Kalau boleh tanya apa yang ditulis?

  ----- Original Message ----- 
  From: jano ko 
  To: wanita-muslimah@yahoogroups.com 
  Sent: Sunday, April 12, 2009 3:24 AM
  Subject: Re: [wanita-muslimah] Demokrasi, Barang Curian Milik Islam?





  KMJP :
   
  Demokrasi sudah......
   
  ---
   
  ko_jano :
   
  Mungkin KMJP harus membuka kembali kitab suci Al Qur'an. Kelihatannya KMJP 
belum begitu faham tentang Islam atau mungkin lupa.
  KMJP mungkin menafsirkan Islam secara sempit, yaitu sebagai agama yang 
disampaikan oleh Nabi Muhammad. 
   
  Monggo silahkan dibuka kembali kitab suci Al Qur'an.
   
  Salam.
   
  -o0o-

  --- On Sun, 12/4/09, kmj...@indosat.net.id <kmj...@indosat.net.id> wrote:

  From: kmj...@indosat.net.id <kmj...@indosat.net.id>
  Subject: Re: [wanita-muslimah] Demokrasi, Barang Curian Milik Islam?
  To: wanita-muslimah@yahoogroups.com
  Date: Sunday, 12 April, 2009, 3:46 AM

  Demokrasi sudah ada sejak jaman Yunani kuno (sekitar 699 tahun sebelum 
  Mashi), jadi jauh sebelum ada Islam. Bagaimana orang Yunani kuno 
  mencuri dari Islam yang hadir belakangan?
  KM

  ----Original Message----
  From: am...@tele2. se
  Date: 11/04/2009 23:55 
  To: <<Undisclosed- Recipient: >, <>>
  Subj: [wanita-muslimah] Demokrasi, Barang Curian Milik Islam?

  Reflesi : Apa komentar Anda terhadap tulis di bawah ini? 

  http://www.hidayatu llah.com/ index.php?
  option=com_content& view=article& id=8797:demokras i-barang- curian-milik-
  islam-&catid= 68:opini& Itemid=68

  Demokrasi, Barang Curian Milik Islam? 
  Friday, 06 March 2009 07:00 
  Realitas sejarah menunjukkan, sistem demokrasi lebih dekat 
  kepada Islam dibanding sistem lainnya? 

  Tohir Bawazir *

  Menghargai perbedaan pendapat adalah salah satu akhlak yang 
  sangat dianjurkan dalam Islam. Selagi perbedaan pendapat itu tidak 
  menyangkut hal-hal yang substansial dalam aqidah. Jika menyangkut hal 
  yang sudah qath'i (pasti), ummat Islam harus sudah bersepakat untuk 
  hal itu. Misalnya soal wajibnya sholat, puasa, zakat, haji dan berbagai 
  hukum yang sudah jelas dan terperinci yang sudah diatur dalam Al-Qur'an 
  dan Al-Hadits, maka tugas kita hanyalah menjalankan segala perintahnya 
  dan menjauhi segala larangannya semampu kita. Di sini ummat Islam tidak 
  diberi ruang untuk menyelisihi apa yang sudah diperintahkan oleh Allah 
  dan Rasul-Nya.

  Dalam kehidupan sosial dan kemasyarakatan, banyak ruang gerak 
  yang diberikan oleh Allah kepada hamba-hambaNya untuk mengatur 
  kehidupannya berdasarkan asas manfaat dan maslahat kehidupan, sepanjang 
  tidak bertentangan dengan ketentuan Syariat. Kita juga yakin, 
  kemaslahatan kehidupan sudah pasti akan selaras dan sejalan dengan 
  tuntunan syariat Islam. Termasuk dalam kancah wilayah politik untuk 
  memilih pemimpin dan mekanisme kenegaraan.

  Dalam sistem pemerintahan seperti yang kita kenal sekarang, 
  terdiri dari berbagai model pemerintahan, ada demokrasi, 
  teokrasi/negara keagamaan, diktator, kerajaan atau bisa pula ada sistem 
  kombinasi dari berbagai sistem. Di Negara Inggris misalnya dikenal 
  sistem kerajaan, namun pada saat yang sama ada sistem demokrasi dimana 
  selain ada raja/ratu sebagai kepala negara secara simbolis, namun pada 
  saat yang sama kekuasaan yang riil justru dipegang oleh perdana menteri 
  yang dihasilkan dalam sistem pemilu secara demokratis. Namun di Saudi 
  Arabia berbeda pula, mereka menggunakan sistem kerajaan mutlak. Raja 
  lah yang sepenuhnya berkuasa membuat merah dan putihnya negara dan 
  rakyat. Walaupun di sana ada dewan ulama yang memberi nasehat kepada 
  raja, namun aspirasi masyarakat bisa dibilang tidak terwakili. Apabila 
  rajanya baik, maka nasib rakyat dan bangsanya ikut kena imbas baiknya, 
  namun jika buruk, maka rakyat akan menanggung keburukannya. Ada pula 
  yang tampaknya seperti sistem demok
  rasi, namun hakekatnya diktator. Statusnya seorang presiden, namun 
  hakekat kekuasaannya dan masa berkuasanya lebih mirip model kerajaan. 
  Ini banyak contohnya, terutama banyak dialami oleh negara-negara Dunia 
  Ketiga (Negara-negara Asia, Afrika maupun negara-negara di Amerika 
  Latin), termasuk di Indonesia di era Orde Lama dan Orde Baru.

  Dalam tiap sistem pemerintahan, sudah barang tentu ada 
  kebaikannya dan keburukannya. Termasuk di dalam sistem kerajaan pun ada 
  segi positifnya, minimal dari segi biaya politiknya sangat murah karena 
  tidak perlu ada pertarungan para kandidat calon pemimpin, karena 
  kekuasaannya sudah diwariskan/diturunk an secara kekeluargaan, bisa 
  dari ayah ke anak, atau ke saudara dsb. Murah dan efisien, lebih-lebih 
  jika rakyatnya bisa menerima sistem ini. Namun madharatnya juga besar. 
  Karena hak berkuasa seolah-olah hanya milik seseorang/keluarga raja 
  saja, rakyat tidak punya hak memimpin, mengoreksi, atau sekedar berbeda 
  pendapat, walau memiliki kualitas yang mumpuni. Dalam sistem demokrasi 
  pun ada manfaat dan madharatnya, positif dan negatifnya. Begitu dalam 
  sistem otoriter pun walaupun banyak sisi negatifnya tetap saja ada sisi-
  sisi positifnya.

  Dalam sistem demokrasi, ada kekurangan yang cukup fundamental 
  yaitu "one man one vote", satu orang satu suara. Tidak peduli apakah 
  orangnya sama moralnya, ilmunya, kedudukan maupun tingkat 
  pendidikannya dsb. Suara seorang ustadz disamakan dengan suara pelaku 
  maksiat, orang kafir, munafik dsb. Suara seorang profesor sama bobotnya 
  dengan suara orang yang tidak tamat SD, dsb. Sehingga pernah ada yang 
  mengusulkan agar rakyat yang berhak ikut pemilu (punya hak pilih) tidak 
  cukup sekedar sudah cukup dewasa umurnya, namun juga pendidikannya 
  minimal lulusan SMP, agar punya kapasitas ilmu yang lebih memadai 
  sehingga dapat menentukan hak pilihnya lebih baik lagi.

  Sistem demokrasi juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit, 
  bahkan cenderung sistem ini paling menghabiskan banyak dana masyarakat 
  dan negara, sedang tujuan yang ingin dicapai belum tentu diperoleh 
  dengan baik. Demokrasi yang kita alami di Indonesia contohnya, menyedot 
  biaya yang terlalu besar,energi yang terlalu banyak karena kendornya 
  pengawasan dan mudahnya pendirian partai politik, sehingga menimbulkan 
  euforia partai politik yang berlebihan.

  Era khilafah

  Kalau kita kembalikan ke tarikh Islam, sistem politik untuk 
  memilih pemimpin / khalifah, dimulai setelah junjungan kita Nabi 
  Muhammad SAW wafat. Ummat sempat bingung untuk menentukan siapa 
  pengganti Rasul untuk memimpin ummat Islam. Orang-orang Anshor 
  (penduduk asli Madinah) sudah akan memilih Sa'ad bin Ubadah sebagai 
  pemimpin dari kelompok Anshor di Saqifah (aula pertemuan) dan 
  mempersilahkan orang-orang Muhajirin (orang-orang Mekkah yang berhijrah 
  ke Madinah) agar memilih pemimpinnya sendiri. Dari sini sudah cukup 
  jelas bahwa Rasulullah tidak mengatur secara jelas mekanisme pemilihan 
  khalifah/pengganti Rasul secara baku/tetap. Kalau sudah baku sudah 
  pasti tidak ada saling sengketa dan perbedaan pendapat di antara 
  mereka. Yang bisa menyelesaikan perbedaan pendapat yang berpotensi 
  menimbulkan perpecahan di Saqifah justru argumen yang sangat mantap 
  yang disampaikan oleh Shahabat Umar bin Khaththab ra. Umar mengusulkan 
  agar masyarakat secara aklamasi mengangkat Abubakar Shiddiq r
  a sebagai khalifah pengganti Rasul karena berbagai pertimbangan 
  diantaranya; Beliau orang dewasa pria pertama yang masuk Islam; 
  Beliau pula yang oleh Rasul digelari Ash-Shiddiq; Beliau adalah satu-
  satunya shahabat yang diajak berhijrah bersama-sama Rasul dan Beliau 
  satu-satunya yang diijinkan/disuruh oleh Rasul untuk mengimami sholat 
  berjamaah ketika Rasul sakit dan tidak bisa menghadiri /mengimami 
  sholat berjamaah di Masjid Nabawi. Mengingat kuatnya hujjah Umar 
  tersebut, maka masyarakat baik dari Anshor maupun Muhajirin mengerti 
  dan menerima sepenuhnya bahwa memang tidak ada yang lebih layak 
  menggantikan Rasulullah selain Shahabat Abubakar Shiddiq.

  Setelah Khalifah Abubakar wafat, kepemimpinan diganti oleh Umar 
  bin Khaththab berdasarkan surat wasiat Khalifah Abubakar karena tidak 
  ada shahabat yang lebih mulia dan mengungguli Umar bin Khaththab ra 
  dalam berbagai aspek dan seginya, sehingga tidak ada keberatan apa pun 
  terhadap pengangkatan Umar walau berdasar penunjukan. Sebelum Amirul 
  Mukminin Umar meninggal , beliau masih sempat menunjuk dewan 
  formatur yang terdiri dari enam Shahabat senior untuk memutuskan siapa 
  bakal pengganti beliau yaitu : Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, 
  Abdurrahman bin Auf, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Zubair dan Saad bin 
  Abi Waqas. Empat orang menyatakan tidak bersedia untuk menjadi 
  Khalifah/Amirul Mukminin, hanya Usman dan Ali yang bersedia dipilih 
  untuk menjadi pengganti Umar.

  Mengingat ada dua kandidat calon yang setara ilmu dan jasanya, 
  setara pula dukungannya, maka anggota formatur yang dipimpin oleh 
  Abdurrahman bin Auf pun masih minta masukan secara langsung ke 
  masyarakat untuk turut memilih satu di antara dua calon yang ada, 
  Abdurrahman bin Auf masih berkeliling ke masyarakat untuk dimintai 
  tanggapannya, baik ke para shahabat senior atau yunior, laki-laki atau 
  perempuan dsb. maka Usman sepakat dipilih sebagai khalifah ketiga. Dari 
  sini jelas, mekanisme mengatur pemimpin menjadi hak masyarakat, bukan 
  penunjukan dari wahyu. Ada proses seleksi, pemilihan, adu argumen, 
  dukung-mendukung dan partisipasi masyarakat yang lebih luas, walau 
  dalam bentuk yang belum baku seperti dalam sistem demokrasi modern.

  Setelah era Khulafaurrasyidin berlalu, kekuasaan Islam jatuh ke 
  tangan Muawiyah bin Abu Sufyan sebagai khalifah pertama dari Dinasti 
  Bani Umayyah. Suka ataupun tidak suka, manis maupun pahit, kekuasaan 
  Dinasti Umayah diawali dengan hal-hal yang tidak wajar, tipu daya dan 
  pertumpahan darah yang mengorbankan ribuan rakyat sesama Muslim. Dalam 
  Perang Shiffin antara Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan Gubernur 
  Muawiyah sangat kental aroma perebutan kekuasaan dari seorang gubernur 
  yang tidak loyal kepada khalifah/pimpinanny a. Selanjutnya 
  konflik/kemelut politik diselesaikan dengan upaya perdamaian/tahkim di 
  antara mereka yang ternyata justru memperdaya/merugika n Khalifah Ali. 
  Akhirnya wajah ummat dan politik Islam carut marut. Khalifah Ali 
  dibunuh oleh mantan pengikutnya sendiri yang tidak puas dengan upaya 
  tahkim yang tidak adil. Muncul pula kelompok sempalan yang bernama 
  Syiah dan Khawarij yang saling bertolak belakang. Luka yang diakibatkan

  oleh tindakan Muawiyah yang memerangi Khalifah Ali, kemudian 
  menurunkan kekuasaan kepada anak dan keturunan sendiri, menimbulkan 
  luka di tubuh ummat Islam. Bahkan hingga sampai hari ini, luka tersebut 
  tidak pernah kering/sembuh.

  Dalam buku "Distorsi Sejarah Islam" Dr. Yusuf Al-Qaradhawi 
  menukil dari tafsir Al-Manar, Syaikh Rasyid Ridho menyebutkan 
  pernyataan seorang ilmuwan Jerman yang berkata kepada beberapa ulama 
  Muslim, "Semestinya kami (kaum Kristen Eropa) harus membuat patung emas 
  Muawiyah di Berlin!" Ilmuwan tersebut ditanya, "Mengapa?" Dia menjawab, 
  "Karena dialah yang mengubah hukum Islam dari demokrasi menjadi 
  fanatisme golongan! Kalaulah hal itu tidak terjadi, Islam pasti akan 
  tersebar ke seluruh dunia. Sehingga bangsa Jerman dan Eropa lainnya 
  akan berubah menjadi Arab-Muslim" . Jika kita melihat sekarang Dunia 
  Kristen Eropa menggunakan demokrasi, sejatinya itu merupakan 'barang 
  curian' milik ummat Islam yang telah diadopsi dan dimodifikasi menjadi 
  sekular ala Barat. Demokrasi seolah berasal dari Barat padahal 
  sejatinya milik kita.

  Mengingat kekuasaan Dinasti Umayyah diawali dengan konflik, 
  pertumpahan darah, tipu muslihat, sehingga dalam perjalanan 
  kekuasaannya Dinasti Bani Umayyah selalu dirongrong oleh berbagai 
  pemberontakan demi pemberontakan (kecuali hanya masa keemasannya di era 
  Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang sangat singkat yaitu 2,5th saja) . 
  Kekuasaan Bani Umayyah tidak sepenuhnya stabil dan diterima oleh ummat 
  Islam. Hingga akhirnya kekuasaan Dinasti Umayyah jatuh dan berakhir 
  dengan pertumpahan darah dan pembantaian oleh pemberontak yang dipimpin 
  oleh Abul Abbas As-Saffah (si penumpah darah). Kemenangan pemberontakan 
  Abul Abbas menimbulkan kekuasaan dinasti baru yaitu Abbasiyah. 
  Sayangnya kekuasaan ini diawali dengan pembantaian seluruh sisa-sisa 
  keluarga Bani Ummayyah sehingga banyak yang lari ke daratan Eropa 
  (Andalusia) maupun Afrika.

  Dinasti Abbasiyah memulai kekuasaannya dengan pembantaian, maka 
  diakhiri pula dengan pembantaian pula, yaitu melalui tangan-tangan 
  orang kafir Mongol yaitu Hulaqo Khan. Di mana waktu itu ibukota Baghdad 
  menjadi lautan darah. Sehingga masa itu menjadi masa paling kelam dari 
  sejarah Islam karena tidak ada kekejaman yang melebihi Khulaqo Khan 
  ketika membantai ummat Islam di Baghdad waktu itu.

  Sejarah telah membuktikan bahwa kekuasaan yang diawali dengan 
  tragedi akan diakhiri dengan tragedi pula, sebagaimana telah 
  diperlihatkan dalam dua masa Daulah Umawiyah dan Abbasiyah. Justru 
  munculnya Daulah Utsmaniyah di Turki, merupakan pertolongan Allah untuk 
  mengangkat harkat dan martabat ummat Islam (khususnya dunia Arab) yang 
  hancur berkeping-keping di Baghdad. Allah munculkan pengganti penguasa 
  Islam dari Turki setelah ummat Islam dan Arab menanggung kekalahan dan 
  kehinaan dari kekuasaan Dinasti Mongol (Tartar).

  Mengingat sejarah telah memberikan contoh kepada kita, kekuasaan 
  itu membutakan walaupun di masyarakat Islam sekalipun. Untuk itu 
  kekuasaan perlu diatur, dimanage agar kekuasaan itu dibatasi, kekuasaan 
  harus dikendalikan agar tidak jatuh ke tangan orang-orang yang tamak 
  dan dzalim. Sistem demokrasi juga salah satu bentuk mekanisme 
  pengaturan kekuasaan. Tidak ada jamannya lagi kekuasaan dipegang oleh 
  segelintir orang apalagi jika menggunakan cara-cara represif dan 
  pemaksaan kehendak.. Sejarah Islam pun telah menunjukkan, pada masa 
  Khulafaurrasyidin di masa Khalifah Utsman dan Ali yang kurang apa baik 
  dan lurusnya masih saja ada pemberontakan. Apalagi di masa Bani Umayyah 
  dan Abbasiyah, pemberontakan dan perebutan kekuasaan silih berganti.

  Jadi hakekatnya sistem demokrasi lebih dekat kepada Islam 
  dibanding sistem lainnya. Realitas sejarah telah menunjukkan, masa 
  Khulafaurrasyidin sebagai panutan kita sangat mengedepankan musyawarah. 
  Demokrasi paling tidak sangat dekat dengan semangat musyawarah, saling 
  menghargai pendapat, proses seleksi dsb. Kekurangan yang ada di sistem 
  demokrasi karena masyarakat sangat heterogen, ada yang cerdas, ada yang 
  bodoh, ada yang taat kepada Allah namun banyak pula yang bermaksiat 
  kepada Allah, ada yang Islamnya kaffah namun banyak pula yang sekular, 
  ada yang jujur namun banyak pula yang berjiwa koruptor, ada yang amanah 
  namun banyak pula yang khianat, ada yang bercita-cita ingin menegakkan 
  syariat Allah namun banyak pula yang ingin menghalanginya. Namun 
  bukankah itu juga merupakan tanggung jawab kita bersama (bukan hanya 
  para politisi Muslim) untuk bersama-sama membina masyarakat agar 
  menjadi masyarakat yang akidahnya lurus, mencintai Islam dengan sepenuh 
  jiwa raganya sehingga cita-
  cita masyarakat dapat terwujud. Jadi perjuangan dakwah sangatlah luas 
  dan berkesinambungan, ada yang melalui jalur politik, pendidikan, 
  keluarga, budaya, ekonomi, sosial dsb.

  Jangan terlalu bermimpi kalau menolak demokrasi terus keadaan 
  akan menjadi lebih baik. Bermimpi memiliki sistem lain dan melupakan 
  yang ada, seringkali menimbulkan kekecewaan dan frustasi. Seringkali 
  kita bermimpi mewujudkan sistem khilafah yang ideal akan segera 
  terwujud, padahal membentuk organisasi yang lebih kecil dan sederhana 
  saja, seringkali kita tidak mampu. 

  Terkait dengan tuduhan bahwa demokrasi itu identik dengan 
  sekular, menurut hemat penulis, itu sepenuhnya tergantung siapa yang 
  mengendalikan. Jika yang mengatur orang-orang sekular pasti disemangati 
  dengan jiwa sekular. Jika di tangan orang Kristen sudah pasti dijiwai 
  dengan semangat Kristiani, begitu pula kalau ditangani orang-orang 
  Islam, sudah pasti (seharusnya) digunakan untuk kepentingan dan 
  kebaikan ummat Islam. Khalifah Umar mengatur pembagian kekuasaan 
  antara umara (penguasa) dengan qadhi (hakim), mengatur tentang hak-hak 
  rakyat, mengatur tentang harta negara (Baitul Mal), zakat, kebijakan 
  tentang peperangan, dsb. Para ulama juga berijtihad dan merumuskan 
  kitab-kitab fikih, padahal sudah ada Al-Quran dan Sunnah. Barangkali, 
  hal seperti itu pula lah pada demokrasi. Wallahu'a'lam

  Penulis adalah pengamat Gerakan Dakwah

  [Non-text portions of this message have been removed]

  New Email names for you! 
  Get the Email name you&#39;ve always wanted on the new @ymail and 
@rocketmail. 
  Hurry before someone else does!
  http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/aa/

  [Non-text portions of this message have been removed]



  

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke