Dari facebooknya temen, yg kerja di huma. Kalau mau tau lebih jauh isunya, bisa 
baca-baca bahan di www.huma.or.id

http://www.facebook.com/home.php?#/note.php?note_id=54906229116&ref=mf

Pembaruan Agraria, Isu yang Dilupakan Para Caleg

Hinggar binggar para kandidat legislatif yang saat ini marak dengan poster, 
baliho dan bentuk-bentuk promosi lainnya menunjukan dua gejala sekaligus. 
Pertama, politik dipahami betul-betul sebagai ruang iklan. Disana, para figur 
berlomba-lomba menampilkan citra yang melulu baik, punya standar moral dan 
kualitas pengetahuan individual yang mumpuni. Tapi, segera kita bertanya, 
sejauh mana standard dan kualitas yang dipromosikan tersebut menyumbang manfaat 
bagi kepentingan publik atau rakyat banyak. Apakah ada hubungan yang jelas 
timbal balik antara apa yang dipromosikan dengan hasil yang nanti diperoleh 
ketika dia menduduki jabatan legislatif. Singkat kata, apa relevansi antara 
promosi yang serba super tersebut dengan kebutuhan banyak orang?

Kedua, kesibukan mempromosikan keberhasilan dan penonjolan diri sendiri 
mengabaikan isu-isu vital yang sedang bergulat di masyarakat, termasuk masalah 
agraria. Tahun 1955 isu tanah pernah berhembus kencang dan membuat PKI menjadi 
salah satu partai terbesar pemenang PEMILU. Setelah stigmatisasi PKI, isu tanah 
tenggelam menjadi isu negara, bukan lagi isu partai. Negara melalui birokrasi 
merupakan satu-satunya pengembang ide dan operasionalisasi kerangka pembaruan 
agraria yang akhirnya buntu, karena antara lain para birokrat dididik untuk 
mengangkat isu profit lebih tinggi daripada isu keadilan. Akibatnya, penguasaan 
sumber-sumber agraria (tanah dan kekayaan alam lainnya) masih dikontrol oleh 
sejumlah elit, sementara rakyat kecil makin tersisih menjadi warga tak 
bertanah. Penguasaan hutan di jaman Orde Baru yang tersentralisasi hanya pada 
10 orang konglomerat pun menjadi cerita utama kedigdayaan para punggawa bisnis 
menguasai sumber daya alam, sekaligus mengontrol birokrasi.

Setelah Orde Baru tumbang, orientasi negara dan para birokratnya belum banyak 
berubah. Distribusi penguasaan sumber daya masih timpang. Di sejumlah kampung 
di Sulawesi Tengah yang sehari-hari dekat dengan tanah dan hutan, banyak 
keluarga yang justru menguasai tanah hanya 0,25 hektar bahkan sama sekali tak 
bertanah. Watak para para birokrat pun belum berubah. Ketika program nasional 
pendaftaran tanah (Prona) memberikan subsidi bagi proses-proses pendaftaran 
tanah yang biayanya cukup mahal, para birokrat lapangan justru memungut 
sejumlah uang yang tidak sedikit. Di sejumlah tempat, hanya untuk pendaftaran 
rumah, mereka memungut biaya Rp. 800.000/rumah. Harganya akan berlipat-lipat 
jika pendaftaran dilakukan untuk tanah pertanian. Padahal, dalam skema prona, 
biaya pendaftaran, pengukuran tanah, penerbitan sertifikat dan biaya-biaya yang 
cukup tinggi sudah dihapus.

Situasi ini sama sekali tidakmenjadi perhatian partai politik dan orang-orang 
yand duduk disana. Lihat saja promosi yang mereka paparkan dalam baliho, iklan 
dan seterusnya. Hampir-hampir tidak menyentuh persoalan ini. Kebanyakan mereka 
mempertontonkan kedigdayaan individu dengan sejumlah gelar yang bikin siapapun 
tergetar. Tapi posisi mereka atau janji keberpihakan terhadap orang yang 
berdiri di bibir jurang kemiskinan sama sekali tidak termanifestasi dalam 
iklan, apalagi dalam janji formal sebagai seorang kandidat wakil rakyat.

Sejarah yang terus berulang

Pembaruan agraria adalah sebuah konsep tua sekaligus menunjukan ketegangan yang 
panjang mengenai perebutan penguasaan tanah. Menengok jauh ke belakang hingga 
jaman Romawi, ketegangan tersebut sangat nampak, bahkan hingga taruhan nyawa. 
Masa itu, kaum miskin berjuang memperoleh tanah dari para patricius atau kaum 
aristokrat yang menguasai tanah bekas penaklukan perang dalam jumlah yang 
sangat luas. Dalam hukum agraria masa itu, seharusnya tanah-tanah tersebut 
dikategorikan sebagai tanah publik (ager publikus) tapi karena kekuasaan 
aristokrat yang besar dan menguasai senat Romawi, berbagai upaya mengontrol 
penguasaan tanah selalu kandas.

Upaya untuk menguatkan distribusi tanah sejak Spurius Cassius Viscellinus tahun 
486 SM hingga Tiberius Sempronius Gracchus tahun 133 SM, selalu terbentur 
hambatan dari kaum aristokrat yang memang rata-rata menguasai tanah publik 
dalam jumlah yang luas. Viscellinus berusaha mendorong hadirnya undang-undang 
baru untuk memberikan sejumlah bidang tanah yang baru diperoleh Roma di Gaul 
kepada orang miskin Roma dan Latium. Tapi usulan itu ditolak dengan cemburu 
oleh orang-orang Roma. Upaya hukum yang termasyur dan cukup keras adalah 
Licinian Rogations (367 SM) yang membatasi secara ketat jumlah tanah yang boleh 
dikuasai oleh seorang warga Negara dan jumlah domba dan sapi yang boleh dia 
gembalakan di tanah-tanah publik. Namun, upaya ini gagal.

Tiberius Sempronius Gracchus kemudian meneruskan perjuangan Licinian dengan 
menambahkan ketentuan mengenai jumlah maksimum dari jumlah ekstra untuk setiap 
putra laki-laki. Penghuni tanah publik dikurangi dengan mengacu pada batas 
maksimum yang ditetapkan oleh hukum. Kelebihannya diberikan kepada orang 
miskin. Penghuni tersebut diberikan kompensasi berupa hak penuh atas tanah yang 
telah dia peroleh. Komisi yang merancang peraturan ini segera mendorong 
pengesahannya menjadi undang-undang. Namun, sekali lagi lagi senat dengan licik 
memperlemah komisi sehingga peraturan tersebut segera rapuh menjadi tidak 
efektif. Penolakan senat menimbulkan huru hara politik, dimana Tiberius 
kemudian terbunuh. Caius Gracchus (123 SM) meneruskan perjuangan saudaranya, 
namun kali ini Senat meluluhlantakan reforma agraria dengan membolehkan penyewa 
baru atas tanah-tanah publik menjual tanah mereka sebanyak-banyaknya, sehingga 
kesejahteraan yang diharapkan muncul dari pembagian tanah-tanah tersebut ikut 
tergadaikan. Caius juga terbunuh dalam huru hara politik yang menyertai proses 
reformasi ini.

Hampir semua tokoh pembaruan agraria di atas adalah anggota senat yang mewakili 
rakyat di wilayahnya. Cerita yang bergulat di jaman mereka juga berulang pada 
masa ini. Bisa dilihat dengan jelas, masalah dan hambatan utama pembaruan 
agraria justru berasal dari dua rival yang sangat berat yakni parlemen 
(DPR/DPRD) dan konglomerat. Keduanya sering bersatu karena memiliki jaringan 
ekonomi yang saling berhubungan. Contoh paling nyata adalah kasus suap yang 
menimpa sejumlah anggota DPR RI akibat urusan alokasi sumber daya untuk sebuah 
pelabuhan. Disitu, sangat jelas hubungan simbiosis antara pembentuk aturan 
dengan konglomerat yang diatur. Banyak "cerita burung" lainnya mengenai 
perilaku anggota wakil rakyat yang menggadaikan sumber-sumber agraria untuk 
mendukung penumpukan kekayaan sekelompok orang. Akumulasi harta tersebut pada 
giliran berikutnya juga menjadi akumulasi keuntungan bagi para para 
pendukungnya, termasuk sejumlah anggota wakil rakyat. Mata rantai ini terus 
berlanjut dan menjanjikan manfaat ekonomi dan kekuasaan yang melimpah. Boleh 
jadi, berjibunnya para caleg saat ini tidak lepas dari bertaburnya kemilau 
permata yang siap dipanen dari upaya menggadaikan hak publik, termasuk tanah 
dan berbagai bentuk serta jenis sumber daya alam.

Karpet Merah Korporatokrasi

Kecenderungan sejarah dan pola perilaku individu di ruang-ruang keputusan untuk 
publik mendorong saya untuk mengembalikan tulisan ini pada sebuah buku yang 
sempat meramaikan khazanah perdebatan ekonomi, politik, hukum bahkan kebudayaan 
beberapa tahun silam. Judulnya, Confessions of an Economic Hit Man. Ditulis 
oleh John Perkins, seorang yang difermak jadi konsultan yang kemudian meremukan 
otonomi sistem ekonomi sebuah negara lewat ide hingga program yang mendukung 
korporatokrasi.

Korporatokrasi adalah sebuah istilah yang dipakai Perkins untuk menunjuk pada 
jaringan yang rapih dan sistematis yang menghubungkan perusahaan-perusahaan 
internasional, korporasi, bank-bank dan pemerintah untuk memastikan dengan 
kekuatan finansial dan politik bahwa sekolah, bisnis dan media mendukung penuh 
proyek kekuasaan global. Korporatokrasi hadir dalam wajah Zapata Oil milik 
George Bush Sr yang kemudian mengelolah United Fruit, sebuah perusahaan raksasa 
yang menguasai hampir seluruh wilayah Amerika Tengah. Dia juga melekat dalam 
diri perusahaan raksasa konstruksi internasional, Bechtel, yang menjadi 
perusahaan pertama yang memenangi tender rekonstruksi Irak. Bechtel dikenal 
publik Amerika sebagai back up finansial yang mengendalikan Partai Republik di 
negri itu. Di dalamnya pernah terdapat nama-nama besar seperti George Shultz, 
presiden Bechtel yang menjadi Mentri Keuangan di era Nixon dan kroni keluarga 
Bush yang berkolaborasi satu sama lain (Perkins, 2005: xii, 30).

Korporatokrasi adalah wajah baru yang mengemas dan memodifikasi pola relasi 
lama sejak jauh sebelum Romawi dengan kekuatan-kekuatan baru untuk menundukan 
lawan dengan menggunakan berbagai peluang kekuasaan yang tersedia. Kekuatan ini 
akan mengontrol perolehan sumber daya alam yang sulit dijangkau pengawasan 
publik bahkan pengaruhnya menggunakan kekuatan otoritas politik suatu negara. 
Pemerintah suatu negara justru dipengarui sedemikian rupa agar mendukung ide 
dan rancangan yang ditawarkan. Sebagaimana dipaparkan Tania Murray Li, bahwa 
program-program kemajuan dari luar yang ditawarkan lewat pemerintah beroperasi 
melalui upaya mendidik keingingan, membentuk kebiasaan, aspirasi dan keyakinan. 
Program-program tersebut dibuat sedemikian rupa agar mengikuti keinginan 
pribadi seseorang sehingga dia kemudian merasa seolah-olah keinginan yang 
terpinjamankan tersebut menjadi bagian dari keinginannya sendiri (Li, 2005: 7).

Tesis Li menunjukan beberapa ironi, antara lain bahwa ide tentang kemajuan 
sudah lama dibajak oleh rejim korporatokrasi melalui perumusan ulang kesadaran 
warga dengan mengemas gagasan kemajuan seolah-olah identik dengan industri 
ekstraktif dan berbagai aktivitas lain yang mengeksploitasi sumber daya alam 
sebanyak-banyaknya. Sementara pengelolaan tradisional dianggap kuno dan terlalu 
kecil untuk mencapai indikator kemakmuran yang diusung para ahli ekonomi. 
Kekuatan utama ide ini masuk melalui pemikiran para birokrat termasuk anggota 
wakil rakyat yang dengan tergopoh-gopoh menopang ide ini agar segera terwujud. 
Tidak heran, di lapangan dampak penerapan ide tersebut sangat luas. Penguasaan 
sumber daya didistribusikan dalam jumlah besar kepada konglomerat yang 
menjanjikan model operasi pembangunan yang cepat meraih indikator pertumbuhan 
ekonomi yang terancang.

Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap para caleg yang sedang ber-euforia saat 
ini, jika tidak memahami dengan baik peta penguasaan sumber daya alam, mereka 
hanya akan menjadi bulan-bulanan jaringan kekuasaan yang mengontrol penguasaan 
sumber daya alam dengan melibas para penantang, termasuk rakyat kecil. 
Ditengarai, sudah banyak peraturan perundang-undangan yang isinya menguntungkan 
jaringan penguasaan sumber daya alam dan menghukum rakyat miskin dalam 
distribusi sumber daya yang timpang. Dalam UU Penanaman Modal, misalnya, 
investasi di bidang pertanian bisa diberikan kepada konglomerat asing dengan 
jangka waktu penguasaan 95 tahun. Sementara dalam UU Sumber Daya Air, mata air 
yang selama ini gratis buat masyarakat bisa diberikan hanya kepada seorang 
konglomerat untuk dikomersialkan. Produk-produk ini hanya menyisakan ruang 
sempit bagi masyarakat karena hampir semua wilayah penguasaan tradisional sudah 
dikapling untuk pihak lain.

Masalah peraturan perundang-undangan dan ketidakadilan penguasaan sumber daya 
agraria seharusnya menjadi tanggung jawab para wakil rakyat. Mestinya, para 
wakil rakyat jaman Romawi yang menjadi tokoh pembaruan agraria hingga bertaruh 
nyawa, menyisakan contoh bagi para caleg dimanapun. Mewakili berarti memberikan 
manfaat bagi orang yang diwakili. Jika mewakili justru lebih banyak 
mempromosikan kedigdayaan diri sendiri, artinya sang wakil sesungguhnya hanya 
mewakili dirinya sendiri. Kita seharusnya tahu, orang-orang seperti itu tidak 
layak menjadi wakil banyak orang.

Kirim email ke