsip dasar yang bertentangan dengan ajaran Islam 
perlahan tapi pasti akan hancur. Termasuk sistem ekonomi kapitalis yang 
dibangun di atas prinsip riba/bunga, maysir, dan gharar, serta keserakahan 
manusia untuk menguasai kekayaan dengan segala macam cara tanpa memedulikan 
moralitas dan etika. 

Yang terpenting adalah bagaimana mendapatkan keuntungan ekonomi yang 
sebesar-besarnya meskipun keuntungan didapat di atas penderitaan pihak lain. 
Bahkan, dalam situasi krisis seperti sekarang ini, masih ada pihak yang 
berusaha mengambil keuntungan. Seorang konglomerat kenamaan asal AS, misalnya, 
dalam sebuah wawancara mengatakan "we even more greedy at this time" karena 
memungkinkannya mengambil alih kepemilikan perusahaan lain yang menjadi 
pesaingnya. Inilah yang menjadi inti qarunisme ekonomi yang sangat 
membahayakan. 

Qarunisme inilah yang selama ini menjadi 'panglima' yang mengendalikan arah dan 
kebijakan sistem ekonomi kapitalis. Istilah qarunisme ini sengaja penulis 
ungkap karena kisah Qarun merupakan contoh nyata yang diberikan Alquran untuk 
menggambarkan bagaimana perilaku ekonomi yang hanya didasarkan pada keserakahan 
untuk menguasai aset dan kekayaan tanpa memedulikan prinsip moralitas dan 
keadilan berujung pada kehancuran.
 
Dalam QS Al-Qashash ayat 76-82, Allah SWT menceritakan kisah anak paman Nabi 
Musa AS yang bernama Qarun, yang selalu menumpuk-numpuk harta kekayaannya. 
Karena kayanya sampai-sampai kunci untuk membuka gudang kekayaannya harus 
dipikul oleh sejumlah orang yang memiliki kekuatan fisik yang luar biasa (QS 
28: 78). 

Kondisi ekonomi Qarun saat itu jauh melebihi orang-orang di sekitarnya. Boleh 
dikatakan ia orang terkaya. Ia menganggap apa yang didapatnya hasil dari ilmu 
yang dimilikinya (QS 28: 78), bukan sebagai karunia dari Allah. 
Pola pikir seperti ini menyeretnya semakin jauh dari ajaran agama. Agama 
dianggap tidak memiliki korelasi dengan kehidupan ekonomi. Keduanya dianggap 
sebagai dua entitas yang berbeda dan tidak saling berhubungan sehingga aturan 
agama tidak mendapat ruang dan tempat dalam praktik ekonomi.

Selanjutnya, kemewahan dan kemajuan yang dinikmati Qarun ternyata menarik 
perhatian masyarakat di sekelilingnya. Begitu luar biasa kayanya Qarun, 
orang-orang pun merindukan untuk menjadi seperti dirinya (QS 28: 79). Mereka 
berusaha meniru langkah Qarun dalam memperkaya dirinya. Mereka menganggap 
sekularisme Qarun variabel utama kemajuan ekonomi. 

Hal tersebut dikarenakan Qarun dalam pandangan orang-orang tersebut telah 
membuktikan keberhasilannya secara empirik. Apalagi, kondisi tersebut didukung 
dengan ilmu dan teori yang dimiliki Qarun, yang menjadi jalan bagi penguasaan 
aset dan kekayaannya itu. Ia pun tidak memedulikan nasihat orang-orang saleh 
dari kaumnya yang telah mengingatkannya untuk tidak berpaling dari aturan Allah 
(QS 28: 76).

Meski demikian, Allah berkehendak lain. Akibat kesombongan berlebihan karena 
menganggap dirinya orang yang terkaya dan termaju, Qarun dihancurkan oleh Allah 
SWT. Dirinya beserta hartanya kemudian dibenamkan ke dalam perut bumi oleh 
Allah SWT dan tidak ada seorang pun yang sanggup menolongnya (QS 28: 81). 

Musnahlah Qarun beserta segala keangkuhannya. Kemudian, orang-orang yang 
sebelumnya merindukan menjadi seperti Qarun sadar. Mereka berkata, sebagaimana 
digambarkan Allah dalam QS 28: 82 : ''....aduhai, benarlah Allah melapangkan 
rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya, dan menyempitkannya; 
kalau Allah tidak melimpahkan karunia-Nya atas kita, benar-benar Dia telah 
membenamkan kita (pula). Aduhai benarlah, tidak beruntung orang-orang yang 
mengingkari (nikmat Allah).'' Mereka pun selamat karena menyadari bahwa 
menentang aturan Allah hanya akan membinasakan siapa saja, sekuat dan sehebat 
apa pun ia.

Pelajaran bagi Indonesia
Dari kisah Qarun, kita bisa mengambil pelajaran, sehebat apa pun kemajuan 
ekonomi yang didapat oleh sebuah bangsa meskipun telah mengagumkan kita, ia 
pasti akan hancur jika bertentangan dengan aturan-Nya. Kita akan menjadi 
kelompok yang beruntung dan tidak terkena dampak kehancuran itu kalau sebagai 
bangsa kita mau kembali menerapkan sistem ekonomi yang sesuai dengan prinsip 
syariat-Nya. Harus disadari bahwa ekonomi syariah bukan hanya untuk golongan 
umat Islam, melainkan untuk seluruh umat manusia. 

Memang bukan hal mudah, tetapi bukan pula tidak mungkin. Sudah saatnya bangsa 
kita memanfaatkan sejumlah instrumen ekonomi syariah, seperti zakat, wakaf, dan 
sukuk sebagai sarana meningkatkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh 
masyarakat.  

Ikhtisar:
-    Memburuknya ekonomi AS berdampak terhadap Eropa.
-    Sistem kapitalis mendorong terjadinya keserakahan, berbeda dengan praktik 
syariah.



      Apakah demonstrasi & turun ke jalan itu hal yang wajar? Temukan 
jawabannya di Yahoo Answers!

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke