http://www.radartimika.com/index.php?mod=article&cat=Opini&article=15766

Jumat, 13/02/2009 | 02:08 (GMT+9)



Manipulasi Stimulus Ekonomi

Oleh:Ahmad Erani Yustika 



Pemerintah kembali memperlihatkan sikap yang sangat memprihatinkan dalam 
menghadapi krisis ekonomi. Setiap minggu pemerintah merevisi jumlah stimulus 
yang akan diberikan, sedangkan secara spesifik rincian penggunaan dana stimulus 
juga belum jelas. 
Hal itu berbeda dengan negara-negara lain, sebut saja Thailand, Singapura, 
Australia, AS, dan Jerman yang secara detail sudah menetapkan jumlah anggaran 
yang dibutuhkan (walau sebagian masih menunggu persetujuan parlemen/kongres). 
Terakhir, pemerintah menganggarkan Rp 71 triliun dana stimulus, yang terbagi 
dalam dua klasifikasi. Pertama, Rp 43 triliun merupakan dana stimulus tidak 
langsung dalam wujud penghematan pembayaran pajak dari tarif baru PPh badan, 
orang pribadi, dan pendapatan tidak kena pajak (PTKP). Kedua, dana stimulus 
langsung berbentuk belanja langsung, penurunan harga solar, belanja 
infrastruktur, perluasan PNPM, dan lain-lain (Jawa Pos, 7/2/2009). 

Manipulasi Stimulus 

Fakta yang sulit ditutup-tutupi ialah program stimulus ekonomi sarat dengan 
kepentingan politik. Pertama, besaran stimulus ekonomi sengaja di "mark up" 
seolah itu merupakan bentuk tanggung jawab pemerintah untuk melindungi 
kehidupan masyarakat. 
Celakanya, pemerintah tidak bisa merinci untuk kepentingan apa saja dana 
stimulus itu dipakai. Dengan demikian, sulit dihindari kesan bahwa perubahan 
besaran dana stimulus ekonomi hanya merupakan cara pemerintah membungkus agenda 
politik di balik itu. 
Demikian pula, defisit APBN yang dibuat sangat besar, Rp 132,1 triliun (2,5 
persen dari PDB), dipromosikan sebagai konsekuensi pembengkakan stimulus 
ekonomi (selain akibat penurunan penerimaan negara). 
Model penanganan krisis semacam itu jelas tidak bertanggung jawab karena 
memberikan harapan kosong kepada masyarakat. Pada akhir tahun nanti, hampir 
pasti pemerintah tidak akan berhasil merealisasikan defisit sebesar itu karena 
kapasitas yang terbatas.
Kedua, sebagian stimulus ekonomi sebesar itu sebenarnya merupakan manipulasi 
angka yang bisa diputarbalikkan. Dana Rp 43 triliun dalam bentuk penghematan 
pembayaran pajak tidak bisa disebut sebagai instrumen stimulus ekonomi untuk 
menghadapi krisis. Sebab, penggodokan penghematan pembayaran pajak tersebut 
dilakukan sejak lama sehingga krisis terjadi atau tidak program itu tetap 
berlangsung. Fakta tersebut yang tidak diketahui publik sehingga terkesan 
program itu didesain untuk menyikapi krisis ekonomi.
Ketiga, dana stimulus tidak langsung belum tentu memicu pergerakan kegiatan 
ekonomi karena para pembayar pajak merupakan orang dari golongan menengah/atas 
yang sudah berada pada level "saving-taker". Artinya, penghematan pajak belum 
tentu digunakan belanja atau investasi. Itu tentu berbeda dengan stimulus 
langsung ke masyarakat yang pasti akan digunakan belanja. Manipulasi itulah 
yang terjadi atas paket stimulus pemerintah.

Desain Stimulus Ekonomi 

Secara umum terdapat dua jenis stimulus yang diperlukan secepatnya diberikan 
kepada rakyat, walau di antara keduanya tidak bisa dibedakan secara ketat. 
Pertama, stimulus sosial. Program stimulus sosial itu diberikan tanpa syarat 
dan fokus kepada masyarakat yang paling dirugikan oleh krisis ekonomi. 


Dalam hal ini, salah satu cluster masyarakat yang pasti diguncang krisis 
ekonomi adalah penganggur baru, khususnya yang sebelumnya menjadi buruh pabrik, 
sektor informal, atau usaha mikro/kecil. 


Karakteristik penganggur itu jelas berbeda dengan orang-orang yang tumbang 
akibat permainan saham di pasar modal. Pada kaum penganggur tersebut, meski 
mereka terguncang kerugian finansial yang besar, dengan kekuataan dana tersisa 
dan tingkat keterampilan/pendidikan yang memadai situasinya tidak terlalu 
parah. Sebaliknya, penganggur dari kelompok bawah wajib mendapatkan santunan 
sosial sebagai pelampung sementara kehidupannya. 


Kedua, stimulus ekonomi. Pemetaan stimulus ekonomi memerlukan tingkat presisi 
yang tinggi untuk mencapai dua hal sekaligus: targetnya fokus sekaligus memacu 
perekonomian. Untuk setiap fokus target yang hendak diberi stimulus, mesti 
diketahui kebutuhan dan prospek keberhasilannya sehingga besaran stimulus harus 
tepat jumlah. 


Dari pemetaaan itulah, perlu dihindari model stimulus ekonomi yang sifatnya 
tidak langsung. Bagi sektor industri yang berorientasi ekspor, stimulus 
keringanan pajak (badan) mungkin bermanfaat, tapi belum tentu mendongkrak 
kegiatan ekonomi. 
Karena itu, stimulus lebih baik diberikan dalam wujud bantuan kredit ekspor 
atau subsidi bahan baku sehingga terdapat pontensi peningkatan produksi. 
Sedangkan bagi usaha mikro/kecil dan sektor informal, disiapkan crash program 
yang secara sistematis berjalan selama krisis berlangsung, misalnya 
keterlibatan dalam proyek infrastruktur. 
Selebihnya, tidak boleh dilupakan bahwa stimulus ekonomi yang hendak dilakukan 
harus memiliki makna investasi ke depan, bukan mengompensasi pengerutan 
ekonomi. 


Di sinilah pentingnya menggandengkan stimulus ekonomi dengan prioritas 
perekonomian di masa depan. Salah satu prioritas yang strategis adalah harapan 
tercapainya ketahanan pangan sehingga sebagian stimulus ekonomi digunakan untuk 
melakukan investasi ke sektor pertanian, mulai perbaikan atau pembangunan 
irigasi, penyediaan bibit dan pupuk, hingga distribusi lahan kepada petani 
gurem. 
Sebagian rencana tersebut sudah diagendakan pemerintah, misalnya perbaikan 
irigasi, tetapi belum menyentuh pada kepemilikan aset produktif, yakni tanah. 
Jika berani masuk sampai level itu, pemerintah telah memberikan bibit 
kemakmuran dan komitmen yang utuh kepada rakyat. 
Sebaliknya, bila itu tidak terjadi, mungkin pemerintah memiliki agenda politik 
lain di balik stimulus ekonomi. 

*Ahmad Erani Yustika, ketua program studi magister ilmu ekonomi Universitas 
Brawijaya, direktur eksekutif Indef di Jakarta





[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke