http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/12/29/LU/mbm.20081229.LU129125.id.html

Membuat KPK Jadi Macan Ompong
Di usia kelima, Komisi Pemberantasan Korupsi menghadapi ancaman serius: 
lambatnya pembahasan Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. 
Para aktivis antikorupsi pesimistis rancangan ini bakal kelar sesuai dengan 
batas waktu yang ditentukan. Jika itu terjadi, suramlah nasib pemberantasan 
korupsi di negeri ini.

TUMPUKAN berkas itu mulai menggunung di sejumlah tempat di gedung Komisi 
Pemberantasan Korupsi di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Jumlahnya mencapai 
puluhan ribu. Isinya beraneka macam. Ada dokumen rahasia dan data korupsi yang 
dikirim masyarakat dari berbagai pelosok Nusantara, ada pula berkas pemeriksaan 
dan penuntutan perkara yang hanya boleh disentuh para penyidik dan pemimpin 
komisi ini. 

Komisi Pemberantasan Korupsi sudah berancang-ancang akan membangun khusus 
tempat penyimpanan dokumen jika anggaran pembangunan gedung Rp 90 miliar cair. 
Tapi, dua pekan lalu, kabar tak sedap muncul dari Dewan Perwakilan Rakyat. 
Dewan menolak anggaran pembangunan gedung untuk Komisi itu. "Padahal kami sudah 
menyiapkan tanah seluas sekitar 8.000 meter persegi untuk membangun gedung yang 
representatif," kata Wakil Ketua Komisi, Haryono Umar. 

Bukan hanya gedung yang terancam tak bakal dimiliki Komisi. Ada "ancaman" lebih 
gawat yang datang dari Dewan: pembahasan Rancangan Undang-Undang Pengadilan 
Tindak Pidana Korupsi. Sampai kini, pembahasan rancangan itu masih "seujung 
kuku", belum ada kemajuan berarti. Jika rancangan itu tak jadi, hasil 
pemeriksaan Komisi terhadap kasus-kasus korupsi terancam sia-sia. Mereka tak 
bisa meneruskannya langsung ke pengadilan antikorupsi. "DPR buying time, 
menunda-nunda pembahasan RUU itu sampai batas deadline," kata Koordinator 
Indonesia Corruption Watch Teten Masduki. 


l l l
Mahkamah Konstitusilah yang memerintahkan Dewan Perwakilan Rakyat dan 
pemerintah menciptakan undang-undang pengadilan antikorupsi ini. Dua tahun 
silam, 19 Desember 2006, Mahkamah menyatakan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 
Tahun 2002 tantang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan 
dengan konstitusi. 

Pasal 53 itu berisi soal keberadaan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang 
merupakan muara dari kasus-kasus korupsi yang disidik Komisi. Uji materi 
terhadap pasal itu diminta antara lain oleh Nazaruddin Sjamsuddin dan Daan 
Dimara, ketua dan anggota Komisi Pemilihan Umum yang dijebloskan Komisi 
Pemberantasan Korupsi ke penjara lantaran korupsi pengadaan barang di lembaga 
yang mereka pimpin. 

Menurut Mahkamah, ketentuan tentang pengadilan itu harus diatur sendiri dalam 
undang-undang, tak boleh melekat pada undang-undang lain. Mahkamah memberikan 
waktu cukup longgar bagi pemerintah dan wakil rakyat untuk membuat 
undang-undang itu: tiga tahun, dengan tenggat 19 Desember 2009. 

Alih-alih ngebut merampungkan "PR" ini sebelum tenggat datang, Departemen Hukum 
dan Hak Asasi Manusia, yang membuat rancangan undang-undang itu, baru menyetor 
naskah ke Presiden pada Juli lalu. Menurut sumber Tempo, lambatnya pembuatan 
rancangan itu lantaran Departemen Hukum lambat menunjuk tim perumusnya. Tapi, 
kepada Tempo, Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum 
Abdul Wahid menyatakan pembuatan rancangan itu tak bisa disebut lambat. "Saya 
kira ini normal saja," ujarnya. 

Dari Presiden, naskah ini Agustus lalu "turun" ke Dewan. Adapun Panitia Khusus 
RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang dibentuk September lalu baru membahas 
rancangan ini Oktober lalu. "Dari pemerintah sudah terlambat," kata Dewi 
Asmara, Ketua Pansus, yang juga anggota Fraksi Golkar. 

Dari isinya, Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi cukup 
bagus. Terdiri atas sembilan bab dan 43 pasal, rancangan ini antara lain 
mengatur batas waktu penyelesaian sidang korupsi, susunan majelis hakim, 
keuangan dan administrasi hakim, pemeriksaan pendahuluan perkara korupsi, serta 
transparansi pengadilan korupsi. 

Rancangan undang-undang ini juga menyatakan setiap perkara korupsi harus 
disidangkan di pengadilan korupsi. Jadi, jika kelak undang-undang ini disahkan, 
tidak ada lagi perkara kasus korupsi, berapa pun nilainya, yang diadili di 
pengadilan negeri. "Ya, memang harus demikian, biar lebih konsentrasi," kata 
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Antasari Azhar. Rancangan ini memerintahkan 
sidang kasus korupsi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tidak lebih dari 120 
hari. 

Pertengahan Desember lalu, Antasari diundang Panitia Khusus untuk memberikan 
masukan bagi draf rancangan itu. Kepada Dewan, Antasari meminta tidak ada lagi 
dikotomi antara hakim karier dan hakim ad hoc, hakim yang "dipilih" dari 
masyarakat. "Mereka ya hanya hakim Pengadilan Tipikor. Hakim karier lepas dan 
tidak lagi merangkap hakim pengadilan negeri," katanya. 


l l l
Sampai tutup tahun 2008 ini, apa boleh buat, ya baru Komisi Pemberantasan 
Korupsi itulah yang dimintai pendapat oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Padahal, 
dari segi tahapan, rapat dengar pendapat ini tahap paling awal pembahasan 
rancangan undang-undang. Selain dengan Komisi, Januari mendatang Dewan masih 
menggelar rapat dengar pendapat dengan berbagai kalangan: perguruan tinggi, 
kepolisian, dan Kejaksaan Agung. 

Masih panjang memang jalan menuju pengesahan rancangan itu. Setelah rapat 
dengar pendapat, ada pembahasan daftar inventarisasi masalah. Di sini, 
antarfraksi atau Panitia Khusus dan pemerintah bertemu untuk membahas pasal 
demi pasal rancangan itu. Tahap ini bisa makan waktu berpekan-pekan. Menurut 
sumber Tempo, rapat tentang daftar inventarisasi masalah ini sudah dimulai, 
tapi kerap gagal lantaran tidak memenuhi kuorum. "Kalau tidak kuorum, ya tidak 
bisa dilanjutkan," kata Ketua Komisi Hukum, Trimedya Panjaitan. Beres di sini, 
baru dibawa ke Badan Musyawarah untuk disinkronkan lagi. Jika di sini sudah 
mulus, baru masuk pleno. 

Kendati tenggatnya terkesan masih panjang, yakni 19 Desember 2009, dilihat dari 
masa kerja plus agenda para anggota Dewan, nasib pembahasan rancangan 
undang-undang ini sudah di ujung tanduk. Apalagi masa kerja anggota Dewan akan 
"dimakan" dengan sejumlah agenda dan jadwal yang ditentukan, misalnya seperti 
sekarang ini, reses sampai 19 Januari 2009. 

Dari segi hitung-hitungan hari, masa kerja Dewan tinggal sekitar empat bulan. 
Setelah masa reses ini, Februari tahun depan, misalnya, agenda Dewan adalah 
mengunjungi konstituen mereka. Setelah itu, "gegap-gempita" persiapan pemilihan 
umum sudah di depan mata. Karena itulah, menurut Koordinator Konsorsium 
Reformasi Hukum Nasional Firmansyah Arifin, tak ada pilihan lain, rancangan ini 
harus selesai sebelum pemilihan umum April mendatang. Jika lewat dari itu, 
ujarnya, sulit Dewan dan pemerintah menyelesaikannya. "Anggota DPR setelah itu 
akan memikirkan nasib mereka sendiri, terpilih lagi atau tidak." 

Teten Masduki menyatakan tidak heran jika pembahasan rancangan itu kelak tak 
sesuai dengan target. Menurut peraih penghargaan Ramon Magsaysay 2005 dari 
pemerintah Filipina ini, sejak awal Mahkamah Agung, Kejaksaan, dan Dewan memang 
anti terhadap pengadilan tindak pidana korupsi. "Apalagi ada sejumlah substansi 
RUU yang masih diperdebatkan," ujar Teten. 

Menurut Teten lagi, sejak awal berdiri, Komisi Pemberantasan Korupsi memang 
digerogoti berbagai kalangan yang terusik dengan kehadiran lembaga penyikat 
koruptor itu. Ini, ujarnya, bisa dilihat dari setidaknya 10 kali judicial 
review terhadap Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, dari soal anggaran 
Komisi hingga kewenangan mereka melakukan penyadapan. "Diserbu koruptor untuk 
dipreteli kewenangannya," ujarnya. 

Berbeda dengan para aktivis antikorupsi itu, Trimedya dan Dewi Asmara yakin 
rancangan ini bakal selesai. Kendati demikian, keduanya tak menampik ada 
sejumlah pasal krusial yang berpotensi membuat pembahasannya berlarut-larut. 
Sejumlah "pasal panas" itu adalah perlu-tidaknya pengadilan antikorupsi di 
setiap kabupaten, soal pengangkatan hakim, serta komposisi hakim ad hoc dan 
karier dalam majelis hakim kasus korupsi. "Ini memang yang bikin problem," ujar 
Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan yang juga anggota Komisi Hukum, 
Lukman Hakim. Soeripto, anggota Komisi Hukum dari Partai Keadilan Sejahtera, 
menunjuk pengangkatan hakim ad hoc juga akan jadi perdebatan panas. 

Lain dengan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sekarang yang terdiri atas lima 
hakim, dalam rancangan baru ini majelis hakim kasus korupsi bisa terdiri atas 
tiga orang dan lima orang. Nah, soal komposisinya yang kini diperdebatkan. Para 
aktivis antikorupsi dengan tegas menyebut hakim ad hoc harus berjumlah lebih 
banyak dalam komposisi majelis itu. Alasannya, selama ini, hakim ad hoc-lah 
yang paling "keras" jika menangani tersangka koruptor. Dihubungi Rabu pekan 
lalu, juru bicara Mahkamah Agung, Djoko Sarwoko, menolak mengomentari 
perdebatan semacam itu. "Biar DPR yang membahas. Saya tak mau berkomentar," 
ujarnya. 

Menurut Firmansyah, satu-satunya cara agar pembahasan ini bisa berlangsung 
cepat, Dewan harus membahas isu-isu penting saja. Misalnya soal posisi 
pengadilan korupsi dan kewenangan hakim. "Jadi tidak semua materi lain yang 
ecek-ecek itu dibahas," katanya. "Karena itu, sebelum pemilu harus selesai." 

Jika rancangan ini tak rampung, fungsi Komisi sebagai pemberantas korupsi 
memang bakal tanggal. "Fungsinya akan lebih ke pencegahan, tidak ada 
penindakan," ujar Trimedya. Kalaupun Komisi menangani perkara, kata dia, 
perkara itu harus diserahkan ke polisi. Tapi, jika sudah sampai tahap 
penuntutan, menurut Wakil Ketua Komisi Hukum dari Fraksi Golkar, Aziz 
Syamsuddin, perkara itu dilimpahkan ke pengadilan negeri. 

Pelimpahan perkara ke pengadilan umum itulah yang dikhawatirkan para aktivis 
antikorupsi. "Ini yang tidak bisa kami terima," ujar Direktur Pusat Kajian 
Korupsi Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar. Menurut Zainal, hukuman 
bagi koruptor yang diadili di pengadilan umum sangat ringan, rata-rata divonis 
satu tahun penjara. "Jauh beda dengan perkara korupsi yang dibawa ke pengadilan 
antikorupsi, rata-rata lima tahun penjara." 

Indonesia Corruption Watch punya data perihal loyonya para hakim pengadilan 
negeri menghajar koruptor. Sepanjang 2005-Juni 2008, lembaga ini mencatat, dari 
1.184 terdakwa kasus korupsi yang dibawa ke pengadilan umum, sekitar 450 orang 
divonis bebas. "Pengadilan umum tidak mendukung pemberantasan korupsi," kata 
Koordinator Divisi Hukum dan Pengawasan Peradilan, Emerson Yuntho. 

Karena itulah, untuk menyelamatkan Komisi jika rancangan ini tak rampung, 
satu-satunya cara, pemerintah harus menyiapkan peraturan pemerintah pengganti 
undang-undang. Peraturan itu harus keluar pada April. "Walau belum deadline, 
jika sampai bulan itu belum jadi, sudah tidak ada harapan lagi." 

Membuat peraturan pemerintah pengganti undang-undang itu jelas juga bukan 
perkara mudah. Tidak saja harus ada faktor keadaan darurat, Dewan pun bisa 
mengganjal peraturan itu, bahkan membatalkannya. Menurut pakar hukum pidana 
dari Universitas Indonesia, Indrianto Seno Adji, untuk saat ini tidak ada 
alasan tepat mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang tentang 
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. "Karena masalah ini masih dalam kekuasaan 
kehakiman," katanya. 

Nah, menurut Indrianto, jika Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tak terbentuk, 
semua kasus yang ditangani Komisi akan dikembalikan ke prinsip hukum acara, 
yakni ke pengadilan negeri atau umum. Jika ini terjadi, sempurnalah sudah 
hasrat membuat Komisi Pemberantasan Korupsi jadi macan ompong. 

L.R. Baskoro, Rini K., Ramidi, Munawwaroh, Martha S., Pito A. (Yogyakarta) 

Pasal Penting Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi 

Pasal 3 
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berkedudukan di setiap ibu kota kabupaten/kota 
yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan. 

Pasal 5 
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan satu-satunya pengadilan yang 
berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi. 

Pasal 6 
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 berwenang 
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara: 

  1.. Tindak pidana korupsi 
  2.. Tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak 
pidana korupsi 
  3.. Tindak pidana yang secara tegas dalam undang-undang lain ditentukan 
sebagai tindak pidana korupsi.


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke