Refleksi :  Kalau masalah lingkungan adalah bahagian integral dari kepentingan  
kehidupan rakyat maka tentu masalahnya telah dijadikan faktor prioritas oleh 
partai politik,  tetapi kenyataannya, hutan-hutan digundulkan, sungai-sungai 
dicemarkan mereka berlagak seperti orang bisu tuli dan lagi buta. 

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0903/12/sh03.html

Buruknya Komitmen Parpol terhadap Lingkungan

Oleh
Sulung Prasetyo



JAKARTA - Lima tahun lalu, tepatnya tahun 2004, 24 partai politik (parpol) 
bertarung pada pemilihan umum (pemilu) paling demokratis yang pernah ada di 
Indonesia. Dari 24 partai tersebut, hampir keseluruhannya memiliki visi baru 
mengenai lingkungan hidup. 

Tahun 2009 ini, pemilu kembali digelar. Sebanyak 43 parpol ikut bertarung di 
dalamnya. Apakah visi lingkungan hidup tetap ada? 
Sebuah pertanyaan menggelitik mengingat jumlah parpol peserta pemilu yang makin 
membeludak. Dalam dialog yang diadakan World Wildlife Fund (WWF) Indonesia dan 
Institut Pertanian Bogor (IPB), Rabu (11/3) kemarin, hanya 10 parpol yang 
bersedia hadir membicarakan hal ini. 


Tema besar pembicaraan sebenarnya bersifat umum, yaitu mengenai beberapa krisis 
yang kini diperkirakan melanda Indonesia, termasuk di dalamnya krisis pangan, 
energi, dan air. Rektor IPB Herry Suhardiyanto pada kesempatan tersebut 
menyatakan, ada korelasi antara krisis pangan, energi, dan air yang dihadapi 
saat ini dengan kondisi lingkungan, seperti desakan membuka lahan-lahan baru 
pertanian pada wilayah kehutanan. Sementara itu, ketergantungan pada pangan 
impor juga semakin menggejala.


Pada kajian krisis energi, pengalihan dari energi minyak tanah ke gas di 
masyarakat pada kenyataannya tidak menyentuh kalangan miskin di pedesaan. 
Akhirnya, timbul pengalihan bahan bakar ke kayu bakar. Kondisi tersebut jelas 
akan mengganggu kestabilan sektor kehutanan. Sementara itu, pada masalah krisis 
air, kondisi hutan yang makin menciut karena kebakaran dan pembabatan 
besar-besaran jelas mengakibatkan berkurangnya pasokan air yang seharusnya 
dapat disimpan melalui akar-akar pohon. 


Guliran masalah tersebut jelas menimbulkan berbagai asumsi berbeda dari 
parpol-parpol yang hadir. Pendapat menarik muncul dari Syaiful Iman yang 
merupakan wakil dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Menurutnya, masalah 
lingkungan hidup tak selayaknya dinomorduakan seperti saat ini karena posisi 
tawar tinggi dapat diraih Indonesia di mata dunia internasional bila keadaan 
lingkungan hidup diperbaiki.  "Indonesia memiliki wilayah ekosistem yang 
berpengaruh bagi dunia. The Heart of Borneo dan Coral Triangle menjadi 
contohnya. Seharusnya pemerintah pusat bisa membuat blue print menangani hal 
ini, sementara pemerintah daerah mengimplementasikannya," papar Syaiful. 


Sementara itu, dalam masalah energi, menurut Syaiful, perlu perbaikan pada 
Undang-Undang (UU) Migas yang hingga saat ini masih dianggap sebagai akar 
masalah. Paradigma mengenai hemat energi dan diversifikasi energi juga perlu 
dimasyarakatkan. Selain itu, diperlukan perhatian pada perkembangan energi 
hidrogen. 
Samuel Markoto dari Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) lebih mengungkapkan 
hal-hal yang logis dan moderat. Menurutnya, pemanfaatan hutan tidak selamanya 
berimplikasi pada kerusakan lingkungan dan kekurangan air. "Hutan bisa ditata 
kembali dan diambil manfaatnya. Perlu kajian iptek di dalamnya. Oleh karena 
itu, peran akademisi dan universitas diperlukan dalam hal ini," ujar Samuel. 


Dasar iptek tersebut harus menjadi pedoman sehingga beberapa isu mengenai 
lingkungan hidup bisa dipahami dan dicarikan jalan keluar secara logis, bukan 
menjadi alat pencitraan politik seperti yang banyak terjadi saat ini. Beberapa 
wakil partai lain, seperti Firman Tenry dari Partai Demokrasi Indonesia 
Perjuangan (PDIP), Tri Herwanto dari Partai Pemuda Indonesia (PPI), dan 
Ambarwati dari Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI), secara garis besar 
banyak membicarakan masalah mikrolingkungan. Contohnya, adopsi pohon di pinggir 
Taman Nasional, masalah perhatian pada banjir di Jakarta, dan iming-iming 
perhatian lebih besar pada porsi lingkungan hidup. 
Satu hal yang menarik adalah masih adanya paradigma mengenai kontradiksi antara 
kepentingan ekonomi dan lingkungan. Wakil dari partai Golongan Karya (Golkar), 
Rully Chairul Azwar, mengungkapkan, "Ekosistem terjaga tanpa rakyat yang 
sejahtera sama juga bohong." 

Kesejahteraan dan lingkungan hidup memang pada kenyataan saat ini berhubungan 
secara negatif. Banyak yang memandang kesejahteraan dapat dicapai dengan 
mengeksploitasi sumber daya sebanyak-banyaknya.


Dalam Pasal 14 UU 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah 
Pusat dan Daerah, terlihat jelas paradigma tersebut, di mana pihak pemerintah 
daerah dapat memperoleh hak makin besar bila pemanfaatan sumber daya juga 
besar. Pemanfaatan sumber daya, termasuk di dalamnya mencakup Penerimaan 
Kehutanan yang berasal dari Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH) dan Provisi 
Sumber Daya Hutan (PSDH), Penerimaan Kehutanan yang berasal dari Dana 
Reboisasi, Penerimaan Pertambangan Umum, Penerimaan Perikanan, Penerimaan 
Pertambangan Minyak Bumi, serta Penerimaan Pertambangan Gas Bumi dan Panas 
Bumi. Keseluruhan perimbangan terkomposisi 80 persen untuk pemerintah daerah 
dan 20 persen untuk pemerintah pusat.


Pengamat bidang Sumber Daya Air dari IPB, Dodik Ridho Nurrochmat, menyatakan 
bahwa bila hal itu terus terjadi, akan timbul persepsi buruk pada lingkungan. 
"Harus ada keberanian dari parpol untuk mengatakan perbedaan mengenai hal ini," 
ujar Dodik pada kesempatan serupa. Nilai radikal untuk perubahan terhadap 
lingkungan dianggap beberapa kalangan parpol sebagai upaya sia-sia, seperti 
yang diungkapkan oleh Muhaimin Iskandar dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). 
Nilai hijau dari visi lingkungan hidup pada kenyataannya tak mengena di 
kalangan masyarakat yang dikenalnya. "Green partai yang menurut saya radikal 
ternyata tak terlalu bisa mendatangkan pemasukan iklan untuk perjalanan 
partai," ucapnya meledek. 


Kemudian dari persepsi tersebut, Muhaimin memperkirakan bahwa isu lingkungan 
hidup tak terlalu "seksi" untuk diusung sebagai simbol perjuangan. "Masih 
kurang dari lima puluh persen isu lingkungan hidup bisa menarik orang memilih 
sebuah partai bila dibandingkan dengan isu lapangan kerja atau pendidikan," 
paparnya. 
Miris memang melihat ketimpangan antara pemikiran ideal mengenai lingkungan 
hidup dan kenyataan di lapangan. Namun setidaknya, ada kesepahaman dari 
berbagai parpol bila membicarakan masalah lingkungan. J Kristianto dari Centre 
for Strategic and International Studies (CSIS) menanggapi isu lingkungan 
sebagai salah satu alat perdamaian ideal di antara kalangan parpol. Namun, akan 
memecah kembali bila tubrukan kepentingan mengemuka. 


Kurangnya koordinasi diperkirakan menjadi sebab minimnya dominasi paham 
lingkungan hidup dalam berbagai pengambilan keputusan wakil parpol yang ada di 
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). "Agenda UU tidak pernah dibicarakan 
antarpartai," ucap Muhaimin. Menurutnya, hal ini disebabkan tidak mungkinnya 
terjadi pertemuan di antara masing-masing partai untuk membicarakan lingkungan 
hidup. 


Menyadari hal itu, digagas lahirnya kaukus lingkungan yang menjadi ajang temu 
antarwakil rakyat. Sekilas ide tersebut terasa brilian karena bisa menjadi 
solusi minimnya koordinasi antarparpol yang terungkap. Namun kemudian, di akhir 
perbincangan, Ari Muhammad dari WWF Indonesia membisiki sesuatu kepada saya, 
"Lima tahun lalu, dalam perbincangan serupa seperti ini, lahir juga ide kaukus 
lingkungan di antara parpol. Namun, baru dua kali dilaksanakan, setelah pemilu 
dilangsungkan, semua parpol tiba-tiba menghilang dari kaukus tersebut," 
bisiknya geli.  Mau "seksi" atau tidak, tanpa komitmen dari parpol, perbaikan 
lingkungan hidup tampaknya masih akan menjadi angan-angan.


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke