http://www.surabayapost.co.id/?mnu=berita&act=view&id=d1fe1fd1f1a352f229bf4d 24630264e2&jenis=b706835de79a2b4e80506f582af3676a
http://www.surabayapost.co.id/images/logo_cetak.gif Dari Paris bersalju, menengok kehidupan Gus Dur yang Bergolak Sabtu, 9 Januari 2010 | 09:12 WIB http://www.surabayapost.co.id/gambar/4c813bd947fdac02c67d7808831d351b.jpg Andre Feillard http://www.surabayapost.co.id/images/hRule2.gif Oleh : Andrée Feillard - Peneliti Senior bidang sejarah di CNRS (Pusat Penelitian Prancis) Berada sangat jauh di kota Paris yang dinginhari ini bersuhu di bawah 7 derajat celcius dan salju dimana manakabar mengenai wafatnya Gus Dur menjadi sulit dipercaya. Pernah Gus Dur mengunjungi saya disini, satu hari siang pada bulan september 1999 di pinggiran kota Paris yang hijau sekarang putih semua. Waktu pulang, dia pun terpaksa naik kereta api seperti orang biasa untuk menghindari kemacetan lalu lintas. Orang lain mungkin sudah menggerutu, tetapi Gus Dur tidak. Ia pun bersukacita dan bergurau, mirip seorang pemuda ceria yang melakukan kegiatan jalan-jalan yang tak terduga. Gus Dur senang dengan hal-hal yang tak terduga. Di kereta api pinggiran kota itu, kami berbicara sebentar tentang arah politik yang mau ia ambil, dan tentang kesempatan yang akan dilewatkannya bila itu terjadi (termasuk rencana mengunjungi tempat-tempat bersejarah di Prancis bersama isteri dan empat putrinya, sesuatu yang sudah lama diinginkannya). September 1999 itu merupakan bulan terakhir dalam hidupnya sebagai pemimpin sebuah komunitas keagamaan untuk menjadi kepala negara di sebuah negara yang multiagama. Abdurrahman Wahid bukan sembarangan orang untuk memegang posisi seperti ini. Bukankah dia adalah anak pertama Wahid Hasyim, mantan menteri agama Indonesia, yang pidatonya pada 2 Januari 1950 mungkin bisa dilihat sebagai sebuah pertanda prophetic? Izinkan saya mengutip pidato Wahid Hasyim itu yang diucapkan di tempat khusus pada hari khusus : di istana negara, pada perayaan Maulud Nabi.. Pidato ini saya baca pertama kali waktu mulai meneliti Nahdlatul Ulama, pada tahun 1980an, di buku Aboebakar Atjeh yang diterbitkan Departemen agama setelah wafatnya Wahid Hasyim. Entah kenapa, pidato itu muncul kembali di benak saya: Bismillah hirrahman nirrahim. Sungguh sangat menggembirakan hati, bahwa hari-hari pertama daripada Republik Indonesia Serikat, sebagai bentuk jang dianggap sah daripada kemerdekaan Rakjat Indonesia jang telah ditjapai pada 17 Agustus 1945, djatuh pada hari-hari dari dua orang pemimpin dunia jang sangat kenamaan, jalah Nabi Muhammad s.a.w. pembawa adjaran-adjaran al-Quran dan sjariat Islam, serta Nabi Isa bin Marijam a.s., pembawa adjaran-adjaran Indjil dan sjariat Nasrani. Djarang terdjadi dalam perhitungan tahun, bahwa dua peristiwa itu berlaku dalam masa jang berdekatan, ialah hari lahir suatu negara dengan hari lahir seorang nabi Allah. Tetapi lebih djarang lagi terjadinya hari lahir sesuatu negara dengan hari-hari lahir dua orang pesuruh Allah seperti pada peristiwa lahirnya Republik Indonesia Serikat ini . (Aboebakar Atjeh, Sedjarah Hidup KH Wahid Hasjim, 1957, hlm. 677). Sekarang ini, sebagian besar pers Indonesia merayakan Gus Dur sebagai tokoh pluralis, dan ini tampaknya dibenarkan dengan rasa duka mendalam dari kaum Buddha dan Kristen yang bersatu untuk berkabung dengan kaum Muslim. Memang, selama ini, tak diragukan, banyak orang datang pada Gus Dur untuk meminta perlindungan dan keadilan pada masa transisi yang riuh: pada 1990an, kaum minoritas datang waktu mereka sedang mengalami efek buruk identity politics (politik identitas menekankan perbedaan kelompok untuk tujuan politik), dengan perusakan gereja yang makin banyak. Demikian juga datang kaum demokrat yang saat itu menghadapi rezim Soeharto yang mencoba bertahan at all costs. Selanjutnya pada 2000an, yang datang pada Gus Dur adalah kaum Muslim pluralis (dan liberal) saat mereka menghadapi kelompok Islamist radikal. Mereka semua mendatangi Gus Dur dengan harapan besar, mungkin juga harapan yang terlalu besar, yang terkadang bisa saja dikecewakan. Namun siapa lagi selain dia yang bisa menyatukan begitu banyak kelompok lemah? Dan siapa lagi yang memiliki keberanian untuk melakukan pembelaan dengan membawa gaung yang begitu kuat? Tahun 1980an dan tahun 1990an berbeda. Pada 1980an, Gus Dur mengambil peran kunci untuk menghentikan kebuntuan politik, setelah mendengarkan ulama senior yang lelah dengan politik dan dampak negatifnya terhadap kegiatan keagamaan. Sedangkan sepuluh tahun kemudian, pada 1990an, peran kuncinya adalah menjaga pluralisme. Saya teringat pada satu momen istimewa di Lampung pada tahun 1992, ketika di suatu malam yang sunyi, duduk bersama beberapa kaum intelektual, dia menyampaikan ungkapan panjang amarah yang merupakan ungkapan rasa kekecewaannya yang mendalam dengan pembentukan ICMI, yang Gus Dur lihat sebagai sindrom akan munculnya politik identitas. Diprediksinya ini akan menghancurkan masyarakat Indonesia yang pluralis sejak kemerdekaan sekaligus akan membendung gelombang demokrasi yang sedang coba muncul sejak akhir tahun 1980an. Beberapa orang intelektual yang hadir menyimak dalam kesunyian. Saat saya melakukan kunjungan tahunan saya ke Indonesaia pada November 1996, Gus Dur mengajak saya untuk melakukan perjalanan ke Malang, tempat dia diundang setelah pembakaran serangkaian Gereja dan sekolah di Situbondo pada Oktober 1996. Saat itu tepat satu bulan setelah insiden pembakaran tersebut. Aula tempat pertemuan sudah penuh ketika kami tiba, orang-orang datang dari tempat yang jauh. Kami mendengarkan berbagai laporan yang mengkhawatirkan dari tokoh katolik lokal mengenai ketegangan dan ancaman terselubung. Kita semua baru menyadari sedang muncul satu era baru yang tak terduga. Itu kali pertama saya melihat orang Katolik berdoa begitu dalam bagi seorang teman mereka, Gus Dur, yang dinilai satu-satunya yang mungkin mampu membalik arus. Perkembangan baru memang begitu antinomis bagi reputasi pluralisme Indonesia, yang kontras dengan kekerasan yang dialami Pakistan sejak berdirinya tahun 1947. Waktu itu negara itu muncul dengan memisahkan diri dari Hindia dalam pertumpahan darah (bloodbath) yang menakutkan. Saya mengakhiri perjalanan di Jawa Timur dengan satu kunjungan menyedihkan di Situbondo, saat sebuah perayaan massa digelar dalam sebuah gereja katolik yang usai dibakar, tanpa atap, tanpa kursi, tanpa benda2 sakral, hanya tembok-tembok tinggi yang menghitam. Orang-orang duduk di atas tikar di lantai. Hidup berlanjut. Misa belum selesai, saya pun meneruskan perjalanan dengan teman-teman NU yang mendampingi saya. Mengapa Gus Dur begitu penting sepanjang tahun-tahun tersebut? Pasti ada banyak jawaban untuk pertanyaan ini. Keberaniannya mungkin berasal dari keunikannya. Dia mempunyai legitimasi keagamaan yang luar biasa tinggi lewat garis keturunanya, sebagai cucu dari sekaligus dua kiai pempimpin ormas Islam terbesar di Indonesia : Hasyim Asyari dan Bisri Syansuri. Legitimasi ini menjadi sangat penting dengan makin banyaknya rujukan religius dalam politik Indonesia selama tahun 1990an. Keberanian ini ditambah dengan kepercayaan diri yang berasal dari didikannya yang tinggi : ia telah membaca literatur Barat dan Arab. Bukan itu saja, dia bukan seorang intelektual yang hanya tahu buku, dia kenal banyak manusia setelah bertemu orang dari berbagai ras, agama dan negara. Yang mungkin lebih penting, dia biasa bertemu banyak orang Indonesia, dari kepala negara hingga kaki lima, selama perjalanan atau di rumahnya yang terbuka bagi orang-orang lintas batas sosial. Mungkin itu semua bergabung untuk menjadikannya sosok yang berani sangat vokal. Meskipun memiliki garis keturunan luar biasa, namun tahun-tahun 1990an tetap menjadi masa yang berat bagi Gus Dur setelah ia menjadi target dari para politisi yang jelas-jelas terganggu dengan kehadirannya. Pada 1994, di Cipasung, tanpa perlindungan dan pembelaan intensif dari para kiai senior, dia tak akan terpilih lagi sebagai pemimpin Nahdlatul Ulama. Namun menarik dicatat bahwa tidak ada kiai yang ikut bergabung dengan Forum Demokrasinya. Kenapa? Terlalu banyak risiko politik buat mereka justru pada saat Presiden Soeharto telah berhasil mengkooptasi sebagian elit intelektual muslim dengan menunjukkan wajah yang lebih bersahabat pada agama islam. Era pasca Soeharto membawa satu kemenangan besar bagi Gus Dur dengan terpilihnya sebagai Presiden Indonesia, namun tahun-tahun itu juga justru menjadi masa penuh tantangan dan kesakitan. Sebagian pengamat telah menyalahkan para lawan politiknya yang kurang fair. Gus Dur sendiri yakin bahwa dia menjadi korban dari sebuah plot. Yang jelas, salah langka strategis sedikit bisa fatal bagi mereka yang berada di puncak kekuasaan. Segala bisa dijadikan senjata yang siap pakai oleh para sekutu kecewa. Menawarkan hubungan komersial dengan Israel dan rehabilitasi komunisme tentu akan membuat musuh di koalisi yang baru memilihnya sebagai presiden yang justru paling anti-Israel dan paling anti-komunis. Gus Dur sang intelektual dengan kuat meyakini misinya dan menjalankannya segera. Namun Gus Dur sang kiai dituntut mencari penyesuaian pada seting politik baru. Dan ini jauh lebih rumit dibandingkan dunia agamis homogen yang mengelilingnya di NU. Tetapi mungkinkah menjadi presiden saat itu adalah misi tak mungkin, une mission impossible? Sebuah ironi bahwa adalah hal politik (penolakan terhadap politik praktis) yang mengantarkan Gus Dur pada garda depan ruang publik pada awal 1980an (ingat para kiai yang menyebut politikus sebagai tikus-tikus pada 1979?), dan justru politik lagi (sekali ini pilihan kembali ke politik praktis dengan menjadi calon presiden) yang ikut menjatuhkannya dua puluh tahun kemudian. Akhir 1999 adalah satu momen bahaya memang, seperti diakui oleh para kiai senior, Sahal Mahfudh dan Kiai Muchith Muzadi, yang telah memberikannya nasehat agar tidak maju mencalonkan diri pada jabatan nomor satu negeri ini. Menengok ke belakang, sungguh luar biasa bagaimana satu orang saja bisa mempunyai pengaruh begitu besar dalam perpolitikan selama tiga puluh tahun sementara mengemban amanat sebagai presiden hanya kurang dari dua tahun. Sementara itu, orang akan terus berziarah di makamnya seperti halnya saat mereka mencoba menyentuh mobil yang Gus Dur naiki seusai pengajian, istighosah atau pertemuan lainnya. Bila orang berbicara tentang barokahnya terkadang membuatnya tertawa, namun terkadang dia juga menyikapinya dengan serius. Sesewaktu dia menarik tangannya dengan cepat bila orang ingin mencium tangannya, namun di lain waktu dia juga membiarkan tangannya itu dicium. Gus Dur selalu akan merupakan orang yang berbeda untuk orang yang berbeda di masa yang berbeda. Dia akan tetap demikian. Tak diragukan, bagaimanapun, di samping semua kekurangan yang akan disebutkan orang, dia akan juga dikenang (tentunya saya akan mengenangnya) sebagai seorang teman (bahkan pahlawan?) dari pluralisme dan kebudayaan lokal. * Penulis buku NU vis-à-vis Negara, Pencarian Bentuk, Isi dan Makna, LkiS, 1997. [Non-text portions of this message have been removed]