Telepon berdering di suatu pagi buta, di penghujung musim dingin. Udara dingin yang menyapu hidungku hingga ke rongga dalamnya mengingatkan aku satu hal: di luar sana dingin, kontras benar dengan kehangatan futon yang membungkus tubuhku. Peringatan itu langsung mematikan gerak reflek tubuhku yang tadinya hendak beranjak bangun ketika mendengar dering telepon. Aku bertahan, berharap penelepon menyadari bahwa dia menelpon terlalu pagi.
Tapi harapanku sia-sia. Dering telepon hanya berhenti sejenak, lalu mulai lagi. Aku fikir ini pasti telepon penting. Mungkin dari keluarga di tanah air. Dengan malas aku melangkah ke pesawat telepon di ruang tengah. gHaloc. gPak Hasan?h gYach jawabku sambil mengantuk. „Ini Nadri, Pak.g „Iya. Ada apa?g tanyaku datar. gSiapa pula Nadri inih, fikirku. gPak, saya ambil keputusan. Saya mau kabur.h gApa???!!h teriakku. Sekarang aku ingat siapa si Nadri ini. „Iya, Pak. Maaf, saya tidak mengikuti nasihat, Bapak. Doakan saya ya, Pak.h Lalu telepon diputus tergesa-gesa. Masih agak mengantuk aku henyakkan punggungku ke sandaran sofa butut di ruang tengah. Dingin masih terasa menggigit di permukaan kulitku. Tapi tak ku hiraukan. Fikiranku tak bisa lepas dari Nadri. „Nekat benar dia.g fikirku putus asa. Aku hanya pernah bertemu Nadri sekali. Bukan pula pertemuan yang disengaja. Waktu itu aku dalam perjalanan pulang dari Sendai, sebuah kota di bagian utara Jepang. Saat itu aku menetap di Kumamoto, sebuah kota di pulau Kyushu, di bagian selatan. Hari itu, seperti biasa aku tiba di bandara hampir 2 jam sebelum keberangkatan pesawat. Tak ada hal yang perlu dikerjakan di hotel. Jadi aku memilih untuk cepat-cepat saja ke bandara. Tak ada yang menarik di sini. Ini bandara kecil saja. Aku sudah ke sini lebih dari sepuluh kali. Karena itu segera setelah check in aku langsung menuju ke ruang tunggu untuk duduk-duduk. Di ruang tunggu itu untuk pertama kali aku melihat Nadri. Ia waktu itu bersama 3 orang temannya. Sejak melihatnya dari kejauhan aku sudah langsung bisa mengenali mereka. Empat orang pemuda, berumur sekitar 25 tahun. Berkulit gelap, kontras dengan orang-orang Jepang di sekeliling mereka. „Mereka pasti trainee dari Indonesiag, fikirku. Aku langsung menuju ke kursi tempat mereka duduk. „Orang Indonesia, ya?g sapaku. Lalu kami berkenalan. Berempat mereka dalam perjalanan dari Kesennuma, sebuah kota pelabuhan kapal penangkap ikan, berpuluh kilometer di utara Sendai. Aku pernah sekali berkunjung ke kota yang menghadap ke laut Pasifik ini. Di sana memang ada cukup banyak orang Indonesia yang bekerja sebagai awak kapal penangkap ikan. Tapi Nadri dan kawan-kawannya bukan pekerja. Mereka trainee. Ada ribuan, bahkan mungkin belasan ribu trainee asal Indonesia di Jepang. Mereka belajar dengan cara magang, belajar sambil bekerja di berbagai tempat.Aku beberapa kali bertemu dengan para trainee ini dalam berbagai kesempatan. Umumnya pertemuan tak sengaja, saat main ke kota, di tempat wisata. Ada pertemuan yang berlanjut. Beberapa trainee di sekitar Kumamoto sesekali berkunjung ke rumahku, khususnya saat lebaran. Ada beberapa trainee yang aku temui di kantor imigrasi. Mereka ini trainee yang bermasalah. Ada yang terlibat tindak kriminal di tempat kerja, antara lain berkelahi. Ada pula yang melanggar aturan keimigrasian, yaitu kabur dari majikan tempat magang, lalu tinggal melebihi batas waktu yang ditetapkan pada visa mereka. Karenanya mereka diproses untuk dipulangkan ke Indonesia. Aku jadi penerjemah saat mereka dalam proses pemeriksaan di imigrasi. Dari berbagai pertemuan itu terekam berbagai cerita. Ada cerita indah. Para trainee itu magang di perusahaan. Sambil magang mereka diajari berbagai ketrampilan teknis. Ada yang disuruh ikut kursus bahasa Jepang di akhir pekan. Beberapa trainee yang aku temui merasa puas. Dengan sisa uang saku yang mereka tabung, ditambah ketrampilan yang mereka peroleh, mereka berniat membuka usaha kalau nanti sudah pulang. Bahkan ada trainee yang tadinya memang sudah sarjana di Indonesia, berhasil memperoleh beasiswa untuk kuliah S2. Tapi tak sedikit pula kisah pilu. Ada trainee yang dipekerjakan bak kuli. Di proyek-proyek konstruksi, mereka hanya jadi tukang angkut, tukang pikul. Tak ada ketrampilan khusus yang bisa dipelajari di situ. Mereka dipekerjakan melebihi batas maksimal jam kerja, tanpa uang lembur. Alasannya, mereka trainee, tidak berhak atas uang lembur. Uang saku yang mereka terima pun, jauh di bawah standar upah minimum di Jepang. Itulah yang dialami Nadri dan kawan-kawan. Nadri kebetulan sekampung denganku. Ia berasal dari Sambas, pesisir utara Kalimantan Barat. Kampungku ada di pesisir selatan. Ia lulusan SMK Perikanan. Lulus SMK iya menganggur, hanya kerja serabutan. Ia tertarik melamar saat mendengar ada kesempatan magang di Jepang melalui Disnaker. Ia tahu jepang maju dalam bidang perikanan. Ia berharap dapat ketrampilan dan pengetahuan di sana. Nadri ditempatkan di sebuah kapal penangkap ikan, kalau tak salah khusus untuk menangkap ikan tuna (maguro). Wilayah operasinya di Indonesia juga. Di sekitar Papua. Sekali melaut menghabiskan waktu 2-3 bulan. Pekerjaannya tak lebih dari tukang angkat dan tukang pikul. Tak ada teknik khusus yang diajarkan. Ia sama sekali tak dapat kesempatan untuk, misalnya, belajar mengoperasikan peralatan. Soal upah dan jam kerja yang tak seimbang adalah keluhan utama Nadri. Rekan-rekannya yang bekerja di darat mendapat uang saku sekitar 70-80 ribu yen sebulan. Mereka umumnya libur pada hari Minggu. Nadri selama melaut harus bekerja tanpa libur. Uang saku yang dia terima 50 ribu yen. Sebenarnya jumlah ini tak jauh berbeda nilainya dengan teman-temannya yang bekerja di darat tadi. Para trainee yang kerja di darat itu harus membayar sendiri sewa tempat tinggal berikut kebutuhan makan mereka. Sedangkan Nadri, semua kebutuhan itu ditanggung perusahaan. Tapi bagi Nadri, kerja berbulan bulan tanpa libur itu sungguh berat. Ia hanya libur saat kapal merapat, sekitar 1 minggu sebelum kembali melaut. Aku mendengar keluhan Nadri sambil mencoba membetulkan cara pandangnya. gOrang Jepang itu kasar, Pak. Suka memaki. Kalau saya salah dalam bekerja, saya dimaki-maki.h gBudaya mereka memang begitu. Saya saja, yang sudah S2 dan calon doktor juga dimaki-maki oleh Sensei saya.h gLebih parah lagi, mereka kadang main tangan. Main tempeleng.g Nadri tak mengada-ada. Trainee yang aku temui saat dia sedang menjalani proses hukum di kantor imigrasi juga bercerita tentang hal yang sama. Sering aku lihat di acara TV. Pembuat ramen (la mien dalam bahasa Cina, bakmi) yang sedang belajar pada yang sudah senior sering mendapat perlakuan itu. Dimaki-maki, tak jarang dipukul. Pukulan itu menurutku bukan untuk menyakiti, tapi untuk menggugah kesadaran. Namun bagi orang Indonesia macam Nadri, hal seperti itu dianggap tak patut. Nadri mengungkapkan niatnya untuk kabur. Artinya lari dari majikannya, lalu bekerja sebagai pekerja ilegal. Berulang kali aku berusaha mencegahnya. „Kamu akan ditangkap. Itu pasti. Bagaimanapun lihainya kamu lari, kamu pasti akan tertangkap.g „Tidak apa-apa. Yang penting kerja, kumpulkan uang, segera kirim uang itu ke Indonesia. Saat tertangkap nanti, kalau kita tidak punya uang, tiket pulang akan dibayari pemerintah Jepang.h gTapi ada kemungkinan kamu dipenjara, tidak langsung dikirim pulang.g „Tidak apa-apa. Penjara Jepang toh tidak buruk.h Tak ada lagi yang bisa kukatakan. Kalau penjara pun dianggap baik olehnya, apa yang bisa kukatakan? Kami tinggal di negeri yang sama. Tapi kata-kata Nadri mengingatkanku bahwa dia berada di dunia yang lain. Tak patut bagiku untuk memaksakan cara pandangku padanya. Aku sama sekali tak mengenal dunianya. Kata-kata Nadri yang terakhir itu kembali terngiang di telingaku. „Ki wo tsukete.g Cuma itu yang bisa aku gumankan. Hati-hati, dik. http://berbual.com