BISMILLA-HIRRAHMA-NIRRAHIYM

WAHYU DAN AKAL - IMAN DAN ILMU
[Kolom Tetap Harian Fajar]
640 Perang Unta dan Kepemimpinan Perempuan
 
Saat Nabi Muhammad SAW mendengar kabar suksesi kekaisaran Persia kepada putri 
Kaisar, beliau bersabda: 
-- Lan Yufliha Qawmun Wallaw Amrahumu Mraatan [H.R. Bukhariy], artinya: 
Sekali-kali tidak beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada 
perempuan. Hadits ini, seperti dinyatakan oleh Imam Ibn Hajar, diungkapkan 
berkaitan dengan hadits-hadits lain tentang kisah kesewenang-wenangan Kaisar 
Persia. Ia kemudian di kudeta dan dibunuh, dan kemudian terjadi pelimpahan 
kekuasaan ketangan puteri Kaisar. Dalam pandangan Muhammad al-Syawaribi, hadits 
tersebut tidak bisa dijadikan rujukan untuk hal yang ilzamiyah (normatif), 
karena diriwayatkan secara ahad (individual). Hadits ahad hanya bersifat 
ikhbariyah (informatif), sehingga tidak memiliki konsekwensi hukum apapun. 
Dalam kaidah Ushul Fiqh untuk hal-hal yang sangat prinsip yaitu ilzamiyah, 
haruslah berlandaskan kepada teks yang diriwayatkan secara mutawatir 
(kolektif). 
 
Dalam penelusuran DR. Wahbah al-Zuhaili, tak ditemukan satupun ulama terdahulu 
yang membenarkan kepemimpinan perempuan dalam konteks di bidang politik. 
Dikatakan bahwa ulama Islam telah konsensus (ijma') dengan pernyataan bahwa 
kelelakian merupakan salah satu syarat utama bagi kepemimpinan tertinggi dalam 
lapangan politik (alFiqh alIslami, VII: 6179). Sementara pemikir Islam 
kontemporer juga tidak sedikit yang menyuarakan hal yang sama. Sebutlah 
misalnya Syah Waliyullah alDahlawi, alMawdudi dan yang lain. Dengan demikian, 
berarti bahwa perempuan dalam pandangan Syari'ah tidak dibenarkan untuk 
menduduki kepemimpinan politik tertinggi. Jamaluddin Al Afghani dalam bukunya 
yang berjudul 'Aisyah wa alSiyasah, menulis secara lengkap tentang biografi St 
Aisyah dan mencoba memberikan nasehat bagi generasi mendatang tentang 
keberadaan perempuan dalam politik praktis.
 
Itu dalam wacana. Bagaimana di lapangan? 
1. Kenyataan bahwa Nabi Muhammad Saw tidak menyerahkan kepemimpinan beliau 
kepada puteri beliau, Siti Fathimah, ataupun kepada Ummu lMu'minin St 'Aisyah 
yang keduanya-duanya adalah cerdas dan bijak. Keduanya memang cerdas dan bijak 
dalam konteks ukuran keseharian, namun bukan dalam konteks bidang siyasah 
(politik). 
2. Siti 'Aisyah, walaupun sukses dapat memimpin puluhan ribu pasukan perang di 
bawah kendali perintahnya, tetapi ujung-ujungnya beliau kalah, karena tidak 
matang menterjemahkan situasi politik sebagai dasar untuk bertindak. St 'Aisyah 
menunjukkan terpuruknya peran perempuan di wilayah politik, yaitu  menarik 
sekelompok orang untuk membangkang dan terjun ke dalam perang memimpin sebuah 
pasukan yang menentang keabsahan khalifah keempat, 'Ali bin Abu Thalib. 
Peperangan ini terjadi di Basrah pada hari Ahad 12 Jumadil Akhir 36 H / 4 
Desember 656 M. menentang khalifah 'Ali bin Abi Thalib.
 
Ketika Khalifah 'Utsman bin Affan wafat, warga Madinah dan tiga pasukan dari 
Mesir, Basrah dan Kufah bersepakat memilih 'Ali bin Abu Thalib sebagai khalifah 
baru. Sebermula beliau menolak penunjukan itu. Namun semua mendesak untuk 
memimpin ummat. Pembaiatan beliaupun berlangsung di Masjid Nabawi. Sebagai 
Khalifah beliau mewarisi pemerintahan yang sangat kacau. Juga ketegangan 
politik akibat pembunuhan Khalifah ketiga, 'Utsman bin Affan. Keluarga Umayyah 
menguasai hampir semua kursi pemerintahan. Dari 20 gubernur yang ada, hanya 
Gubernur Iraq yaitu Abu Musa Al Asyari yang bukan keluarga Umayyah. Mereka 
menuntut Khalifah 'Ali bin Abu Thalib untuk mengadili pembunuh Khalifah 
'Utsman. Tuntutan demikian juga diajukan St 'Aisyah. Namun Khalifah 
berpandangan bahwa pengadilan sulit dilaksanakan sebelum situasi politik reda. 
Khalifah bermaksud menyatukan negara lebih dahulu. Untuk itu, beliau mendesak 
Muawiyah bin Abu Sofyan, Gubernur Syam, yang juga pimpinan keluarga Umayyah 
untuk segera berbaiat kepadanya. 
 
Muawiyyah menolak berbaiat sebelum pembunuh Khalifah 'Ustman dihukum. Bahkan 
Muawwiyah menyiapkan pasukan dalam jumlah besar untuk menentang Khalifah. Maka 
Khalifah segera menyusun pasukan. Khalifah berangkat ke Kufah, wilayah yang 
masyarakatnya mendukung Khalifah. Beliau tinggalkan ibu kota Madinah 
sepenuhnya. Sementara itu St 'Aisyah, telah bergerak memimpin 30 ribu pasukan 
dari Makkah. Pasukan Khalifah yang semula diarahkan ke Syam terpaksa dibelokkan 
untuk menghadapi pasukan St 'Aisyah, yang memimpin pasukannya dalam tandu 
tertutup di atas unta. Banyak pasukan juga mengendarai unta, sehingga pasukan 
itu dari pihak St 'Aisyah disebut Ashhab alJamal (Pasukan Unta). Maka perang 
itu disebut Perang Unta. St 'Aisyah tertawan setelah tandunya penuh dengan anak 
panah. Adapun dari pihak Khalifah 'Ali pasukan 'Aisyah disebutnya An Nakits 
(N-K-TS), yang diambil dari Firman Allah:
-- FMN NKTS FANMA YNKTS 'ALY NFSH (S. ALFTh, 48:10), dibaca: faman nakatsa 
fainnama- yankutsu 'ala- nafsihi-, artinya barangsiapa yang menebas (bai'ah), 
maka (bahaya) penebasannya atas dirinya sendiri. 
 
Kerugian peperangan itu sangat besar.
-- Pertama, kerugian jiwa, yaitu dari pihak St 'Aisyah sejumlah 16,796 orang 
terbunuh, dan dari pihak Khalifah 1,070 orang.
-- Kedua, perpecahan mazdhab, mereka para penyokong St 'Aisyah dan Muawiyah 
disebut Ahlussunnah, dan para penyokong Khalifah disebut Syi'ah (partai) 'Ali, 
dan yang menyedihkan ialah yang pada mulanya hanya berupa mdzhab politik, namun 
ujung-ujungnya menjadi madzhab theologi, yaitu Madzhab Ahlussunnah dan Madzhab 
Syi'ah (tanpa menyebutkan 'Ali lagi). 
 
***
 
Ala kulli hal, dalam Hadits yang telah dikutip di atas, ungkapan "urusan 
mereka" (Amruhum), adalah urusan dalam konteks kancah politik. Alhasil, tidak 
akan beruntung kaum yang mendiami sebuah negeri, tidak terkecuali Indonesia 
ini, jika dipimpin oleh perempuan dalam urusan politik. Sedangkan St 'Aisyah 
yang begitu cerdas dan bijak dalam kehidupan keseharian, akan tetapi gagal 
dalam kepemimpinan politik, maka betapa pula oleh perempuan yang biasa-biasa 
saja. WaLlahu a'lamu bisshwab.
 
*** Makassar, 29 Agusutus 2004
http://waii-hmna.blogspot.com/2004/08/640-perang-unta-dan-kepemimpinan.html


----- Original Message ----- 
From: "4N17R4 UP4ND4 H4F45" <nitra_ha...@yahoo.com>
To: <wanita-muslimah@yahoogroups.com>
Sent: Wednesday, January 20, 2010 21:59
Subject: Re: [wanita-muslimah] Kepemimpinan Perempuan, Mengapa Tidak?

Mari kita bahas diawali dari makna katanya.

Kamus Besar Bahasa Indonesia menetapkan kata Pimpin memiliki arti memimpin 
(verba). 

"Memimpin"
memiliki arti :
(1) mengetuai atau mengepalai; 

(2) memenangi paling
banyak; 

(3) memegang tangan seseorang sambil berjalan, membimbing;
(5) melatih (mendidik, mengajari) agar (seseorang) dapat mengerjakan
sendiri.

Pemimpin berarti orang yang memimpin; arti
lainnya petunjuk. Sementara Pimpinan berarti hasil memimpin;
bimbingan; tuntunan. 

Kata kepemimpinan (nomina) berarti perihal pemimpin; cara memimpin.

Berkaitan dengan judul posting Kepemimpinan Perempuan berarti Perihal Pemimpin 
Perempuan dus bagaimana seorang perempuan memimpin.

Kalau kita cermati makna kata, maka tidak ada salah dengan Kepemimpinan 
Perempuan atau jawaban dari judul postingan ini adalah Sangat Bisa dan tidak 
ada nash yang bisa membatalkannya.
Tapi nanti dulu, kepemimpinan seperti apa dan level apa dulu. Semua kita adalah 
pemimpin minimal pemimpin untuk diri kita sendiri. 

Rasanya tidak perlu ada diskusi soal pemimpin tertinggi kaum muslimin bahwa 
Khalifah adalah frame mutlak dari seorang laki2.  Kalaupun ada contoh2 pada 
jaman pra kenabian SAW itulah pada tataran skup dan lingkup sejarah yang diluar 
masa kenabian SAW.

Seorang pemimpin tertinggi kaum muslimin sangat logis jadi ranah mutlak seorang 
laki2 karena sifat dasar perempuan tidak memungkinkan secara fitroh untuk bisa 
berada di garda terdepan kalau diharuskan qital atau perang terbuka / fisik.
Kalaupun ada alasan bahwa jaman sekarang perang fisik memungkin seorang 
pemimpin duduk di belakang meja dengan hanya memegang tombol kendali dan tidak 
perlu harus menghunus pedang menghadapi musuh, itu juga bisa dimentahkan. 
Karena tidak masuk akal apabila dari kalangan laki2 tidak ada yang lebih mampu 
dari dia.

Mari kita berbicara fakta. Ratu Bulqis sekalipun tidak sanggup menghadapi Raja 
Sulaiman AS pada masanya karena faktanya Raja Sulaiman memang jauh lebih cerdik 
dan agung kekuasaannya.


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke