http://www.tempointeraktif.com/hg/opiniKT/2009/02/04/krn.20090204.155784.id.html
Bukan Demonstrasi, Melainkan Aksi Keji Rabu, 04 Februari 2009 | 00:44 WIB Sungguh keji. Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan aksi yang berlangsung di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara kemarin. Aksi ini tak layak disebut demonstrasi karena yang terjadi hanya kebrutalan. Penegak hukum harus memberikan ganjaran berat kepada para pelaku yang telah membuat Ketua DPRD Sumatera Utara Abdul Aziz Angkat meninggal dalam kejadian ini. Tragedi itu bermula ketika sekelompok orang menggeruduk gedung DPRD Sumatera Utara. Mereka datang dengan amarah meletup-letup. Tuntutan mereka tak boleh ditawar: meminta Dewan setempat segera mengesahkan pembentukan Provinsi Tapanuli. Aziz Angkat menemui massa, namun dia tak bisa memenuhi segera permintaan itu karena DPRD belum bisa bersidang. Yang terjadi kemudian, bukan diskusi ataupun cuma perang pernyataan. Massa yang meradang mulai menyerang. Mereka menghajar ruang-ruang di gedung DPRD. Massa juga melabrak Aziz Angkat. Seorang saksi mata, anggota DPRD setempat, melihat massa memukul Ketua Dewan itu. Sebanyak 250 polisi yang berjaga-jaga seolah tak berdaya. Aziz akhirnya meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit. Menurut versi polisi, Aziz meninggal karena terkena serangan jantung. Tapi fakta bahwa korban dipukuli hingga lemas, bahkan pingsan, sulit dibantah karena banyak orang menyaksikannya. Perbuatan brutal yang mengatasnamakan demonstrasi ini jelas tidak bisa dibiarkan. Kebebasan berpendapat memang dijamin konstitusi. Namun, itu bukan berarti orang boleh berdemonstrasi seenak udelnya. Di negara mana pun, demonstrasi dibatasi oleh rambu-rambu. Di Indonesia, rambu-rambu itu adalah Undang-Undang tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Tindakan merusak atau menyerang seperti dalam unjuk rasa di Medan itu tentu dilarang. Dalam undang-undang tersebut jelas dinyatakan: orang yang menyampaikan pendapat wajib menghormati hak-hak orang lain serta menjaga ketertiban umum. Mimpi untuk segera menjadikan Tapanuli sebagai provinsi tersendiri tak harus diwujudkan warga dengan cara anarkistis. Agar usulan itu disetujui Dewan Perwakilan Rakyat, memang harus disepakati dulu oleh DPRD Sumatera Utara. Tapi tujuan ini tak boleh dicapai dengan menghalalkan segala cara. Warga seharusnya menghadapi proses tersebut dengan kepala dingin dan akal sehat. Publik juga mempertanyakan sikap kepolisian yang tidak serius menertibkan aksi anarkistis itu. Para petugas pun terlihat tidak sigap, bahkan terkesan membiarkan, pemukulan itu terjadi. Aparat juga lalai mengamankan salah satu ikon penting demokrasi di negeri ini, yakni lembaga DPRD. Selama ini aparat sering membiarkan pengunjuk rasa menduduki gedung DPRD berhari-hari, sampai-sampai sidang pun terpaksa diliburkan. Ini pelajaran pahit bagi bangsa ini. Tragedi di Medan itu harus menjadi yang terakhir. Tak boleh lagi jatuh korban jiwa gara-gara unjuk rasa. Polisi harus segera menyeret otak kerusuhan dalam demonstrasi itu ke meja hijau. Bila hukum tak ditegakkan, kejadian serupa mudah terulang. [Non-text portions of this message have been removed]