http://id.acehinstitute.org/index.php?option=com_content&task=view&id=276&Itemid=9


      KEKAYAAN ALAM ACEH, ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN 

                  Written by Muhammad Arif Syahrijal | Geolog, on 11-09-2008 
11:43
                 
                  Views : 915    
                 
                  Published in : , Ekonomi
                 

                   
                  REOT: Desa-desa di Aceh umumnya masih banyak yang miskin. 
Dari 4,5 juta jiwa penduduknya, sekitar 50% masih berada dalam jurang  
kemiskinan. Ditemukanya sumber-sumber pertambangan di beberapa titik di Aceh 
diharapkan mampu membawa angin perubahan buat rakyat miskin seperti dalam 
gambar ini  [Foto: TheGlobeJournal | AF] 
            Saya menemukan hal yang menarik ketika membaca laporan utama 
majalah Swasembada, Edisi 13, Juni 2008. Laporan tersebut menyebutkan bahwa 
Aburizal Bakrie, salah seorang pemegang saham PT. Bumi Resources, TBK, 
dinobatkan oleh majalah Globe Asia menjadi orang terkaya di Asia Tenggara 
dengan kekayaan US$ 9,2 Miliar. Atau sekitar 83 Trilyun Rupiah. Sementara dana 
yang dianggarkan untuk pengembangaan masyarakat (community development) 
perusahaan tersebut pada tahun 2007 sebesar US$ 7 juta. Jumlah kekayaan sebesar 
itu sudah lebih dari cukup untuk membiayai proses rehabilitasi dan rekonstruksi 
Aceh dan Nias pascagempa dan Tsunami 2004.

            Lalu apa sebenarnya yang menarik dari laporan tersebut? Dimana 
Aburizal Bakrie telah dinobatkan sebagai sosok terkaya di Asia Tenggara saat 
ini dengan roda bisnis yang dijalankan dibidang pertambangan. Dibawah bendera 
PT. Bumi Resources, TBK dan PT. Kaltim Prima Coal (KPC) serta PT. Arutmin 
sebagai anak perusahaan yang menjadi motor penggerak roda aktifitas ekonominya, 
mereka menggarap pasar batubara dan bahan tambang mineral yang memang sedang 
booming saat ini.


            Bisnis berbasis sumber daya alam (natural resources) diprediksi 
para pengamat ekonomi akan terus menjadi primadona untuk satu dekade kedepan, 
ditengah makin gonjang-ganjingnya harga minyak mentah dunia yang sudah melebihi 
110 U$ dollar/barel. Seharusnya kesempatan ini menjadi momentum kebangkitan 
ekonomi Indonesia yang kaya raya akan sumber daya alam. Sungguh ruginya 
manakala cipratan rezeki ini hanya dirasakan oleh para konglomerat-konglomerat 
yang memang jauh dari kehidupan melarat. Bangsa Indonesia yang menjadi pewaris 
utama harta ini semestinya menjadi pihak pertama yang menikmatinya.

            Bahan - Bahan Tambang
            Sebenarnya, ketersediaan bahan tambang atau bahan galian dibumi ini 
selalu berkaitan dengan kondisi geologi suatu daerah. Indonesia secara umum 
memiliki semua kondisi terbaik yang memungkinkan terbentuknya endapan mineral 
dan migas. Dari Papua, dengan Pegunungan Garsberg yang melimpahi emas dan 
tembaga. Di Aceh, dengan tambang minyak dan gasnya mampu membangun ibukota 
Indonesia hingga gemerlap, namun ironisnya, seputar lingkungan pabrik raksasa 
itu, kehidupan masyarakatnya malah melarat, belum lagi kalau bicara keseluruhan 
Aceh yang seharusnya mampu mengentaskan kemiskinan dengan hasil melimpah dari 
pabrik yang dikeruk dari perut bumi Aceh. Di pantai Barat-Selatan Aceh juga 
kaya akan endapan mineral ekonomis dan batubara sedangkan pantai Timur-Utaranya 
mengandung ladang minyak dan gas raksasa seperti yang kita saksikan selama ini 
di sepanjang jalan nasional Banda Aceh- Medan.

            Potensi sumber daya alam yang luar biasa besar di Aceh ini sampai 
sekarang belum dirasakan manfaatnya secara menyeluruh untuk masyarakat, 
sementara Aburizal Bakrie yang seorang saja dapat menjadi orang terkaya di Asia 
Tenggara dari hasil tambang. Seharusnya Aceh yang kaya hasil tambang juga mampu 
berdiri sendiri mengelola hasil kekayaan  alam untuk selanjutnya memberikan 
kesejahteraan bagi rakyatnya. Agar hasil tambang dan kekayaan alam lainnya 
segera dapat dinikmati rakyat, maka ada tiga langkah yang dapat dilakukan 
segera menurut penulis;

            Pertama, Institusi pendidikan di Aceh harus segera membuka program 
pendidikan ilmu kebumian, baik itu geologi, perminyakan atau pertambangan. 
Sepanjang pantai barat - selatan dan pantai timur - utara Aceh, serta 
pegunungan bukit barisan yang gagah membentang, banyak sekali objek yang dapat 
dijadikan studi ilmu kebumian yang bermuara pada tersingkapnya rahasia material 
- material tambang yang berharga.

            Sebagai contoh, hamparan perbukitan batu gamping (limestone) di 
daerah Lhoknga, Aceh Besar yang kini dijadikan bahan baku pembuatan semen. 
Potensi tenaga panas bumi di Jaboi, Sabang. Manifestasi panas bumi (Ie seum) di 
Lamteuba, Aceh Besar, dan masih banyak objek ilmiah kebumian menghampar di 
sepanjang bumi dan bawah bumi Aceh yang belum tergali secara maksimal dari sisi 
penelitianya. Semakin banyak kajian ilmiah kebumian yang dihasilkan oleh 
institusi pendidikan, maka semakin kita mengerti betapa besarnya potensi 
kekayaan alam Aceh itu sendiri. Harapannya kalau pendidikan ilmu kebumian ada 
di Aceh, selain potensi kekayaan alam Aceh terpetakan, akan muncul pula para 
ahli dan sarjana ilmu kebumian produk asli Aceh.

            Di Yogyakarta misalnya, dengan banyaknya penelitian ilmiah dari 
institusi pendidikan ilmu kebumian disana, banyak sekali terungkap 
potensi-potensi alam yang berguna untuk masyarakat sekitar, seperti 
terungkapnya sungai bawah tanah di daerah pegunungan batu gamping Wonosari, 
yang sulit untuk mendapatkan air bersih. Adanya potensi air bawah tanah 
tersebut menjadi solusi permasalahan yang terjadi disana.

            Kedua, Acehnisasi Perusahaan minyak/tambang yang beroperasi di 
Aceh. Maksudnya adalah setiap perusahaan minyak atau tambang yang beroperasi di 
Aceh harus melibatkan pemerintah Aceh sebagai pemilik saham (shareholders). 
Dengan begitu, keuntungan yang akan diperoleh oleh pemerintah Aceh akan lebih 
optimal. Tidak hanya sekedar pendapatan dari pajak pertambangan yang jumlahnya 
sangat kecil jika dibandingkan dengan hasil produksi yang dinikmati kontraktor 
pengelola.

            Keuntungan lain jika Pemerintah Aceh sebagai pemegang saham adalah 
dapat mengajukan kebijakan-kebijakan yang prorakyat dalam internal perusahaan, 
terutama untuk pembukaan lapangan kerja baru bagi para pengangguran dan 
kebijakan lainnya yang lebih menitikberatkan kepada community development. 
Sehingga perusahaan pengelola hasil tambang tidak hanya sekedar berbisnis dan 
menjadi pedagang.

            Coba lihat kenyataan yang terjadi sekarang, secara nasional 
Pemerintah RI hanya mendapat royalti sebesar 10% - 15% untuk subsektor 
batubara. Sedangkan di tambang emas hanya 2,5% - 3% saja. Padahal untuk satu 
wilayah pertambangan saja, kontraknya bisa mencapai 30 Tahun seperti halnya PT. 
Freeport di Papua. Fakta ini menunjukkan bahwa sebagian besar hasil alam ini 
manfaatnya tidak dirasakan untuk masyarakat Indonesia. Lain halnya jika 
Pemerintah RI punya saham yang besar di provit tersebut, kita bisa bayangkan 
bahwa pendapat akan berlipat ganda dari hasil keuntungan perusahaan dan 
penerimaan royalti.

            Ketiga, pembentukan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang bergerak 
dibidang pertambangan baik energi (migas dan batubara) ataupun non energi 
(emas, tembaga, pasir besi, nikel dan lain-lain). Langkah ini sudah dijalankan 
oleh Provinsi Riau dengan membentuk perusahaan yang mengelola sumur-sumur tua 
penghasil migas untuk dilakukan optimisasi produksi. Secara ekonomi sebenarnya 
akan lebih baik hasil kekayaan Aceh dikelola oleh dirinya sendiri daripada 
mengundang investor luar untuk kemudian memakai sistem bagi hasil. Alasannya 
sederhana, keuntungan yang diperoleh akan berlipat ganda tanpa perlu dibagi 
lagi kepada investor pengelola. Tentu saja, dalam mengelola bisnis pertambangan 
resiko juga tidak kecil. Tetapi hasil yang akan diperoleh akan berbanding lurus 
dengan tingginya nilai resiko.

            Kekayaan Alam yang ada di Aceh sejatinya adalah rahmat Allah untuk 
masyarakat Aceh. Akan tetapi, jika cara mengelolanya yang tidak benar, manfaat 
itu hanya dirasakan segelintir orang. Sudah saatnya kita bangkit dengan visi 
yang lebih bernas dan prorakyat. Tidak perlu takut investor enggan datang, 
karena mereka perlu menjaga kebutuhan energi di negara atau wilayahnya. Pun 
mereka juga perlu menjaga ketersediaan bahan baku (raw material) untuk 
industri-industrinya. Jadi, kalau mau bermain di Aceh, ikutlah aturan main yang 
ada di Aceh.

            Kedepannya, Pemerintah Aceh harus lebih serius menggarap sektor 
ini, persiapan regulasi yang tegas dan mengikat, strategi jangka panjang dan 
pendek serta yang paling penting hasilnya secara nyata dapat dirasakan oleh 
masyarakat Aceh. Tidak seperti sekarang ini, secara umum kita mengetahui 
proporsi bagi hasil migas, tetapi nilai nominalnya tidak pernah dipublikasikan. 
Kita tidak ingin menjadi "ayam mati dilumbung padi", namun matinya bukan karena 
kekenyangan melainkan kerena kelaparan, sebab padinya milik orang lain. Wallahu 
a'lam bishshawab.

            Muhammad Arif Syahrijal | Geolog, Alumni Jurusan Teknik Geologi 
Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta
           
     


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke