Jawa Pos Senin, 19 Januari 2009 ]
Dinasti Politik Membusukkan Pemilu Oleh: Ahmad Nyarwi Banyak sejumlah keluarga politisi nasional yang maju menjadi caleg jadi di partai masing-masing. Bahkan, sejumlah anak dan anggota keluarga politisi nasional dari zaman Orde Lama dan Orde Baru serta zaman setelah reformasi memiliki kecenderungan kuat diorbitkan untuk tampil jadi calon pemimpin nasional. Fenomena tersebut makin menunjukkan bahwa pasca Orde Baru, pembiakan dinasti politik kian subur dalam gelanggang politik Indonesia. Apakah fenomena dinasti politik hanya merupakan sejarah politik di Indonesia? Tentu tidak. Dinasti politik subur di banyak negara. Sejarah politik berbagai negara di Asia tercatat tak lepas dari belenggu para dinasti politik tersebut. Politik Para Dinasti di Asia Di kawasan Asia, kita dapat menyimak bagaimana sejarah politik terus diwarnai dengan geliat para dinasti. Fakta politik itu dapat kita lihat di Filipina, Bangladesh, Sri Lanka, India, Pakistan, dan Malaysia. Panggung politik terus berlangsung di tengah regenerasi para dinasti. Perkembangan dinasti politik di Filipina dapat kita simak, antara lain, sejak 1970-an dalam kepemimpinan Ferdinand Marcos dan dilanjutkan masa Presiden Arroyo. Para ahli politik Asia Tenggara mengatakan, dominasi politik Filipina telah berkembang secara meluas beberapa tahun terakhir ini. Hingga saat ini, tercatat 250 keluarga politisi di Filipina, yang setidaknya berada di tiap provinsi, mengisi posisi di tiap tingkat birokrasi. Kisah dinasti politik lainnya juga dapat kita simak di sepanjang sejarah Pakistan dan India. Keluarga Bhutto merupakan salah satu dinasti politik yang sangat populer di negeri tersebut. Ayah Benazir pernah menjadi perdana menteri (PM) Pakistan terpilih pertama, tetapi kemudian digulingkan oleh tentara pada 1977. Geliat dinasti politik juga cukup subur di India. Keluarga Gandhi merupakan salah satu legenda dalam dinasti politik di negeri ini. Anaknya yang kemudian menjadi PM, Indira Gandhi, ditembak oleh pengawal sikh-nya ketika berjalan di tamannya pada 1984. Tragedi itu melemparkan putranya yang sekaligus suami Sonia, Rajiv Gandhi, ke politik dan ke dalam jabatannya sebagai kepala pemerintahan. Rajiv pun mengalami akhir sejarah yang tragis. Dia tewas dalam aksi bunuh diri dalam kampanye pemilihan 1991. Setelah Rajiv Gandhi tewas, sang istri, Sonia Gandhi, mati-matian ingin menjauhkan diri dari politik. Namun, pada 1998, setelah mendapatkan tekanan sangat besar dari Partai Kongres, dia pun terjun ke panggung politik. Sonia Gandhi pun kemudian menjadi salah seorang politikus yang paling berpengaruh di India. Dinasti politik yang sangat fenomenal barangkali dapat kita temui dalam sejarah politik Sri Lanka. Chandrika Bandaranaike-Kumaratunga (49 tahun) terpilih menjadi PM hasil pemilu Agustus 1994 dan menjadi presiden wanita pertama di dunia. Sedangkan ibunya, Sirimavo Bandaranaike, diangkat menjadi PM. Dinasti tersebut sudah menghasilkan tiga PM dan seorang presiden sejak kemerdekaan Sri Lanka 1948. Solomon Bandaranaike, suami Sirimavo, kemudian terpilih menjadi PM pada 1956, tapi kemudian tewas dibunuh pada 1959. Jandanya, Ny Sirimavo, kemudian terpilih menjadi PM tahun berikutnya. Dia kalah dalam pemilu 1965, tapi kembali lagi ke pentas kekuasaan 1970-1977. Simalakama Orde Baru mestinya telah menjadi pelajaran berharga bagi perjalanan Indonesia akan bahaya dampak dari belenggu para dinasti politik. Pertama, dominasi dan belenggu dinasti politik pada sistem politik dan parpol di Indonesia akan menumpulkan fungsi sistem politik sebagai mekanisme demokratis dalam mengawal kepentingan publik. Dominasi dinasti politik dalam jangka panjang akan makin mengerdilkan sistem politik. Sebab, sirkulasi elite dan kepemimpinan -yang mestinya bersifat terbuka- kian tertutup oleh dominasi kepentingan dinasti politik. Kedua, dominasi dan belenggu dinasti politik akan menyeret sistem politik dan partai politik ke arah "personalisasi dan privatisasi kepentingan politik". Dalam sistem demokrasi kesejahteraan, arena politik merupakan arena yang terbuka. Ada potensi besar di mana sumber daya ekonomi-politik yang diperjuangkan, diperoleh, dan dikelola oleh parpol -yang mestinya untuk kepentingan publik- diprivatisasi oleh masing-masing keluarga. Ketiga, menguatnya dominasi dan belenggu dinasti politik itu juga akan membusukkan budaya politik dan etika publik. Bagaimana tidak, dengan rekrutmen elite yang cenderung tertutup, dominasi penggunaan akses sumber daya ekonomi-politik yang terus dimonopoli keluarga dan juga hasrat akumulasi kekuasaan selama beberapa fase generasi menjadikan arena politik semata-mata sebagai gelanggang perebutan aset publik. Keempat, menguatnya dominasi dan belenggu dinasti politik tersebut dapat merusak efektivitas kinerja sistem politik. Mengapa? Sebab, institusi politik dan sistem politik dihuni oleh elite dengan mental yang harus terus-menerus dilayani, bukan melayani. Pada arena politik dan sistem politik dimaksudkan untuk melahirkan pelayanan publik dan kebijakan yang benar-benar mengedepankan kepentingan publik. Karena itu, dibutuhkan usaha serius untuk memperbaiki sistem politik dan budaya politik kita di masing-masing parpol atau institusi politik di Indonesia. Akankah kita akan membiarkan dinasti politik terus membonsai kapasitas sistem demokrasi di Indonesia? Akankah kita mulai berniat untuk mengubahnya? Ahmad Nyarwi, analis komunikasi politik, dosen program Ilmu Komunikasi Politik, Departemen Ilmu Komunikasi, Fisipol UGM, Jogjakarta. [Non-text portions of this message have been removed]