“Qanun Jinayat” yang telah diresmikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) 
tak henti menyulut kontroversi, yang tak hanya datang dari luar, namun juga 
dari masyarakat Aceh sendiri. Gubernur Aceh sendiri pun tak kunjung 
menyetujuinya. Bagi Pemerintah Aceh, prosedur “Qanun” ini cacat hukum. 
Sementara dari sisi subtansi, argumentasi “Qanun” ini amat rapuh.

Yang paling fatal “Qanun” ini tidak memasukkan pelanggaran-pelanggaran yang 
seharusnya disebut tindak pidana (jinayat). Namun sebaliknya “Qanun” ini malah 
menetapkan perbuatan yang semestinya bukan tindak pidana. Lebih dari itu 
“Qanun” ini telah melanggar batas: memasuki ranah yang bukan wewenangnya.

Dalam Bab II Pasal 2, disebutkan “Qanun ini mengatur tentang jarimah dan 
‘uqubat khamar, maisir, khalwat, ikhtilath, zina, pelecehan seksual, 
pemerkosaan, qadzaf, liwath, dan musahaqah”. “Qanun” dengan sangaja tak 
menyebut pembunuhan (qatl) dan pencurian (sariqah) sebagai tindak kejahatan 
(jarîmah).

“Qanun” ini juga menyebut prilaku yang diasumsikan tercela secara moral, tapi 
sebenarnya bukan tindak-pidana yakni khalwat. Khalwat artinya laki-laki dan 
perempuan yang bukan muhrim berdua di suatu tempat yang tertutup. Sementara 
ikhthilath yang berarti laki-laki dan perempuan bercampur-baur di suatu tempat 
tak pernah disebut sebagai perbuatan yang tercela secara moral—apalagi sampai 
disebut tindak pidana. Orang yang thawaf di sekiling Ka’bah di Makkah baik 
laki-laki ataupun perempuan bercampur-baur, tidak ada batas atau jalur khusus 
thawaf yang memisahkan laki-laki dari perempuan.

“Qanun” yang berbasis pada kleim syariat Islam ini ingin diberlakukan juga pada 
orang di luar pemeluk Islam (Bab II Pasal 4 ayat b dan c). Padahal 
ketentuan-ketentuan syariat Islam hanya berlaku bagi orang Islam saja. Maka, 
“Qanun” ini telah melampaui batas wewenangnya. “Qanun” ini melanggar ayat lakum 
dinukum wa liya din (“bagimu agamamu, dan bagiku agamaku”).

Saya tidak habis pikir mengapa “Qanun” ini tidak menyebut pembunuhan dan 
pencurian sebagai tindakan kriminal. Mungkin saja karena sanksinya yang 
kontroversial, pencurian akan dipotong tangannya, sementara pembunuhan diancam 
hukuman mati. Namun anehnya penyusun “Qanun” ini memasukkan sanksi rajam bagi 
pezina (yang menikah). Apa skala prioritas perzinahan atas kasus pencurian—atau 
korupsi misalnya—yang dampak “pemberantasan korupsi” lebih berguna bagi 
kepentingan publik? Apakah kalangan para anggota dewan yang terhormat itu 
khawatir atas hukuman potong tangan terhadap tindak pidana korupsi yang mudah 
ditemukan di kalangan mereka?

Tak pelak lagi asumsi dasar dari “Qanun” ini adalah perkara moralitas yang 
berbasis pada seks. Cermati saja dari pasal perzinahan, khalwath, ikhthilath, 
hingga liwâth (sodomi) dan musâhaqah (tribadisme)—yang sering dituduhkan pada 
kalangan homoseksual—basis asumsinya adalah seks sebagai sumber kriminalitas.

Kalau para penyusun “Qanun Jinayat” ini secara konsisten merujuk pada kajian 
al-Fiqh al-Jinâ’î al-Islâmî (Fiqh Pidana Islam) klasik maka akan tampak soal 
“pidana Islam” ini bukan soal “tebang pilih”, dan para ulama fiqh klasik pun 
sangat ketat dan berhati-hati membahas perkara ini.

Pembahasan yang terangkum misalnya dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu karya 
Wahbah al-Zuhayli (1997, vol 7) yang mengulas pembahasan “hudud”. “Hudud” 
artinya ”batas” atau “larangan” yang konotasinya adalah “hukuman” (uqubat) yang 
ditentukan oleh Allah. Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah materi 
pidana. Madzhab Hanafi menyebut ada lima ditambah satu “qishash”, sementara 
mayoritas ulama fiqh menyebut delapan: zina, qadzf (pembunuhan karakter dengan 
tuduhan zina), minum khamr, pencurian, membuat kekacauan (al-hirabah), 
pemberontakan (al-baghy), murtad, dan pembunuhan. Ada juga seorang ulama 
madzhab Maliki yang menyatakan sampai tiga belas (hlm. 5276).

Sedangkan Ibn Rusyd dalam kitabnya Bidâyatul Mujtahid (1995, vol 4) menyebut 
empat jenis tindak pidana: (1) kejahatan terhadap jiwa dan badan disebut qatl 
(pembunuhan) dan jarh (pencideraan), (2) pelanggaran terhadap perkelaminan 
disebut zina, (3) pelanggaran terhadap hak milik disebut pencurian (sariqah) 
atau perampasan dan perampokan (al-hirabah, al-ghashab), (4) pelanggaran 
terhadap kemulian-diri disebut qadzf (hlm. 2161). Empat jenis inilah yang bisa 
disebut “pidana murni”. Kendati para ulama memiliki ragam pendapat soal jenis 
tindak pidana tapi tidak ada yang abai bahwa pembunuhan dan pencurian sebagai 
pelanggaran. Dan tidak pula menjadikan perkara-perkara yang berbau moral 
sebagai pelanggaran pidana.

Sedangkan bentuk-bentuk sanksi pidananya yang disebut oleh Al-Quran adalah 
potong tangan untuk pencurian, cambuk untuk zina dan qadzf, hingga hukuman mati 
bagi pembunuhan yang disengaja—hukuman rajam tidak ada dalam al-Quran. Bentuk 
hukuman itu dinyatakan sebagai “hudud” yang berarti “batas maksimal dari 
hukuman”. Yang dilarang adalah melanggar “batas maksimal dari hukuman” itu, 
sementara bagi beberapa ulama memperbolehkan menjatuhkan sanksi di bawah “batas 
maksimal hukuman” tadi.

Dalam soal pembuktian tindak pidana “Fiqh Pidana Islam” klasik memberikan 
aturan secara ketat, tidak seperti “Hukum Acara Jinayat” yang asal “copy-paste” 
dari Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)—yang membuktikan lagi 
inkosistensi “Qanun Jinayat” itu. Syarat pembuktian zina dalam “Fiqh Pidana 
Islam” dengan kesaksian empat orang laki-laki yang beragama Islam, merdeka, 
dewasa dan sadar, melihat dengan mata telanjang perkara “kontak antar-kelamin” 
yang dikiaskan seperti “pedang yang masuk ke sarungnya” secara bersama-sama 
berada di tempat kejadian dan di waktu yang bersama pula. Namun dalam “Hukum 
Acara Jinayat” aturan-aturan tadi tidak dirujuk.

Walhasil “Qanun Jinayat” ini inkonsisten, landasan argumentasinya sangat 
keropos, tidak jelas rujukannya, asal main comot dari Hukum Pidana Islam dan 
KUHAP dan yang paling fatal karena “Qanun” ini dikeluarkan di Aceh—yang masuk 
dalam wilayah Republik Indonesia—bertentangan dengan Konstitusi di Indonesia.

“Qanun Jinayat” berarti “Undang-undang Hukum Pidana”. Namun karena “Qanun” itu 
tidak menyebutkan kejahatan yang seharusnya masuk ke kategori tindak pidana, 
atau memandang perbuatan yang bukan tindak pidana tapi diancam sanksi pidana, 
serta ditemukan inkonsistensi di sana-sini, maka “Qanun” ini tak lebih sebagai 
modus operandi kriminalisasi dan diskriminasi gaya baru.

Mohamad Guntur Romli

Koran Tempo, Senin 7 Desember 2009

http://guntur.name/2009/12/07/jinayatnya-%E2%80%9Cqanun-jinayat%E2%80%9D/



      
___________________________________________________________________________
Nama baru untuk Anda! 
Dapatkan nama yang selalu Anda inginkan di domain baru @ymail dan @rocketmail. 
Cepat sebelum diambil orang lain!
http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/id/

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke