http://batampos.co.id/opini/opini/menelusuri_bahaya_lidah_/

      Menelusuri Bahaya Lidah  
      Jumat, 17 Oktober 2008  
      Oleh: Des Harriyanto S Sos 
      Penulis berdomisili di Tanjungbalai Karimun 
      Tertulislah kisah di surat kabar tentang seseorang yang oleh keluarganya 
diakui tidak punya musuh tahu-tahu mati secara mengenaskan. Bagaikan petir di 
siang hari, tak percaya, tapi nyata. Tak disangka, tak diduga semula sang 
korban yang terbilang rupawan, cemerlang kedudukan kini terbujur kaku di 
pembaringan rumah duka.


      Kisah pembunuhan di dunia ini bukanlah barang baru. Kisah bermula sejak 
zaman Nabi Adam, ketika kedua anaknya Habil dan Qabil saling berbunuhan. Dan 
kini pembunuhan telah terjadi di mana-mana dengan berbagai berita, cerita dan 
derita tentang pelaku dan korban. Ada anak bunuh bapak dan sebaliknya. Ada 
mertua bunuh menantu dan sebaliknya. Ada paman bunuh ponakan dan sebaliknya. 
Dan lain-lain bentuk pelaku dan korban.


      Pembunuhan itu berawal dari dendam yakni sakit hati yang terhutang. 
Dendam itulah yang mendorong seseorang untuk membunuh. Dendam terjadi karena 
ucapan yang membuat luka di hati. Mengapa terjadi seperti itu? Manusia paling 
mudah disakiti dengan kata-kata yang menghina, baik dalam bentuk sindiran 
maupun dalam bentuk to the point berupa ba**, an****, mon***, pan*** dan 
lain-lain sejenisnya.


      Serangkap pantun pusaka turun-temurun berbunyi, "karena pulut, santan 
binasa; karena mulut, badan binasa"  jelas sekali perang kata-kata alias 
bertengkar berubah menjadi perang senjata. Inilah akibatnya kita yang suka 
berdebat bicara pakai nafsu tidak pakai ilmu. Tanda-tanda orang yang berbicara 
pakai nafsu adalah mereka selalu ingin menang dalam bicara dan ingin 
didengarkan. 


      Dan tanda-tanda orang yang berbicara pakai ilmu adalah mereka yang 
mencari dan menyampaikan kebenaran dalam bicara, tentu sebelumnya mereka harus 
tahu apa yang mereka bicarakan dan  mereka dapat pula mengajukan bukti dan 
saksi yang benar-benar ada dalam bicara. Oleh karena itu, orang seperti ini 
tidak pandai mengada-adakan cerita.
      Setiap manusia yang terlahir tidak bisa memerlukan waktu dua tahun untuk 
belajar berbicara. Waktu kecil lidah kita cadel (Melayu: pelat), sebagai contoh 
bilang kuku, susu, marah menjadi tutu, cucu, malah. Dan selama lima puluh tahun 
kita berusaha sedaya upaya menjaga lidah kita. 


      Bagi para ilmuwan, sastrawan, pucuk pimpinan instansi pemerintahan, 
pemimpin masyarakat, lebih-lebih lagi para alim ulama menjaga lidah adalah 
"tugas suci" untuk menyelamatkan ketenteraman hidup berdampingan.


      Sungguh betapa sia-sianya orang merasa dirinya berpengaruh dalam tatanan 
kehidupan masyarakat justru memberikan petunjuk yang keliru. Sudah mendarah 
daging pula dalam masyarakat kita apa yang disampaikan oleh tokoh spiritual 
dianggap sebagai "petunjuk suci" sehingga seseorang atau sekelompok orang bisa 
mati dibunuh dibuatnya.


      Teringatlah penulis dengan sebait lagu, "memang lidah tak bertulang, tak 
terbatas kata-kata, tinggi gunung seribu janji, lain di bibir lain di hati" 
adalah kenyataan dalam kehidupan manusia yakni di dalam kesungguh-sungguhan 
belum tentu berbuah kesungguh-sungguhan. Dalam bahasa yang sederhana tak 
selamanya gayung bersambut.  


      Bagi orang yang gede rasa alias terlalu percaya diri, mereka yakin bahwa 
orang lain akan berpikir, berbuat dan bertindak sebagaimana mereka berpikir, 
berbuat dan bertindak. Apabila kehendaknya dan pendapatnya tidak diterima alias 
ditolak maka timbullah keberingasannya untuk dendam.


      Sebelum terlanjur kita menjadi korban keberingasan orang lain, maka 
marilah kita jaga lidah kita, waspada dan selalu ingat tiga perkara. Pertama, 
di saat kita berbicara sungguh-sunggguh mungkin kita akan kecewa. Menyampaikan 
sesuatu akan terasa bermakna di saat ada permintaan. Kedua, di saat kita 
berbicara dengan separoh hati mungkin kita akan bahaya karena orang yang 
mendengar sudah penasaran alias panas perasaan untuk mencari dan 
menunggu-nunggu kesungguhan pembicara. 


      Ketiga, di saat  kita bicara main-main maka kita akan hampa alias kosong 
tak punya nilai apa-apa bagi yang mendengar. Sangat-sangat berbahaya di 
saat-saat kita bermain-main dengan ucapan lisan orang yang mendengarkan dan 
menanggapi dengan sungguh-sungguh.


      Memang benar kita harus menyampaikan kebenaran walaupun pahit. Alangkah 
betapa indahnya suatu kebenaran jika disampaikan dengan cara yang cukup 
bijaksana. Nabi berpesan hendaklah engkau berbicara seseuai akal orang yang 
menerima. 


      Untuk menuju ke sana terlebih dahulu pembicara harus mengenal siapa lawan 
bicara. Sungguh keliru para kaum intelektual zaman sekarang ketika naik mimbar 
masjid di kampung-kampung mereka menggunakan bahasa tinggi yang sangat-sangat 
tidak dipahami oleh orang awam.


      Dalam lingkungan orang awam, ketentraman seseorang sangat ditentukan oleh 
lidahnya. Lidah yang tajam menciptakan musuh. Keberanian selalu ditunjukkan 
pada yang lemah. 


      Melawan yang lemah maupun melawan yang kuat hasilnya sama, kita tidak 
akan bisa tidur nyenyak dan selalu gelisah minta ditemani dan dikawal ke mana 
pergi. Kata pepatah, dalam air tenang jangan disangka tidak ada buaya. Buaya 
adalah bahaya, pelampiasan dendam bagaikan bom waktu yang akan meledak 
kapan-kapan saja Kata orang tua kita kalau tak dapat jalan kasar akan dicarikan 
jalan halus untuk melenyapkan nyawa seseorang.


      Ke dukun tempat mengadu duka nestapa maka orang yang menyakiti kita akan 
sakit tanpa kunjung sembuh, berobat dari dokter ke dokter, akhirnya penyakit 
sembuh dengan kematian. Fenomena dukun santet bukan hal baru di negeri kita.
      Tak ada seorang pun yang tahu di mana dia akan meninggal dunia dan dan 
dia tidak akan tahu di mana pula akan dikuburkan. Selama hidup di dunia 
tentunya kita kita mencari keselamatan dalam pergaulan. Oleh kerana itu, 
terlebih dahulu ciptakanlah kenyamanan bagi diri sendiri anda agar tidak 
menjadi ancaman bagi siapa pun dan di mana pun anda berada. Cara yang paling 
mudah adalah bercakap harus bertapis. Senada dalam bahasa Betawi ngomong pake 
bandro
     


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke