Refleksi: Angka buta askara menurun dari 15,4 juta menjadi 9,76 juta. Benarkah angka buta askara ini menurun ataukah sebenarnya adalah angka kampanye Pemilu?
http://www.ambonekspres.com/index.php?act=news&newsid=25365 Rabu, 21 Jan 2009, | 3 Bebas Buta Aksara Pemerintah, dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional, menegaskan telah berhasil menurunkan jumlah penduduk yang buta aksara. Tahun lalu, angka buta aksara usia 15 tahun ke atas masih 15,4 juta orang. Saat ini turun menjadi 9,76 juta orang. Setiap warga negara Indonesia pastilah bangga atas kian berkurangnya jumlah penduduk buta aksara. Sebagai negara yang terus berkembang -bahkan beberapa kota besar sudah dinyatakan sebagai kota metropolitan yang maju dan sejajar dengan kota-kota metropolitan di negara maju-, seharusnya memang terjadi proses difusi budaya perkotaan yang mengharuskan warganya semakin educated (berpendidikan). Kalau sampai saat ini masih tersisa 9,76 juta penduduk yang tidak bisa membaca dan menulis, tentulah ada sesuatu yang keliru dalam pengembangan sistem pendidikan nasional di negeri ini. Bayangkan, usia kemerdekaan sudah 65 tahun. Sebagian warga sudah mengenyam pendidikan sampai ke negeri orang. Anggaran pendidikan nasional terus dinaikkan. Kenyataannya, tidak cepat juga untuk segera menghabisi buta aksara. Di kota-kota besar, biaya pendidikan terus meningkat. Kenyataannya tidak berdifusi ke daerah pedesaan agar mempercepat pemerataan pendidikan. Justru ketimpangan yang terjadi. Di satu pihak, ada sejumlah warga yang mendapatkan akses pendidikan, meski biaya terus meningkat. Di lain pihak, masih banyak warga yang sulit mendapatkan akses mudah terhadap pendidikan. Itulah yang menyebabkan hingga saat ini angka buta aksara masih tergolong tinggi. Tahun lalu, pemerintah mengumumkan akan memenuhi anggaran pendidikan yang diamanatkan konstitusi. Yakni, 20 persen dari APBN dan 20 persen dari APBD untuk daerah-daerah. Diharapkan, dengan persentase sebesar itu, bukan hanya perbaikan sarana dan mutu pendidikan yang bisa ditingkatkan, namun juga mempercepat pemerataan akses belajar-mengajar. Dengan demikian, sisa 9,76 juta penduduk buta aksara itu bisa segera diturunkan lagi. Bahkan, dalam lima tahun ke depan, sudah tidak ada penduduk Indonesia yang buta aksara. Harus pula dipahami, masih tingginya angka buta aksara mencerminkan pula keterbelakangan atau ketertinggalan di bidang lain. Misalnya, dengan buta aksara, sangat mungkin pula seseorang, kelompok, atau komunitas buta hukum dan tidak berdaya secara ekonomi. Karena itu, pemberantasan buta aksara sesungguhnya merupakan ikhtiar lain untuk meningkatkan keberdayaan hukum dan ekonomi. Dengan tiadanya warga yang buta aksara, akan meningkat pula kesadaran mengenani hak-haknya untuk mendapatkan perlakuan yang adil. Akan meningkat pula empatinya untuk memperbaiki kesejahteraan sosialnya. Jadi, betapa urgen dan mendesaknya keharusan untuk mempercepat pemusnahan angka buta aksara. Dengan menunjukkan bukti bahwa semua warga negara Indonesia bebas buta aksara serta semua telah mendapatkan pendidikan yang bermutu, bangsa Indonesia boleh bertepuk dada. Bahwa bangsa Indonesia memang telah sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang maju dan bermartabat. (*) [Non-text portions of this message have been removed]