Perjodohan Anak dan Perang Pemikiran

 

 

Kolom Benteng Terakhir

oleh Siti Aisyah Nurmi

 

Senin, 22/12/2008 07:44 WIB

 

 

Perang Pemikiran (ghazwul fikry) amat gencar dilakukan para musuh Islam
dalam bidang pendidikan anak yang termasuk dalam bidang pembahasan keluarga.
Apalagi jika dalam budaya setempat ternyata ada celah-celah jahiliyah yang
memang masih tersisa dari budaya lama, maka itulah sasaran empuk untuk
memerangi syari'at Islam secara keseluruhan. 

 

Belum lama ini ada berita, seorang wanita muda keturunan Bangladesh
"berhasil" dibebaskan dari "tahanan" orangtuanya di Bangladesh dan kini
kembali ke Inggris, negeri yang ia (wanita tersebut) menyebutnya sebagai
"home".

 

Humayra Abedin, seorang dokter yang sedang belajar di Inggris, ditahan
orangtuanya di rumah dan rumahsakit jiwa karena akan dipaksa menikah di
Bangladesh. Orangtuanya memanggilnya pulang dari Inggris dengan dalih ibunya
sakit keras, padahal maksud sebenarnya adalah tidak setuju dengan hubungan
Humayra dengan seorang Hindu. Dan orangtuanya  ingin menikahkan sang dokter
(dengan paksa) di Bangladesh.

 

Tindakan pembebasan ini dimungkinkan oleh sebuah undang-undang Forced
Marriage Act yang baru saja bulan lalu diberlakukan di Inggris untuk
mencegah pernikahan paksa bagi penduduk Inggris Raya. Meskipun dokter
Humayra bukan warga negara Inggris, ternyata Pengadilan Inggris mampu
mempengaruhi pengadilan Bangladesh untuk memaksa orangtua dokter Humayra
membawanya ke pengadilan dan kemudian menjemputnya dengan paksa dari tangan
kedua orangtuanya di negerinya sendiri untuk dibawa ke Inggris.

 

Sungguh hebat makar dunia Barat saat ini atas dunia Islam sampai-sampai
sebuah negara harus rela menyerahkan warga negaranya dari negerinya sendiri
untuk dibawa ke negara Barat dengan alasan "untuk dilindungi". Alangkah
malangnya Bangladesh yang membiarkan kedaulatannya dilecehkan dan
mengalahkan kepentingan warga negaranya yang lain (yaitu kedua orangtua
Humayra) untuk memuaskan syahwat  negara Barat, padahal kedua orangtua
Humayra bermaksud menegakkan syari'at Islam dengan tidak mengizinkan anaknya
terus menjalin hubungan dengan boyfriend-nya yang Hindu.

 

Pers Barat merilis masalah ini dari sisi "kebebasan untuk menentukan
pilihan" bagi seorang anak. Pers Barat mengecam tindakan orangtua Humayra
yang mengekang kebebasannya dan berencana menikahkan wanita ini dengan orang
lain di Bangladesh.

 

Kasus yang menarik, dengan tidak bermaksud mencampuri urusan dokter Humayra
Abedin tersebut, cobalah kita lihat dari sisi lain.

 

Beberapa waktu yang lalu juga ada berita di media elektronik Barat tentang
keberhasilan seorang anak perempuan di bawah umur untuk mendapatkan "Khulu"
atau gugat cerai dari suaminya karena ia sebenarnya tidak setuju dinikahkan
dengan orang yang dipilihkan orangtuanya alias ia sebenarnya menikah karena
dipaksa oleh orangtuanya. Kejadian ini terjadi di Yaman dan konon ada LSM
asing yang terlibat membantu gugat cerai si anak dan sempat menarik
perhatian mantan firstlady Amerika yaitu Hillary Clinton.

 

Di tanah air seorang Ustadz Puji sempat menjadi berita karena menikahi anak
di bawah umur.

 

Sisi yang penting diamati di sini adalah: Apakah orangtua memang bersalah
jika mengatur perjodohan anaknya? Apakah orangtua bersalah jika tidak setuju
anaknya menikah dengan bukan muslim dan lebih memilih mencarikan jodoh lain
bagi anaknya? Betapapun sang anak sudah dewasa dan sudah berpendidikan
tinggi? Apakah orangtua bersalah jika menikahkan anaknya sejak masih di
bawah umur?

 

Jika saja dalam kacamata syari'at Islam semua hal di atas dinilai "salah",
maka jelaslah syariat Islam akan mengharamkan hal tersebut dan dokter
Humayra boleh-boleh saja ber-e-mail dengan kawan-kawannya di Inggris untuk
minta tolong dibebaskan dan kemudian Pengadilan Inggris berhak menuntut
pembebasan dokter ini dari orangtuanya.

 

Dipaksa menikah memang tidak sesuai dengan syariat Islam. Seorang anak gadis
berhak menerima atau menolak calon yang diajukan orangtuanya, namun anak-pun
tidak boleh memaksakan kehendak dan kemudian memilih jodoh yang bahkan bukan
muslim. Bukankah seorang anak gadis dinikahkan oleh walinya yaitu orangtua?

 

Berita-berita atau peristiwa-peristiwa di atas selalu dikaitkan dengan satu
isyu yang sering membuat geram umat Islam: Human Rights/ Hak Asasi Manusia.

 

Hak Asasi Manusia (HAM) seolah sebuah undang-undang yang dapat menyebabkan
orangtua boleh kehilangan hak asuh terhadap anaknya, boleh kehilangan hak
untuk mengatur perjodohan anak dan sebagainya. Bahkan membolehkan seseorang
menikah dengan jodoh pilihannya sendiri, meskipun beda agama. Dengan kata
lain, HAM dianggap lebih tinggi dari hukum Islam meskipun terhadap ummat
Islam sendiri.

 

Begitulah realita dunia kita saat ini, khususnya dunia pemberitaan. Dominasi
media Barat yang dikendalikan oleh jaringan musuh-musuh Islam, selalu saja
mengangkat berita dan peristiwa yang sengaja untuk memenangkan Perang
Pemikiran (Ghazwul Fikry) yang mereka lakukan.

 

Tujuan mereka sederhana: menghancurkan sendi-sendi Islam satu persatu, dan
Syari'at Islam termasuk yang utama dihancurkan.

 

Di lain pihak, ummat Islam sendiri sudah mengalami begitu banyak pelarutan
dan percampuran nilai dengan berbagai budaya setempat sehingga syari'at
Islam-pun tercemar oleh nilai-nilai budaya jahiliyah yang tidak fitri, tidak
sesuai dengan nilai dari Allah SWT.

 

Contoh tentang dokter Humayra Abedin yang berasal dari budaya Hindi, di
dalam budaya Hindi lama yang Hindu bahkan wanita dianggap sebagai barang
milik yang jika suaminya meninggal seharusnya ikut setia mati dibakar saat
kremasi suaminya. Pemaksaan dalam perjodohan anak perempuan merupakan
keharusan dalam budaya hindi lama. Rupanya ketika Islam masuk ke tanah India
(sekarang India, Pakistan, Bangladesh, Kashmir) budaya Hindi masih mewarnai
adat istiadat yang dipraktekkan masyarakat yang sudah masuk Islam. 

 

Perang Pemikiran (ghazwul fikry) amat gencar dilakukan para musuh Islam
dalam bidang pendidikan anak yang termasuk dalam bidang pembahasan keluarga.
Apalagi jika dalam budaya setempat ternyata ada celah-celah jahiliyah yang
memang masih tersisa dari budaya lama, maka dari situlah terbuka celah
sasaran empuk untuk memerangi syari'at Islami secara keseluruhan.

 

Para ibu, para ayah, para pendidik lain seharusnya sadar ancaman penyerangan
ini dan oleh karenanya waspada dan siaga menghadapinya.

 

Realita ummat Islam di seluruh bagian dunia saat ini adalah sebagai ummat
yang bertahan atau defensif semata. Karena didera berbagai isyu terorisme
yang tak henti-hentinya dilancarkan oleh musuh-musuh Islam, kebanyakan ummat
Islam sudah tak lagi punya waktu untuk waspada terhadap bentuk penyerangan
lain yang secara diam-diam dan terang-terangan terus dilancarkan ke dalam
rumah kita. Semoga saja semua ini akan segera berakhir. Amin. Wallahua'lam
(SAN 22122008).

http://www.eramuslim.com/syariah/benteng-terakhir/perjodohan-anak-dan-perang
-pemikiran.htm

 



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke