*Kolom IBRAHIM ISA *)*

*18 Agustus 2009*

*-----------------------------*


*MENGENANG SAHABAT KARIBKU TERCINTA JOESOEF ISAK*

*<Peraih WERTHEIM AWARD 2005>*

*(1)*

Mengenangkan seorang sahabat karib tercinta yang begitu commited dengan 
cita-cita hidup mulya manusia: Perjuangan untuk KEBEBASAN dan KEADILAN, 
-- bisa terjadi melalui berbagai cara. Salah satu cara, ialah berusaha 
mengenalnya lebih baik, dan lebih baik lagi. Tidak jarang justru sesudah 
seseorang meninggal dunia, saat-saat itu bertambah pengenalan mengenai 
dirinya. Meninggalnya Joesoef Isak membawa ingatan kita pada masa 
lampau. Ketika masih leluasa bisa bergaul dan berkomunikasi dengannya.


Ini berlaku untuk semua kawan yang mengenal dan dikenalnya. Maka, 
sesudah beliau meninggal bermunculanlah cerita dan anekdot, tulisan dan 
kesan serta tanggapan banyak orang yang kenal baik dengan beliau. 
Manusia Indonesia yang langka ini: Joesoef Isak.


Keterlibatanku dengan 'The Wertheim Foundation', yang kepedulian 
utamanya adalah usaha emansipasi bangsa Indonesia, telah membawaku ke 
hubungan dan pengenalan yang lebih dekat lagi dengan Joesoef Isak.


Ketika mengenangkan kembali Joesoef Isak, cara yang kupilih, ialah 
dengan memulai tulisan terkait dengan salah satu peristiwa penting dalam 
hubungan dua negeri dan bangsa, Indonesia dan Belanda. Yaitu dengan 
diberikannya 'WERTHEIM AWARD 2005' kepada JOESOEF ISAK.


* * *


Dalam sidang Pengurusnya, pada tanggal 26 April 2005, The Wertheim 
Foundtion telah mengambil keputusan memberikan 'Wertheim Award 2005', 
kepada Joesoef Isak. 'Wertheim Award' itu diterimanya bersama budayawan 
Goenawan Mohammad, di Den Haag, di Ruangan Nusantara, Kedutaan Besar 
Republik Indonesia untuk Nederland. Suatu peristiwa yang luar biasa. 
Karena dua tokoh Indonesia tsb (dalam bahasa asingnya) adalah DESIDEN. 
Adalah penentang rezim Orba. Tokh, pemenang-pemenang Wertheim Award ini 
menerima Award tsb di ruang pertemuan KBRI Den Haag, yaitu ruang NUSANTARA.


Semua yang menerima undangan The Wertheim Foundation, ke KBRI Den Haag 
untuk menghadiri upacara penyampaian 'Wertheim Award 2005' kepada 
Goenawan Mohammad dan Joesoef Isak, ---- tak habis heran. Kok peristiwa 
demikian itu bisa terjadi. Bisa diduga hal itu bisa terjadi. Karena 
suasana gerakan REFORMASI masih menggema di KBRI Den Haag. Ini penting: 
Juga karena sikap pribadi Mohammad Joesoef, Dutabesar RI untuk Belanda 
ketika itu. Beliau kontan menyetujui usul Pengurus The Wertheim 
Foundation, agar penyerahan Wertheim Award kepada Goenawan Mohammad dan 
Joesoef Isak dilakukan di KBRI Den Haag. Di suatu wilayah Republik 
Indonesia!


* * *


Beberapa waktu sebelumnya atas nama Pengurus The Wertheim Foundation, 
aku menilpun Josoef Isak di rumahnya. Menanyakan kepadanya apakah ia 
bersedia menerima Wertheim Award 2005 bersama Goenawan Mohammad. Joesoef 
tertegun sebentar. Ia samasekali tak menduga akan mendapat penghargaan 
dan penghormatan demikain besarnya dari The Wertheim Foundation. Sebuah 
lembaga di Nederland, yang kepedulian utamanya adalan emansipasi bangsa 
Indonesia.


Wah, katanya. Itu suatu kehormatan besar menerima Wertheim Award. 
Joesoef tambah gembira mengetahui bahwa ia akan menerima Award tsb 
bersama Goenawan Mohammad.


Dalam keputusannya memberikan WERTHEIM AWARD 2005 kepada Joesoef Isak, 
dinyatakan, sebagaimana tertera pada teks yang tertera di Piagam Award 
Wertheim 2005 tsb sbb:


"/*In its meeting of April 26, 2005, the Board of the Wertheim 
Foundation has decided, following the advice of the external selection 
committee, to assign the Wertheim Award 2005 to JOESOEF ISAK, to honour 
him for his courage and talent and in particular for his unremitting 
efforts to publish politically banned but important and widely read 
books during the years of political oppression in Indonesia. In doing so 
he significantly contributed to the fight for the freedom of opinion and 
press in Indonesia and greatly furthered the struggle for emancipation 
of the Indonesia people."*/


/*Diterjemahkan bebas, sbb:*/


/*Dalam sidangnya pada tanggal 26 April, 2005, Pengurus Wertheim 
Foundation telah memutuskan, sesuai saran suatu komisi seleksi 
internasional, untuk menyampaikan WERTHEIM AWARD 2005, kepada JOESOEF 
ISAK, sebagai penghormatan terhadapnya atas keberanian dan bakat 
kemampuannya dan teristimewa untuk usaha yang tak henti-henti untuk 
menerbitkan buku-buku yang dilarang secara politik dan banyak dibaca 
selama bertahun-tahun lamanya Indonesia mengalami penindasan politik. 
Dengan berbuat demikian ia telah memberikan sumbangan amat penting 
terhadap perjuangan untuk kebebasan menyatakan pendapat dan pers di 
Indonesia dan secara besar-bearan memajukan perjuangan untuk emansipasi 
rakyat Indonesia.*/


/** * **/


Keputusan The Wertheim Foundation yang memberikan penghargaan dan 
penghormatan demikian besarnya kepada Joesoef Isak, sepenyhnya tepat dan 
benar! Karena Joesoef Isak telah mengabdikan seluruh hidup dan karyanya 
demi kebebasan menyatakan pendapat, demi demokrasi dan hak-hak azasi 
manusia.

Demi emansipasi bangsa Indonesia.


Oleh karena itu meningalnya Joesoef Isak merupakan kehilangan besar bagi 
bangsa Indonesia. Sekaligus juga merupakan kehilangan besar untuk The 
Wertheim Foundation.


* * *


Mari kita simak dan kenangkan kembali 'ACCEPTANCE SPEECH' Joesoef Isak, 
ketika menerima 'Wertheim Award 005'. (Teks aslinya dalam bahasa 
Inggris. Berikut ini adalah terjemahan bebas>



*PIDATO JOESOEF ISAK di KBRI DEN HAAG, ketika menerima Wertheim Award 2005:*

Yang terhormat para anggota Pengurus Wertheim Foundatrion.

Yth pejabat pimpinan dan staf Kedutaan Indonesia

Goenawan Mohammad dan sahabat-sahabatku tercinta.



Para tamu yang terhormat,

Setelah menjalani bedah jantung tiga minggu yang lalu, fisik saya belum 
sepenuhnya pulih. Tetapi sekarang ini, jiwa dan fikiran saya dalam 
kesehatan baik. Dan saya sangat gembira hadir di sini berhadapan dengan 
hadirin semua dalam peristiwa ini. Suatu kejadian yang begitu signifikan 
khususnya bagi saya.

Wertheim Award yang akan saya terima hari ini, bersama dengan sahabat 
karib saya kawan bung Goenawan Mohammad, menjadikan saya bangga dan 
merupakan kehormatan besar bagi saya. Oleh karena itu perlu saya 
tekankan segera bahwa kehormatan ini jelas bukan sesuatu yang 
semata-mata bagi saya pribadi. Saya sepenuhnya sadar bahwa perjuangan 
untuk kebebasan menyatakan pendapat, bagi individu maupun bagi 
masyarakat, merupakan suatu usaha kolektif orang-per-orang yang mempunya 
prinsip dan pendirian yang sama. Teristimewa mengenai kegiatan Hasta 
Mitra yang bekerja di bidang publikasi. Di sini ingin saya sebut 
pertama-tama, sumbangsih Hasyim Rahman dan Pramudya Ananta Tur. Kemudian 
sumbangsih para karyawan, yang kerja dengan rajin dan setia pada 
cita-cita Hasta Mitra, diantaranya mendiang Kasto dan sahabat kita 
Sugeng. Semua empat orang tsb, yang saya sebut namanya tadi, semua 
mantan tapol Pulau Buru.



Saya jug tidak lupa para pemuda dan mahasiswa, juga toko-toko buku 
kecil-kecilan yang berani dan mengambil risiko ketika mendistribusikan 
buku yang kami terbitkan, teapi yang selalu dilarang oleh pemerintah 
Suharto.



Satu point ingin saya garisbawahi di sini. Penyampaian Award ini adalah 
inheren dengan pengakuan bahwa di dalam periode sejak didirikannya 
Republik Indonesia yang baru diproklamasikan dalam tahun 1945, telah 
terdapat suatu titik-hitam (black spot) yang sangat menghina martabat 
manusia. Selama lebih separuh dari 60 tahun berdirinya, Repulik 
Indonesia berada di bawah kekuasaan otoriter militer di bawah pimpinan 
jendral Suharto. Tetapi kita semua tau bahwa negeri-negeri yang 
menamakan dirinya 'dunia bebas' ('the free world') justru menganggap 
periode Suharto adalah periode demokrasi di Indonesia. Karena para 
jendral itu berhasil menggulingkan pemerintahan Sukarno yang dituduh 
pro-komunis. Saya menganggap Award yang akan saya terima ini sebagai 
suatu koreksi terhadap manipulasi politik dan penilaian rincu terhadap 
sejarah.



Selanjutnya, pemberian Award berarti pengakuan bahwa di tengah-tengah 
kekuasaan militer, telah lahir dan tumbuh kekuatan progresif yang dengan 
terang-terangan melakukan perjuangan melawan kesewwnang-wenangan rezim. 
Kekuatan progresif ini belum tampil sebagai pemenanng, Karena dengan 
turunnya jendral Suharto, bukan dengan sendirinya berarti kehancuran 
substansial kekuasaan otoriter yang menamakan dirinya rezim Orde Baru. 
Ini dibuktikan oleh award yang diberikan oleh partai Golkar kepada orang 
yang yang hakikatnya mengepalai rezim otoriter itu. Orang yang 
menjadikan korupsi sebagai kultur yang menguasai segenap lapisan 
kehidupan politik dan ekonomi di Indonesia. Arti penting dari kekuatan 
juang ini ialah bahwa kekuatan ini punya keberanian untuk 
terang-terangan tampil dan bahwa adalah penting sekali bahwa kekuatan 
juang ini tidak berhenti di tengah jalan. Karena, tugas untuk mencapai 
keadilan, hak kebebasan pribadi dan mempertahankan martabat manusia 
merupakan usaha seumur . Itu berlaku dimana saja dan dalam situasi yang 
bagaimanapun.

Saya merasa bangga menerima Wertheim Award ini, pertama-tama karena saya 
punya hubungan pribadi dengan Profesor Wertheim yang saya amat hormati 
dan kagumi otoritasnya dan kepribadian yang bermartabat sebagai manusia, 
sarjana dan sahabat.



Sejak saya keluar dari penjara dan berjumpa dengan beliau dalam tahun 
1977 di Wageningen, saya memelihara komunikasi terus menerus dengan 
beliau sampai waktu beliau meninggal dunia.Yang saya maksud dengan 
hubungan pribadi ialah, bahwa adalah Profesof Wertheim yang mendampingi 
saya dan memberikan bimbingan, saran dan nasihat pada saat saya mengedit 
karya-karya Tetralogi Pramudya Ananta Toer. Dari hubungan yang intensif 
ini, menjadi jelas bagi saya bahwa simpati Profesor Wertheim tidak 
terbatas pada Hasta Mitra. Lebih dari itu. Bahwa beliau adalah sahabat 
sejati Indonesia, tanpa motif lain apapun. Profesor Wertheim adalah 
seorang warganegara Belanda yang tanpa syarat menyokong perjuangan 
kemerdekaan Indonesia. Teristimewa emansipasi rakyat kecil yang 
tertindas. Menyadari sikapnya yang sungguh-sungguh dan konsisten dalam 
membela rakyat kecil yang tertindas, saya bertanya-tanya apakah 
pemberian Award hari ini bukan merupakan suatu peristiwa yang terbalik. 
Bukankah akan lebih tepat bahwa rakyat Indonesia, yang memberikan 
penghargaan setinggi-tingginya dan rasa terima kasihnya kepada Profesor 
WimWertheim yang secara kongkrit memberikan sumbangsihnya kepada 
perjuangan kemerdekaan dan emansipasi rakyat Indonesia? Dengan mengutip 
konsep politik BungKarno, Profesor Wertheim mreupakan elemen dari /the 
new emerging forces in the midst of the old established fotrces /yang 
ada di dalam masyarakat Belanda seperti halnya di dalam masyarakat 
Indonesia.

Bagi saya, Wim Wertheim adalah Mutatulinya abad ke-20, yang patut 
memperoleh penghargaan kita. Patut kita menundukkan kepala memberikan 
penghormatan kepada beliau, serta menyatakan terima kasih mendalam untuk 
sumbangsihnya yang tak terkira kepada rakyat Indonesia.

Para tamu.

Menutup 'acceptance speech' saya yang pendek ini, saya ingin bertukar 
pengalaman dengan sahabat-sahabat saya di negeri Belanda dalam masalah 
pekerjaan politik sehubungan dengan hak bagi individu untuk kebebasan 
menulis dan kebebasan untuk menyatakan pendapatnya sendiri. Yang ingin 
saya kemukakan di sini ialah pengalaman di Indonesia, meskipun secara 
pokok perjuangan untuk demokrasi dan hak-manusia dimana-mana wataknya 
universil. Karena kekuatan reaksioner, kekuatan otoriterisme sipil dan 
militer menganggap sepi martabat manusia, merusak emansipasi dan 
kemerdekaan individu. Ini sama saja dimana-mana di dunia ini.

Point pertama yang ingin saya kemukakan disini ialah, bahwa dalam 
berkonfrontasi dengan kekuasaan otoriter dan represif -- yang diwakili 
oleh pemerintah atau oleh elemen-elemen fanatik dalam masyarakat -- kia 
samasekali tidak boleh berilusi, seakan-akan kekuatan reaksioner itu 
akan menunjukkan pengertian, apalagi, toleran terhadap prinsip-prinsip 
demokratis yang kita perjuangkan.

Dengan ini saya ingin jelaskan bahwa sikap kompromis dalam bentuk 
seperti menyesuaikan diri , atau dengan lain kata, melakukan 
sensor-sendiri, tidak akan memperlemah kekuasaan represif atau otoriter. 
Sebaliknya, hal itu akan menimbulkan sikap yang lebih keras. Karena 
kekuatan represif tidak akan punya sikap baik untuk memahami 
prinsip-prinsip demokrasi. Self-censorship yang dilakukan oleh 
mereka-mereka yang merasa terancam, berarti kemenangan bagi kekuatan 
reaksioner yang represif. Self-censorship sama bahayanya dengan sensor 
aktif yang dilakukan oleh penguasa. Itu akan merupakan hasil besar bagi 
penguasa tanpa perlu mengotorkan tangan mereka sendiri.

Pengalaman lainnya yang ingin saya sampaikan ialah, jangan jemu-jemu, 
apalagi samasekali berhenti ditengah jalan dalam perjuangan untuk 
prinsip-prinsip demokrasi yang merupakan milik sah kita.

Menjadi lelah, lalu bosan, hilang harapan, takut, inilah hal-hal yang 
diharapkan oleh penguasa otoriter dari orang atau kelompok yang mereka 
ingin tindas. Melakukan perlawanan berhadap-hadapan terhadap kekuatan 
otoriter yang bisa melakukan kekejaman memang bukanlah permainan untuk 
jadi pahlawan. Adalah wajar bahwa bila kita dicengkam oleh rasa takut, 
tetapi merasa takut, menjadi lelah, menjadi bosan dan hilang harapan, 
justru itulah yang jangan kita berikan kepada orang-orang penguasa itu.

Kita tau dan kita dapat berkeyakinan bahwa kita tidak sendirian dalam 
perjuangan mempertahankan hak-hak manusia. Jutaan rakyat berbaris 
bersama kita di seluruh dunia. Tetapi dalam praktek melaksanakan 
perjuangan untuk mencapai tujuan itu, kita masing-masing harus memikul 
tanggungjawab sendiri. Kebersamaan dengan rakyat lain yang sejalan 
dengan kita dan sama pendiriannya dengan kita, akan berakhir dengan 
kemenangan berasma. Tetapi, untuk memenangkan kemerdekaan dan martabat 
manusia selalu pertama-tama merupakan perjuangan bagi setiap individu 
kita masing-masing.

Kami di Indonesia masih harus melalui jalan panjang untuk mencapai 
hak-hak manusia, jangan lagi dikatakan mencapai keadilan dan bahkan 
kemakmuran untuk seluruh rakyat. Saya samasekali tidak berilusi, bahwa 
perubahan politik siginifikan akan tercapai selama kekuatan 
sosial-politik yang bertanggujawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan 
selama lebih dari tigapuluhtahun masih berkuasa dan termasuk ikut 
menentukan jalannya politik Indonesia dewasa ini. Tak ada jalan pintas. 
Dan tak ada jalan lain untuk menghentikan kewenang-wenangan selain 
seperti apa yang dinyatakan dengan indah oleh Wiji Thukul, seorang 
seniman rakyat, pemenang Wertheim Award 1999:

HANYA ADA SATU JALAN: LAWAN!

Jangan berhenti, bahkan sejenakpun, dalam perjuangan melawan ketidakadilan.

Saya ingin sekali lagi menyatakan rasa terima kasih yang mendalam kepada 
semua anggota Pengurus Wertheim Foundation memberikan kepada saya 
Wertheim Award.

Saya menerimanya atas nama teman-teman sepekerjaan di Hasta Mitra, dan 
pemuda-pemuda dan mahasiswa, yang dengan sadar dan berani mempertahankan 
dan berjuang untuk hak-hak manusia, untuk hak-hak setiap individu untuk 
kebebasan menulis dan menyatakan pendapat. * * *



*)

Ibrahim Isa adalah publisis

Sekretaris The Wertheim Foundation

Amsterdam.

* * *















[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke