http://www.sinarharapan.co.id/berita/0812/24/nus04.html

Anak-anak Poso Berjuang Melawan Trauma  


Poso - Sepuluh tahun sudah konflik horizontal di Kabupaten Poso berlalu. Namun, 
kenangan pahit itu masih membekas. Hingga kini masih banyak warga belum kembali 
dari pengungsian. Konflik menyisakan banyak duka. Tak terkecuali anak-anak. 
Mereka menderita trauma konflik.

Oleh
Erna Dwi Lidiawati



RIUH-rendah suara anak-anak Sekolah Dasar Sintuvu Lemba, Sabtu (20/12) pagi. 
Mereka tengah bekerja bakti, bergotong royong membersihkan halaman sekolah dari 
rumput-rumput liar yang tumbuh subur. Gedung sekolah itu dibangun tahun 2002, 9 
kilometer dari Kota Poso. Tak banyak siswa yang bersekolah di situ. Jumlahnya 
hanya 43 siswa. Ruangan kelasnya cuma enam. Kelas enam muridnya hanya tiga 
orang. Yang paling banyak kelas satu. 


Itu karena banyak orang tua yang harusnya menyekolahkan anak mereka masih 
bertahan di tempat pengungsian. Mereka masih takut kembali. Mereka masih didera 
trauma. Hari ini mereka tidak belajar. Ulangan sekolah sudah usai beberapa hari 
lalu, makanya tidak ada proses belajar-mengajar ketika SH berkunjung ke sana. 
Di sekolah tersebut ada delapan anak korban konflik. Dua di antaranya adalah 
Uto dan Ichsan. Mereka adalah dua sahabat yang berbeda keyakinan. Tapi tak ada 
permusuhan, tak ada dendam di wajah mereka. Yang ada hanya keceriaan.


Saat diwawancara, Ichsan turut memanggil Uto. Ia tak mau sendiri. Anak-anak itu 
punya cita-cita yang tulus ingin membahagiakan orang-orang yang mencintai 
mereka dan mengabdi kepada negara. Dengar saja apa yang mereka katakan. "Kalau 
besar Ichsan mau jadi tentara. Mereka berani. Kalau Uto mau jadi dokter, supaya 
bisa bantu-bantu orang sakit," kisah Uto mewakili Ichsan yang tampak malu-malu.


Di luar itu, seusai sekolah aktivitas anak-anak korban konflik ini tentu tidak 
berbeda dengan anak-anak lain. Belajar, bermain dan juga membantu ibu mereka. 
Seperti Uto. "Biasanya kalau saya pulang sekolah, makan, tidur, habis tidur 
siang bacuci piring. Jadi bakerja dulu, pas jam enam baru belajar," aku Uto.
Aktivitas yang dilakukan Ichsan pun tidak jauh dari yang dilakukan Uto. Kondisi 
listrik yang sering padam tidak menyurutkan niat mereka belajar. "Biar mati 
lampu, tetap belajar. Biasa pakai mesin generator," kata Ichsan pendek.


Belum lekang dari ingatan kita, beberapa tahun lalu konflik horizontal 
bernuansa suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) mendera poso, daerah 
penghasil kayu eboni itu. Saat itu usia Uto dan Ichsan masih kanak-kanak. Tapi, 
mereka merekam kekerasan yang terjadi waktu itu. Beruntung berkat peran 
guru-guru di sekolah tersebut yang mengajarkan kasih sayang antarsesama serta 
menekankan bahwa kita semua bersaudara, trauma konflik yang dialami anak-anak 
tersebut lambat laun terkikis.

Peran Tokoh Agama
Seperti dituturkan Kepala Sekolah SD Sintuvu Lemba Yuliana Pajoda, "Kita beri 
pemahaman kepada anak-anak itu. Kita saling menghormati. Kita saling menghargai 
antarumat beragama, saling menyayangi. Jadi, tidak ada perbedaan antara yang 
Islam dan Kristen. Hubungan mereka sangat baik. Kita tanamkan pada anak-anak 
bahwa kita tidak ada perbedaan."


Tak hanya guru, peran ustaz, orang tua dan pendeta juga menentukan masa depan 
anak-anak korban konflik yang mengalami trauma. Seperti anak-anak yang tinggal 
di Pondok Pesantren Hidayatullah, mereka trauma ketika terjadi penegakan hukum 
terhadap 29 orang yang masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) kelompok 
bersenjata Januari 2007 lalu. Mereka trauma jika mendengar bunyi-bunyian yang 
menyerupai bunyi ledakan. Misalnya knalpot pecah, mereka panik. Menghapus 
trauma itu, anak-anak pondok ini selalu diberikan pengertian dan pemahaman. 
Itulah yang dikatakan Wakil Pimpinan Pondok Pesantren Hidayatullah, Poso, 
Darwis Waru.
"Pelan-pelan kita mencoba menyiasatinya. Melakukan pengobatan secara apa 
adanya. Misalnya kita aktifkan dia dalam pengajian-pengajian. Kemudian setiap 
habis salat biasa kita kumpul untuk mengamati perkembangan. Kita memilah ada 
beberapa anak yang harus dihadapi secara serius. Tapi, akhir-akhir ini 
kelihatannya sudah berbaur semua, jadi tidak kelihatan mana yang trauma berat, 
mana trauma kecil dan yang tidak mengalami trauma. Jadi, perkembangannya 
alhamdulillah, sudah berbaur seperti biasa," jelas mantan aktivis penganjur 
damai Poso itu. 


Begitupun dengan Pendeta Olha Pelima Wowiling. Ia membentuk sendiri Jemaat 
Musafir. Jemaat ini terdiri dari seratus lebih keluarga korban konflik. Ia 
membentuk jemaat ini di Palu di tempat pengungsian. Namun, seiring semakin 
kondusifnya situasi Poso, jumlah Jemaat Musafir ini berkurang. Jumlahnya 
sekarang kira-kira sekitar 50 keluarga. Untuk menghilangkan trauma anak, Jemaat 
Musafir punya cara. 


"Salah satu cara, mendekati orang tua, yaitu bagaimana berusaha membimbing 
anak-anak terlebih dalam hal menonton televisi. Orang tua sebaiknya menghindari 
siaran-siaran yang di dalamnya menyiarkan kekerasan. Tetapi, kalau toh memang 
tidak bisa untuk itu ya kita dampingilah ketika menonton, agar benar-benar 
mereka bisa diarahkan. Apabila mereka menemukan siaran-siaran penuh dengan 
kekerasan, karena acara anak-anak sering kali ada kekerasan, bisa saja itu akan 
membuat mereka teringat akan masa lalu di Poso," beber Olha.


Saat ini terdapat 26 panti asuhan Islam dan Kristen yang menampung anak-anak 
korban konflik. Sebanyak 26 enam panti asuhan itu tersebar di Poso. Untuk 
membantu pemulihan masa trauma, pemerintah setempat bekerja sama dengan 
asuransi memberikan kupon berobat gratis kepada korban konflik. "Untuk berobat 
mereka sudah gratis. Ada sekitar 600, hampir 700 orang, yang sudah diberikan 
bantuan kartu berobat gratis. Diserahkan oleh Bupati 17 Agustus lalu. Itu sudah 
diserahkan kepada panti asuhan dan dihadiri oleh direktur atau pimpinan 
asuransi," kata Kepala Dinas Sosial Kabupaten Poso, Arnold Bouw.
Uto dan Ichsan adalah contoh kecil dari begitu banyak anak-anak di Poso yang 
terkena dampak konflik. Beruntung kini angin damai yang sejuk sudah menyelimuti 
Poso. Pertikaian sudah usai dan harus usai karena konflik hanya meninggalkan 
luka, kesengsaraan dan kenangan pahit. n


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke