Yanti terduduk lemah. Mukanya pucat, pandangannya kabur. Tangannya gemetar. Perutnya terasa mual. Tapi ia masih nekat, hendak bertahan. Aliran barang di atas conveyor di depannya bergerak lambat. Dalam pandangannya yang kabur tampak seperti benda mengapung di atas aliran air sungai di kampungnya. Benda itu harus ia raih, harus ia rangkai dengan bagian yang ada di tangannya, selanjutnya dioper ke pekerja di sebelahnya. Pekerja di sebelahnya akan menambahkan bagian yang lain. Begitu seterusnya, di ujung sana benda itu akan jadi barang sempurna.
Ia paksakan tangannya yang lemah untuk menggapai benda itu. Tapi rasanya ia semakin melayang. Benda-benda itu seperti menjauh darinya, terseret arus yang pelan, namun pasti. Ia mencoba mengulurkan tangannya lebih panjang untuk menjangkaunya. Tapi iapun mulai hanyut terbawa arus. Tangannya kini menggapai-gapai, berusaha mengangkat badan lemahnya agar tak terbenam dalam arus air. Tapi ia tak kuasa. Lalu gelap. Ketika ia tersadar kembali, Yanti menemukan dirinya terbaring di atas kasur tipis. Angin sejuk menyapu kulitnya yang masih sedikit berkeringat, membuatnya sedikit menggigil. Bau minyak kayu putih menyapu hidungnya. Ia mulai ingat, ia sedang berbaring di ruang PPPK, di dalam ruangan administrasi produksi. „Duh, biyung, aku pingsan lagi.g keluhnya dalam hati. Dengan segenap tenaga yang tersisa ia mencoba bangkit. Tapi sepasang tangan lembut menahannya. Ia baru sadar bahwa sejak tadi ia tak sendiri. Amik, sahabatnya menungguinya sejak tadi. „Istirahatlah.g kata Amik lembut. „Tidak, aku harus kembali ke line. Aku mau bekerja.g „Belum bisa. Tubuhmu masih lemah. Jangan kau paksakan.g „Tapicc..g „Yanti, ingat, kamu sedang hamil. Kalau kamu paksakan, bisa bahaya buat kandungan kamu.g Yanti terkulai pasrah. Ya, ia sedang hamil. Dan itu terlarang di sini, di pabrik ini. Ingat akan hal itu tak ada yang bisa dia lakukan kecuali menangis. Bulan ini sudah tiga kali ia pingsan dan dibawa ke ruangan ini. Ia tak lagi bisa menyangkal, bahwa ia hamil. Yanti bukan karyawan pabrik ini, meski ia bekerja di sini. Statusnya adalah siswa di sebuah Lembaga Pendidikan Ketrampilan (LPK). Tapi ia juga tak pernah benar-benar belajar di lembaga itu. gLha, bagaimana mau belajar, wong ruang kelas aja ndak punya.h begitu kesan dia tentang LPK itu. Ia hanya mendaftar, melampirkan segala macam fotokopi surat-surat dan ijazah. Setelah dites dan periksa kesehatan, ia mendapat pengarahan beberapa hari, lalu dikirim untuk bekerja di pabrik ini. Bagi Yanti tak penting benar apakah dia siwa betulan atau buruh. Yang penting ia bisa bekerja dan mendapat gaji. Uh, ia sebenarnya tak mendapat gaji. Di sini mereka menyebutnya uang saku. Ingat, siswa tidak digaji. Siswa hanya boleh menerima uang saku. Untungnya kali ini ia bekerja di pabrik milik perusahaan asing. Meski disebut uang saku, uang yang dia terima setara dengan UMR. Lumayan. Sebelumnya ia pernah pula terdaftar di suatu yayasan. Kejadiannya sama. Setelah menyerahkan beberapa lembar fotokopi, tanda tangan sana sini, ia dikirim bekerja di pabrik. Setiap bulan ia menerima upah, yang dua ratus ribu supiah lebih sedikit dari yang tertulis di atas kontrak yang dia tanda tangani. Setahun lebih dia bekerja di situ tiba-tiba ia diberhentikan. Alasannya ia tak tahu. Tak ada yang mau repot-repot menjelaskan padanya. Dari teman-temannya ia hanya mendengar kabar angin bahwa produksi di pabrik itu sedang turun. Di tempat yang baru ini dia cukup senang. Selain uang sakunya tak dipotong, kerjanya tak terlampau berat. Ia tak perlu lagi bekerja sambil berdiri seperti di pabrik tempat ia bekerja sebelum ini. Hawa di pabrik memang panas dan pengap. Tapi sedikit hembusan dari kipas angin besar di belakangnya, membuat ia sedikit nyaman, meski tak pernah kuasa menahan lelehan keringat membasahi tubuhnya. Sesekali sambil bekerja ia masih bisa bercakap ringan dengan teman di sebelahnya. Lima bulan yang lalu, Narto, teman sekampung yang menjadi pacarnya sejak tahun lalu mengajaknya menikah. Narto bekerja sebagai karyawan kontrak di pabrik lain, tak jauh dari pabrik tempat Yanti bekerja. Sebagai siswa magang, Yanti tidak boleh menikah. Itu salah satu peraturan LPK yang tak boleh ia langgar. Tapi ia tahu beberapa temannya menikah diam-diam. Yanti mencintai Narto. Makanya ia memutuskan untuk menerima ajakan Narto menikah. „Aku akan pindah kos, sekamar sama Narto. Pengeluaran untuk kos dan makan justru akan sedikit berkurang. Kalau pandai mengatur, mungkin aku akan bisa menabung,g pikirnya. Tapi ia tak mau menikah diam-diam. Dia akan pamit pada pak Warman, Manejer HRD di pabrik tempat ia bekerja. Menikah diam-diam bagi Yanti sama saja dengan berbohong pada pak Warman. Ia tidak tega membohongi orang baik itu. Toh selama ini pak Warman tidak pernah memberi hukuman terhadap teman-temannya yang menikah diam-diam, meski dia mengetahuinya. Pak Warman adalah lelaki berumur 40 tahunan. Ia terkenal galak. Ia sering berpatroli di pabrik. Ia akan marah besar kalau menemukan sampah kecil seperti bungkus permen yang dibuang sembarangan. Setiap Senin pagi pak Warman memimpin upacara yang dihadiri seluruh karyawan. Ia selalu memberi wejangan, mengajak karyawan bekerja lebih giat lagi. Pidato-pidato singkatnya di setiap upacara sangat disukai Yanti, karena memang bisa membuat ia bersemangat, meski kadang isi pidato itu sulit dia mengerti. Pak Warman, seperti diduganya, tidak keberatan. gTapi, katanya, saya juga tidak bisa memberi izin secara resmi, karena itu melanggar peraturan.h gHarapan saya,h lanjutnya, gKamu bisa merencanakan kehidupan kamu dengan baik. Saya sarankan agar kamu tidak hamil dulu. Kalau kamu hamil, saya tidak punya pilihan lain selain mengeluarkan kamu. Perusahaan tidak mau ambil resiko. Kalau kamu hamil, kamu akan rentan terhadap kecelakaan kerja. Kalau saat terjadi kecelakaan ditemukan bahwa kamu hamil, asuransi tidak akan berlaku. Perusahaan tidak akan mau dirugikan. Ingat itu.h gSaya harap kamu bisa bersabar.g Pak Warman melanjutkan nasihatnya. „Kalau produksi kita sudah stabil, saya bisa memperjuangkan agar kalian semua jadi karyawan tetap. Kalau sudah tetap, akan ada perlindungan khusus terhadap perempuan hamil, dan kamu juga akan dapat cuti melahirkan.g Yanti mengangguk ketika itu. Tapi ia punya pikiran sendiri. Menjadi karyawan tetap memang menarik. Tapi entah kapan itu akan terlaksana. Awal tahun ini lebih dari tiga perempat siswa magang dikembalikan ke LPK karena produksi turun. Itu istilah halus untuk PHK. Padahal waktu mereka masuk bersama Yanti, sudah ad aiming-iming jadi karyawan tetap. Karenanya Yanti tidak terlalu ambil pusing dengan hal itu. Lagipula ia tak ingin direpoti dengan segala urusan kontrasepsi. Semua itu juga tidak gratis. Mesti bayar. Kalau jaman dulu sih katanya orang ikut KB tanpa perlu membayar. Belum lagi akibat-akibat yang tidak ia inginkan. Bulik Yati, adik ibunya sampai sekarang tak bisa hamil karena dulu minum pil KB. Yanti tak mau itu terjadi pada dirinya. Lagipula, Narto suaminya juga bekerja, dengan gaji sedikit lebih banyak dari Yanti. „Kalaupun aku hamil dan dikeluarkan, aku masih bisa makan. Rezeki toh sudah ada yang mengatur, Gusti Allah.g Tapi aturan Gusti Allah memang tak mudah dipahami. Tengah bulan lalu Narto kena PHK. Tanpa pesangon pula. Pabrik tempat ia bekerja bangkrut, dan tutup. Ia sudah mencoba mencari kerja di tempat lain, tapi belum dapat. Sementara ini Narto masih menganggur. Mungkin tidak akan dapat, di tengah krisis begini. Posisi Yanti kini berubah. Ia tak lagi bekerja agar bisa menabung, untuk membeli sehelai dua baju bayi yang cantik-cantik yang pernah ia lihat di pasar. Ia harus bekerja agar dia dan Narto tetap bisa makan. Sialnya kandungannya tak mau kompromi. Sejak sebulan ini ia mulai merasa mual-mual. Tubuh hamilnya tak tahan untuk dipaksa bekerja. Sudah tiga kali dia pingsan. Itu berarti ia akan dipecat. Teringat hal itu ia hanya bisa berbaring pasrah. Ketakutannya menjadi kenyataan ketika keesokan harinya ia dipanggil menghadap pak Warman. Wajah pak Warman terlihat suntuk. Ia tak banyak bicara. Ia hanya menyampaikan bahwa Yanti harus dikembalikan ke LPK. gSetelah ini kamu bagaimana? Mau ke mana?g tanya pak Warman prihatin. gPulang kampung saja, Pak.h „Mau kerja apa di kampung?g „Embuh, Pak.g Tertatih, Yanti keluar dari halaman pabrik, memanggil ojek untuk pulang ke kosnya. „Gusti, semoga Ibu di kampung masih punya beras.g keluhnya dalam hati. http://berbual.com