Kabar baik Hernidear, semoga Herni juga demikian, trims ya.

Ok jadi saya menyimpulkan lagi banyak pendapat dan bikin pendapat pribadi lagi :

1. Gini, kan sekarang lagi trendnya bikin buku, semua orang bikin buku.
Nggak bisa nulis bayar orang lain untuk bikin bukunya.
Kalo dah kalimat ' true story' dari yg saya alami; pastinya si pelaku 
menceritakan
kondisi, riwayatnya yg mengharu biru.
Yg jelas kondisinya berbeda dengan mayoritas, berbeda dengan norma yg berlaku 
dan kemudian 
ia merasa terzalimi - krisis identitas-bingung- atau dimanfaatkan oleh pihak 
lain.
Kenapa gitu gak ada true story tentang : orang miskin sekali; 
pengangguran-tukang becak yg punya istri 5?

Kesimpulannya : kalo misalnya musti bikin resensi buku yg nylekit dan 
obyektif;menurut saya
si gay ini ndak PD, malu, rasa rendah dirinya sudah sampai tubir yg gelap, 
mungkin mengidap depresi berat.
Dipikir dengan bikin atau dibikinkan buku dia akan dikasihani, dikasih simpati, 
jadi ngetop main sinetron :-)
Bagi saya noway. Saya simpati, suka pada kisah2/buku2  yg PD dan inspiratif.

2. Wulan Tilaar, anaknya Martha Tilaar pewaris kosmetik juga mengatakan 
demikian. Meskipun seseorang
berpenampilan kutilangdasi, pinter gelarnya gak muat di kartu nama, tapi ia 
nggak punya rasa percaya diri, percumah.
Hidupnya susah sukses, Mario Teguh mengiyakan.

3. Saya sependapat dengan para dokters disini bahwa gay bukan penyakit ini 
adalah penyimpangan perilaku;
menyimpang dari yg mana , tergantung norma setempat yg menjabarkan?
Soalnya kalo sakit menurut saya pasti ada obatnya, beli di apotek, di rumah 
obat dan bisa sembuh.
:-)

4. Jika dikaitkan dengan agama ; Agama kan masalah yg privat[ bagi saya] ini 
adalah hubungan kita dengan Gusti Pangeran, Tete Manise.
Yg simpel saja, kalo kita nggak ngember alias diam saja, solat di masjid tanpa 
wudhu, sapa sih yg tahu?
Kita buang angin, trus nggak ambil air wudhu lagi juga sapa yg tahu. Kecuali 
Allah SWT. Tul tak.
Begitu juga orang2 yg dianggap berdosa, kalo dia nggak bekoar-koar, dia PD 
dengan kondisinya-pilihannya mana ada sih yg tahu???

5. Kecuali kalo dah menyangkut dengan pihak lain : kejahatan.
Tapi kejahatan kan bisa saja dilakukan semua orang yg tidak gay sekalipun.
Bagi saya lebih simpati pada gay yg bisa memberi lapangan pekerjaan pada banyak 
orang daripada para moralis yg cuma bisa 
bekoar-koar: dosa- masuk neraka.

Salam, 
l.meilany


  ----- Original Message ----- 
  From: Herni Sri Nurbayanti 
  To: wanita-muslimah@yahoogroups.com 
  Sent: Saturday, March 21, 2009 11:11 PM
  Subject: [wanita-muslimah] Re: [Telah Terbit] Buku True Story Seorang Gay


  Mbak Mei, apa kabar? :-)

  Saya teringat debat di milis islamlib. Kalau tidak salah, bertepatan juga 
dengan terbitnya jurnal perempuan edisi yg mengupas isu LGBTIQ ini. Waktu itu, 
ada debat di antara kaum liberalnya sendiri. Ulil pernah mengatakan bahwa dia 
gak berani mengkaji teks qur'an utk menjustifikasi kaum ini. Dia bilang, dia 
sepakat bahwa text itu multi-interpretasi, seperti karet yg bisa direnggangkan. 
Tapi, kalau terlalu direnggangkan, teks itu, layaknya karet, bisa putus... 
simplenya gitu :) Memang teks Qur'an tentang LGBTIQ, pada titik tertentu, 
terbatas. Sementara kaum liberal lain, memilih utk merenggangkan teks itu utk 
menjadi pembacaan baru thd teks (baca: justifikasi), mencari akar sejarahnya di 
masyarakat Islam juga. Benarkan kalau saya salah, tapi yg saya tangkap 
diskusinya sih begitu.

  Jadi, perlindungan thd kaum LGBTIQ ini tidak perlu mendasarkan pada 
interpretasi teks qur'an thd isu ini secara khusus, cukuplah berdasarkan 
penghargaan terhadap manusia sehingga hak2 mereka sbg warga negara dipenuhi. 
Tidak semua bisa dan harus diselesaikan di ranah agama. Makanya saya tanya sama 
mbak lina, persoalannya mau dikaitkan di ranah apa? Kalau mau dikaitkan dng 
ranah agama, ya debat dng pak abdul muiz itu. Tapi kalau kita bicara di level 
kebijakan publik, nah itu baru saya bisa ikutan :) Kita bicara soal parameter 
obyektif. Karena hukum sbg sebuah kebijakan memang perlu parameter2 obyektif :)

  Terus terang, saya sependapat ma Ulil, hehehe. Secara personal, there is no 
way that I would change to LGBTIQ. Saya bukan tipe yg sok2 advokasi hak2 LGBTIQ 
tapi sebenarnya jauh di dalam heteroseksual abis :) Mending jujur ngaku, 
fundamentalis monogamist, heteroseksual :) Tapi menurut saya, orang perlu 
dihargai atas pilihannya, asal dia tidak merugikan orang lain. Dan buat saya, 
ini parameter pribadi saya utk bergaul. Sama halnya dng persoalan 
fundamentalis, bukan soal islamnya, misal pun kresten atau yahudi 
fundamentalis, sudah bisa dipastikan cara berpikirnya gak akan ketemu :)

  Kalau kita ngomong soal ini kaitannya dlm kebijakan di ruang publik, 
parameternya adalah bukan di orientasi seksualnya tapi apakah pilihan dan 
tindakannya merugikan yg lain atau tidak. Makanya, kita perlu paham dulu soal 
spektrum dari LGBTIQnya itu sendiri. Dan menanganinya bukan dng cara kekerasan 
dan tangan besi tapi dng cara yg baik. Berdakwah pun harus dengan cara yang 
baik, bukan? Soalnya, ketakutan saya yg paling besar adalah ketika kita merasa 
lebih suci dan bersih dari orang lain :) Jadi, tidak pantas rasanya menghakimi 
orang lain. 

  Apa sih ketakutan kita? Ditaksir? Misalnya pun, ada yg naksir kita, ya itu 
pilihan dia. Tapi kita punya pilihan juga. Ini kan sama aja kaya cowo/lawan 
jenis yg naksir kita, terus kita tolak? Simple aja gitu loh :) Takut anak kita 
ketularan? Karena saya dididik oleh ibu saya yg membuka informasi, diajari 
menanggung konsekuensi dari setiap pilihan, utk jaga diri, jadi menurut saya 
cara spt ini lebih baik. Termasuk percaya pada anaknya, meskipun mengandung 
resiko anaknya berbuat salah. Yg penting, anak bisa belajar dari kesalahan. 
Salah itu bukan aib, tapi sesuatu yg wajar dan yang bisa dijadikan pelajaran. 
Buat saya, cara pandang spt ini yg merupakan warisan terbesar dari orang tua 
saya.

  Tapi cara pandang yg spt ini memang diserang dari dua sisi. Yg liberal 
mengkritisi karena pada satu titik membatasi. Sementara kelompok yg di sisi 
lain juga mengkritisi, karena menyerang asumsi dasar soal Qur'an, bahwa Qur'an 
itu sudah lengkap selengkap-lengkapnya, seolah semua masalah ada di sana hingga 
sedetail2nya. Dan mainstream posisi WM, koreksi kalau saya salah, adalah di 
posisi "tengah" ini :) Saya bilang mainstream, karena di WM juga ada yg 
berposisi berbeda dan itu kami hargai. Masih bisa komentar dan ikut diskusi, 
tanpa perlu takut dihakimi atau dimoderasi. 

  Itu saja mungkin tambahan dari saya.

  wassalam,
  Herni

  --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "L.Meilany" <wpamu...@...> wrote:
  >
  > Kesimpulan saya : kalo orang berperilaku lain dengan kelompok mayoritas 
maka dianggap tidak normal.
  > Kalo orang yg tidak gay tinggal di komunitas gay maka dia juga dianggap 
aneh oleh kelompok gay.
  > Gitu aja kok repot.
  > 
  > Tapi kalo orang gay bisa atau bukan bisa hidup mesra berdampingan dengan yg 
gay atau yg bukan gay itu luar biasa.
  > 
  > salam :-), 
  > l.meilany
  > 
  > ----- Original Message ----- 
  > From: Herni Sri Nurbayanti 
  > To: wanita-muslimah@yahoogroups.com 
  > Sent: Thursday, March 19, 2009 11:57 AM
  > Subject: [wanita-muslimah] Re: [Telah Terbit] Buku True Story Seorang Gay
  > 
  > 
  > Lha, kasian temenku yg "hardcore" dong mbak. Dia merasa menjadi gay itulah 
yg normal. Eksistensi dirinya. Memang dirinya spt itu dan tidak bisa diubah. 
Dan tidak bahaya juga, maksudnya tidak menular. Bukan berarti kalau kemudian 
saya kenalin ma arcon terus dia langsung kejar2 arcon... kecuali minta 
ditraktir hehehe... Kejar eyang? ah, eyang kan udah tua hihihihi....paling 
sekedar buat ngobrol sambil main catur ditemani segelas kopi dan pisang goreng 
:-) Perilaku mereka gak ubahnya kaum heteroseksual... interaksi dng 
pasangannya. 
  > 
  > Kalaupun ada suatu "pemaksaan", ya terkait dng potensi dampak dari perilaku 
seks. Dan ini sama aja ketika kita bilang ke orang heteroseksual yg gonta-ganti 
pasangan seksual. Pakailah pelindung... jangan kaya USB.. dicolok sana-sini 
rentan kena virus :-) hehehe kebayangnya kok USB :P
  > 
  > Ini kan yg perlu dibedakan. Memang ada yg bahaya... ke-gay-an dan 
ke-lesbi-an ditempatkan dan direduksi semata-mata soal perilaku seks saja. Ini 
juga mungkiiin ekses dari pemikiran bahwa seks bukanlagi sekedar pro-rekreasi, 
tapi juga rekreasi. Yah namanya hal2 yg menyenangkan, jadi dicari variasinya 
apa aja.
  > 
  > Tapi apakah kemudian, solusinya disamaratakan? Generalisasi ini yg 
berbahaya menurut saya. Melihat penyebabnya sama, jadi menganggap solusinya 
sama juga.
  > 
  > Sama halnya dng persoalan nikah sirri, semuanya disamaratakan, melihat 
penyebabnya karena pengen poligami, padahal ada juga yg karena gak punya akses 
ke KUA. Apa iya, orang2 yg gak punya akses ke KUA, sering dipalakin utk bikin 
akta nikah, jadi kena hukuman penjara? Lha kok jadi ke nikah sirri hehehe...
  > 
  > 
  > --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "Lina Dahlan" <linadahlan@> wrote:
  > 
  > Di'dakwah' biar sadar bhw perbuatan itu tidak normal. Soalnya kalau mereka 
sadar mereka tidak normal, ada kemauan untuk berubah menjadi normal. Yang refot 
itu kan kalo kayak psikopat, gak sadar dirinya gak normal, serasa apa yang dia 
perbuat itu benar, jadi gak perlu berubah menjadi normal. Itu tugas semua 
orang, bukan cuma kerjaan paramedis.
  > 
  > Begitulah kebanyakan gangguan kejiwaan. Gak sadar kalo dirinya telah 
menyimpang. Dan yang saya khawatirkan kita2 sebagai lingkungannya juga 
menyuburkan homoseks semakin berkembang dengan mengatakan homoseksual adalah 
suatu hal yang ladzim.
  > 
  > Sesungguhnya telah jelas antara yang haq dan yang bathil.
  > 
  > wassalam,
  > 
  > 
  > 
  > 
  > 
  > [Non-text portions of this message have been removed]
  >



  

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke