Jawa Pos
Senin, 06 April 2009 ] 

Menuju Negara Kesejahteraan 
Oleh : Sri Adiningsih, Dosen Fakultas Ekonomi UGM Jogjakarta

Kampanye partai politik telah berakhir. Tinggal kita yang harus menentukan 
sikap, ke mana akan mencontrengkan pilihan pada 9 April nanti. Meski banyak 
yang tidak percaya dengan janji partai politik, sebaiknya kita mencermati 
berbagai janji yang sudah disampaikan. Ini supaya kita tidak menyesal karena 
telah salah memilih. Apalagi, saat ini kita hidup di tengah-tengah krisis 
ekonomi global yang berat. Dengan begitu, berbagai pilihan akan membawa 
konsekuensi pada kebijakan ekonomi Indonesia di masa mendatang.

Krisis yang telah melanda dunia dan merusak ekonomi kita membuat kehidupan 
masyarakat semakin menderita. Tidak mengherankan jika dalam suatu acara bedah 
buku Menuju Welfare State yang ditulis Siswono Yudo Husodo di Semarang pekan 
lalu, muncul banyak keluhan dan ketidakpuasan peserta diskusi terhadap kondisi 
kehidupan bangsa saat ini. Bangsa Indonesia yang sudah merdeka lebih dari 63 
tahun masih saja belum mencapai cita-cita kemerdekaannya. Yakni, masyarakat 
maju, adil, dan makmur. Bahkan, kita semakin tertinggal dari negara tetangga, 
seperti Malaysia dan Singapura.Dari diskusi tersebut disimpulkan yang dianggap 
penyebab bangsa kita tidak dapat maju, makmur, dan sejatera adalah karena salah 
urus, khususnya di bidang ekonomi. Peter Drucker, pakar manajemen terkemuka 
menyatakan, ''There is no under-developed country, there is only under-managed 
country.''

Meski kehidupan masyarakat Indonesia masih jauh dari impiannya, ternyata banyak 
anak bangsa yang peduli dengan masa depan negaranya. Mereka memahami bahwa 
perlu adanya perubahan dalam pengelolaan ekonomi Indonesia jika ingin mencapai 
cita-citanya. Negara kesejahteraan ternyata banyak diimpikan oleh yang hadir 
dalam diskusi. Namun, ketidakpercayaan bahwa bangsa ini nanti mampu mencapai 
cita-citanya juga ada. Karena itu, menarik untuk mengetahui apakah bangsa 
Indonesia akan pernah meraih mimpinya? Atau akankah mimpi itu memang sekadar 
mimpi.

Amanat Konstitusi 

Konstitusi kita, baik sebelum ataupun setelah diamandemen, mengamanatkan negara 
kesejahteraan sebagai cita-cita dari pendiri bangsa yang dituliskan dalam 
pembukaan ataupun batang tubuh UUD 1945. Meski diamandemen, sistem ekonomi kita 
yang dulunya sosialis sudah bergeser menjadi pasar sosial karena di dalamnya 
muncul unsur-unsur kapitalisme. Seperti diakuinya hak milik pribadi yang 
dilindungi negara (pasal 28H ayat 4).

Selain itu, pergeseran sistem ekonomi Indonesia dapat dilihat dalam bab yang 
memuat perekonomian nasional dan kesejahteraan rakyat yang dicantumkan dalam 
bab XIV pasal 33 dengan judul ''Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan 
Rakyat''. Di dalam ayat 4 muncul unsur efisiensi berkeadilan, memberikan ruang 
gerak bagi bekerjanya mekanisme pasar, yang diperlukan suatu perekonomian. 
Walau pencapaian efisiensi mestinya tidak meninggalkan unsur-unsur keadilan. 
Demikian juga pentingnya kemandirian dan keberlanjutan dalam perekonomian 
dimandatkan dalam ayat tersebut. Di samping itu, hak-hak warga negara dalam 
bidang ekonomi dilindungi negara. Di antaranya, hak warga negara memiliki 
kesempatan yang sama untuk menjalankan aktivitas ekonomi untuk dapat hidup 
layak.

Dari berbagai ulasan ini dilihat bahwa adanya pergeseran yang cukup signifikan 
dalam penyelenggaraan ekonomi pasca amandemen konstitusi kita. Kendati 
mekanisme pasar sudah diakomodasi dalam konstitusi kita, jangan dilupakan bahwa 
sisi sosialismenya juga kuat. Seperti dilihat dari ayat-ayat pasal 34. 
Dituliskan di ayat (1) Fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara oleh 
negara. Dalam amandemen ditambah dengan ayat (2) Negara mengembangkan sistem 
jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan 
tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Demikian ayat (3) Negara 
bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas 
pelayanan umum yang layak.

Dalam aturan dasar tersebut ditunjukkan bahwa sistem ekonomi yang mestinya kita 
gunakan adalah ekonomi pasar sosialis, yang penyelenggaraannya mestinya 
menganut welfare state. Negara yang menganut welfare state, menurut Sir William 
Beveridge, negara harus menjamin terpenuhinya pendapatan, kesehatan, 
pendidikan, perumahan, dan pekerjaan bagi rakyat. Itu semua jelas ada dalam 
pasal-pasal ataupun ayat-ayat konstitusi kita. Meski demikian, bangsa Indonesia 
masih jauh dari impian tersebut.

Realitas 

Bangsa Indonesia sejak merdeka hingga kini masih belum bisa menjadikan 
konstitusi sebagai living constitution. Pengaturan dan kebijakan ekonomi belum 
didasari aturan-aturan yang ada di pasal-pasal maupun ayat-ayatnya. Pengelolaan 
ekonomi Indonesia jauh dari penyelenggaraan ekonomi negara kesejahteraan. 
Sistem jaminan sosial yang ada masih ad hoc dan terbatas yang belum dapat 
melindungi kelompok masyarakat yang paling bawah. Demikian juga pengelolaan 
ekonomi yang liberal masih kita jumpai, lihat undang-undang penanaman modal. 
Selain itu, bangsa Indonesia semakin tidak mandiri, bergantung pada luar 
negeri, baik dari sisi modal, pangan, maupun energi. UUD belum menjadi panduan 
dalam penyeleggaraan ekonomi Indonesia

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke