Refleksi:  Langkah politik yang disengajakan oleh penguasa?

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/11/25/0035038/sulitnya.mengatasi.kematian.ibu-anak

Persalinan
Sulitnya Mengatasi Kematian Ibu-Anak
        
      KOMPAS/YURNALDI / Kompas Images 
      Ibu-ibu di Kampung Sereh, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua, antre untuk 
menimbang berat badan anak mereka di Posyandu Ottauw ketika Direktur Bina 
Kesehatan Ibu Depkes Sri Hermiyanti Y mencanangkan Revitalisasi Posyandu dan 
P4K, Sabtu (22/11). Angka kematian ibu dan bayi di Papua relatif tinggi.  

Selasa, 25 November 2008 | 03:00 WIB 
Yurnaldi

Panas sungguh terik di Kampung Sereh, Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura, 
Provinsi Papua, Sabtu (22/11) siang. Sejumlah anak menangis dalam gendongan 
ibunya. Gerah, barangkali. Mungkin juga lapar. Sebagian, tampak bermain 
sekedarnya di ruang sempit Posyandu Ottauw, Kampung Sereh.

Ketika pejabat datang, seusai pencanangan Revitalisasi Posyandu dan Program 
Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K), anak batita (bawah tiga 
tahun) dan balita (bawah lima tahun) ditimbang gantung. Sebagian anak 
memberontak, menangis.

Ada sejumlah anak batita dan balita menderita penyakit kulit serta gizi kurang. 
Namun, hari itu bukan untuk mendata penyakit tersebut, kecuali untuk 
menunjukkan aktivitas Posyandu yang dilengkapi Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).

Yoas, seorang ibu (22) berharap bagaimana agar kesehatan anak-anaknya dan juga 
dirinya bisa lebih diperhatikan. "Selama ini pelayanan kesehatan hanya 
dilakukan oleh kader Posyandu," ujar ibu itu. Harapan ibu Yoas, dan juga 
ibu-ibu lainnya di Jayapura, sama halnya dengan tekad Provinsi Papua, yang 
mencanangkan Menuju Papua Baru; Ibu Sehat Anak Sehat.

Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua Bagus Sukaswara mengungkapkan, angka 
kematian ibu melahirkan di Papua 396 per 100.000 kelahiran hidup dan kematian 
bayi 52 per 1.000 kelahiran hidup.

"Yang mendesak, ini persoalan krusial dan kritis, adalah penyediaan tenaga 
kesehatan yang berdaya tinggal tinggi. Kalau tidak, saya khawatir, ibu-ibu 
hamil dan bayi di pelosok-pelosok kampung di Papua, terancam tidak mendapatkan 
pelayanan dan perawatan kesehatan sebagaimana mestinya," ujar Bagus.

Direktur Bina Kesehatan Ibu Departemen Kesehatan Sri Hermiyanti Yunizarman 
mengakui, Papua merupakan satu dari 13 provinsi di Indonesia yang angka 
kematian ibu dan bayi masih tinggi, cakupannya di bawah 75 persen.

Menurutnya, saat ini derajat kesehatan ibu dan anak di Indonesia masih belum 
memuaskan. Hal ini antara lain ditandai dengan tingginya angka kematian ibu, 
yaitu 334/100.000 per kelahiran hidup yang merupakan angka tertinggi di antara 
negara-negara ASEAN.

Data Depkes menyebutkan, penyebab langsung kematian ibu 28 persen karena 
pendarahan, eklamsia (24 persen), komplikasi puerperium (8 persen), abortus (5 
persen), partus macet/lala (5 persen), trauma obstetrik (5 persen), emboli 
obstetrik (3 persen), dan lain-lain (11 persen).

Adapun penyebab langsung kematian bayi baru lahir, 29 persen disebabkan berat 
bayi lahir rendah (BBLR), asfiksia (13 persen), tetanus (10 persen), masalah 
pemberian makan (10 persen), infeksi (6 persen), gangguan hematologik (5 
persen), dan lain-lain (27 persen).

Data yang diperoleh Kompas dari Millennium Development Goals dalam laporan 
2007/2008 menyebutkan, setiap tahun sekitar 18.000 perempuan di Indonesia 
meninggal akibat komplikasi dalam persalinan. Melahirkan yang seyogyanya 
menjadi peristiwa bahagia, tetapi seringkali berubah menjadi tragedi.

Karena itu, Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari berharap agar jajaran 
pemerintah kota dan kabupaten dapat meningkatkan perhatian terhadap status 
kesehatan, terutama penurunan angka kematian ibu dan anak.

Kondisi Kritis

Kepala Dinas Kesehatan Papua Bagus Sukaswara melukiskan kondisi pelayanan 
kesehatan di daerahnya sebagai krusial dan kritis. Ia melukiskan, tingginya 
angka kematian ibu dan anak di Papua karena pertolongan persalinan yang 
dilakukan tenaga kesehatan masih di bawah 75 persen. Bidan atau tenaga 
kesehatan jumlahnya pun tak lebih dari 60 persen.

"Jumlah bidan yang ada sekarang tak lebih dari 1.000 orang. Dari jumlah yang 
ada itu, jika mereka menikah, sering 'lari', maksudnya mengikuti 
kepindahan suaminya, yang umumnya polisi dan tentara," ujarnya.

Di Papua ada 3.300 kampung. Terbuka lebar untuk menjadi bidan di sana. 
Persoalannya, profesi bidan kurang diminati, karena medan tugas yang jauh di 
pelosok.

"Bekerja sebagai bidan, yang dibutuhkan adalah sepatu yang baik, kaki yang kuat 
dan berdaya tinggal tinggi," ujarnya.

Di sisi lain, banyak banyak masyarakat yang memilih untuk persalinan secara 
tradisional, tanpa dibantu bidan. "Bukan cuma di Papua, di daerah lain juga 
begitu," kata Direktur Bina Kesehatan Ibu, Departemen Kesehatan, Sri Hermiyanti.

Ia menggambarkan, cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan di Indonesia sekitar 
75 persen sehingga masih banyak pertolongan persalinan yang dilakukan oleh 
dukun bayi yang menggunakan cara-cara tradisional.

Banyak ibu-ibu di Papua mengaku lebih memilih tenaga tradisional. Kenapa? 
Banyak alasan. Salah satunya, karena biayanya murah dan dapat dibayar dengan 
hasil pertanian atau barang-barang lain. Mereka yakin, tenaga persalinan 
tradisional lebih mudah ditemukan dan beranggapan bahwa mereka lebih memberikan 
perawatan pribadi.

Sri Hermiyanti juga mengakui, salah satu kendala utama lambatnya penurunan 
angka kematian ibu dan angka kematian bayi di Indonesia adalah hambatan 
terhadap penyediaan dan akses pelayanan kegawatdaruratan obstetri dan neonatal.

Jika pada hari Kesehatan Nasional ke-44 tahun 2008 tema yang diangkat Rakyat 
Sehat, Kualitas Bangsa Meningkat, maka Kondisi Ibu dan anak di Papua, cerminan 
kualitas bangsa yang rendah. Cerminan pelayanan kesehatan publik yang rendah.

Siapa sangka, di balik tanah Papua yang kaya, ternyata kesehatan masyarakatnya 
memprihantinkan.


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke