*IBRAHIM ISA -- Berbagi Cerita
Sabtu, 13 Februari 2010*

*------------------------------------------**
**SELAMAT TAHUN BARU "IMLEK" *
*<Untuk Yang Keturunan Tionghoa Dan Untuk Kita Semua>*

Beberapa hari y.l bersama Murti, kami mampir berbelanja di "Toko Super". 
Sebuah toko Tionghoa-Suriname di Winkelcentrum Amsterdamse Poort. 
Kutanyakan pada kasir muda yang bertugas di situ: Hoi, kataku, -- 
numpang tanya, ya. Kapan persisnya hari raya Imlek? Segera dijawab: 
Tanggal 14 Februari ini. Jadi berarti besok. Percakapan tsb dilakukan 
dalam bahasa Belanda. Para pemilik toko Tionghoa di Belanda, yang 
umumnya adalah migran dari Suriname, generasi mudanya fasih berbahasa 
Belanda. Kewarganegaraan mereka umumnya juga sudah Belanda.


Putri Sulung kami, -- Tiwi, mengingatkan bahwa orang-orang Tionghoa 
mulai merayakan Imlek pada malam tanggal 13 Februari. Ini dikatakan 
Tiwi, karena sebelumnya kukatakan pada Murti, -- Bagaimana kalau kita 
pada tanggal 14 Februari nanti menikmati JIAO ZI, yang lezat itu. Tapi 
bikin sendiri, kataku. Putri kami Si Bungsu pandai bikin Jiao Zi. 
Nostalgi ya, kata Murti menyetujuinya. Kalau mau ikut merayakannya 
biasanya dimulai pada tanggal 13 Februari, tegas Tiwi.


Sebetulnya yang dimaksudkan Tiwi bukan hanya orang-orang Tinghoa saja 
yang merayakan Imlek. Di Indonesia masyarakat yang luas ikut merayakan 
Imlek. Belum ada yang menghitung berapa besar jumlahnya. Apalagi 
ramé-ramé Cap Go Meh, dua minggu kemudian. Lebih meriah lagi masyarakat 
ambil bagian dalam perayaan tsb.


Di Indonesia, tanah air tercinta, Imlek secara tradisionil dulunya 
memang dirayakan oleh orang-orang Tionghoa pendatang. Tetapi juga oleh 
orang-orang Tionghoa yang turun-temurun bermukim di Indonesia. Bahkan 
banyak sekali yang sudah menjadi warganegara Indonesia, telah menjadikan 
Indonesia sebagai tanah tumpah darahnya sendiri. Lihat saja sejarah 
perjuangan kemerdekaan bangsa kita melawan kolonialisme Belanda. Tidak 
sedikit pejuang-pejuangnya adalah yang keturunan Tionghoa. Siapa yang 
tidak kenal pejuang-pejuang anti kolonialisme Belanda, seperti Siauw 
Giok Tjhan (Baperki), Tan Ling Djie (PKI), Mr Tan Po Goan (PSI), John 
Lie (ALRI), Ir Tjoa Sek In, Oei Tjoe That (Partindo), Yap Thiam Hien 
<Advocat Perjuang HAM> , Go Gien Tjwan (Baperki) dan banyak lainnya 
lagi. Kemudian aktivis dan penulis Benny G. Setiono. Mereka-mereka itu 
adalah orang-orang Indonesia etnis Tionghoa, sekaligus adalah patriot 
pejuang kemerdekaan yang tangguh. 'Mereka' adalah sebagian dari BHINNEKA 
TUNGGAL IKA.


* * *


Pagi ini aku menilpun beberapa sahabat akrab untuk menanyakan a.l 
bagaimana menulis JIAO Zi dalam ejaan Pingyin. Menjawab pertanyaanku, 
sahabat kami itu membenarkan bahwa orang-orang yang merayakan Imlek 
memulainya pada tanggal 13 Februari malam. Pada pasang mercon segala!


Ketika aku bekerja di Beijing, dan kami sekeluarga berdomisili di 
Tiongkok (1966-1987), setiap Hari Raya Imlek, ramai-ramai sekeluarga, 
sering juga bersama teman-teman lainnya, menikmati makanan khas Tionghoa 
pada hari raya Imlek, yaitu JIA ZI. Dalam bahasa Inggris disebut 
"dumpling'. Rasanya lezat sekali. Kami betul-betul menikmatinya. Juga 
kutanyakan kepada sahabat-sahabat dekat itu, bagaimana Hari IMLEK 
dirayakan pada periode Presiden Sukarno dulu. Memang seingatku, 
masayarakat Indonesia dengan leluasa dan gembira merayakan Imlek di 
Indonesia.


Perayaan yang damai dan bahagia ini dirusak, diobrak-abrik oleh politik 
rasialis anti-Tionghoa dan anti-Tiongkok rezim Orba Jendral Suharto. 
Dari catatan sejarah selama tiga puluh tahun lebih, bisa dikemukakan sbb:

Selama 1965 -1998 perayaan tahun baru Imlek dilarang. Instruksi Presiden 
Nomor 14 Tahun 1967, yang ditandangani oleh Jendral Suharto melarang 
segala hal yang berbau Tionghoa, di antaranya Imlek. Sebelumnya Suharto 
meregisir kampanye anti-etnik-Tiomghoa yang disenapaskan dengan kampnye 
penumpasan G30S dan terhadap orang-orang Kiri. Khususnya PKI. Dalam 
kampanya itu tak terhitung warga Indonesia keturunan Tionghoa yang jatuh 
korban. Ribuan orang-orang Indonesia keturunan Tionghoa terpaksa 
bereksodus ke Tiongkok. Aksara dan bahasa Tionghoa dilarang. Toko dan 
jalan-jalan yang menggunakan nama Tiongoa harus ganti nama Indonesia. 
Sekolah-sekolah dan penerbitanTionghoa ditutup. Bahkan nama (orang) yang 
Tionghoa disuruh ganti dengan nama Indonesia. Di sepanjang sejarah 
Indonesia, dalam rangka kita membangun satu nasion yang terdiri dari 
banyak etnik, tidak pernah ada politik rasis dan rasialis sebiadab pada 
zaman Orba ini. Maka tidak habis heran kita dibuatnya, ---- Bisa-bisanya 
ada yang mengusulkan mantan Presiden Suharto , yang bertanggungjawab 
atas politik rasis dan rasialis anti-Tionghoa dan anti-Tiongkok, ---- 
dinobatkan jadi PAHLAWAN NASIONAL. Sungguh keterlaluan! Sungguh di luar 
batas kesopanan elememter!! Lagipula siapa tidak kenal Jendral Suharto 
sebagai kleptokraat, koruptor dan nepotis terbesar di Indonesia.


* * *

Masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia kembali mendapatkan kebebasan 
merayakan tahun baru Imlek pada tahun 2000 ketika Presiden Abdurrahman 
Wahid mencabut Inpres Nomor 14/1967. Kemudian Presiden Megawati 
Soekarnoputri menindaklanjutinya dengan mengeluarkan Keputusan Presiden 
Nomor 19/2001 tertanggal 9 April yang meresmikan Imlek sebagai hari 
libur nasional. Mulai 2002, Imlek resmi dinyatakan sebagai salah satu 
hari libur nasional. Syukur Alhamdulillah!


* * *


Semula menyertai tulisan ini ingin kusiarkan cerpen Lu Xun berjudul "LET 
US DO A LITTLE READING". Maksudnya untuk memperkenalkan lebih lanjut 
sastra Tiongkok Baru Progresif yang panglima dari gerakan ini adalah 
sastrawan besar LU XUN.


Setelah membaca tulisan Ali Usman, Magister Agama dan Filsafat UIN Sunan 
Kalijaga Yogyakarta, aku tangguhkan dulu cerpen Lu Xun itu. Artikel Ali 
Usman ini lebih relevan dan aktuil. Aku fikir: Artikel yang kubaca di 
mailist 'Gelora 45', Hongkong, baik sekali diresapi oleh lebih banyak 
orang Indonesia ('pribumi') dan dipertimbangkan baik-baik. Berikut ini 
tulisan Ali Usman itu:


*Etnis China dalam Keindonesiaan*
Oleh Ali Usman, 13 Februari 2010

SETIAP kali merayakan Tahun Baru Imlek, momen bersejarah itu, ingatan kita 
selalu tertuju pada suatu komunitas etnis China di Indonesia. Sebagian 
masyarakat masih awam, mengapa perayaan Imlek diidentikkan dengan etnis China? 

Ini bermula dari sejarah etnis atau masyarakat China itu sendiri yang merupakan 
"sejarah perlawanan". Perlawanan terhadap penindasan, juga perlawanan melawan 
ketidakadilan atas kebijakan-kebijakan pemerintah yang cenderung diskriminatif. 

Pembekuan hak politik hingga tidak diperbolehkannya menjadi PNS menjadi pil 
pahit yang harus ditelan bagi warga China pada masa Orde Baru. 
Bahkan, tidak hanya ditenggelamkan dalam penulisan sejarah, masyarakat China 
telah menjadi tumbal dan kambing hitam rezim demi mempertahankan status quo. 

Dalam catatan sejarah, beberapa kali etnis China menjadi sasaran pembunuhan 
massal atau penjarahan seperti pembantaian di Batavia 1740, pembantaian China 
masa perang Jawa 1825-1930, pembunuhan massal etnis China di Jawa 1946-1948, 
peristiwa rasialis 10 Mei 1963, 5 Agustus 1973, Malari 1974 ,dan kerusuhan Mei 
1998.

Kategori dan klasifikasi pribumi dan nonpribumi serta WNI sejak pertengahan 
tahun 1960-an tampaknya juga menjadi pemicu utama terjadinya kekerasan dan 
penistaan terhadap masyarakat China di banyak daerah. 

Padahal menurut Claudine Salmon, peneliti asal Prancis yang mendedikasikan 
hampir seluruh kariernya untuk meneliti kebudayaan China dan juga kebudayaan 
China di Indonesia, dalam bukunya Literature in Malay by the Chinese of 
Indonesia, a Provisional Annotated Bibliography (1981), mengatakan, bahwa di 
Indonesia, tulisnya, kalau ada istilah suku-suku, orang China dianggap sebagai 
suku asing. 
Tetapi, siapa yang asing, siapa yang pribumi, sebenarnya tidak terpisah seperti 
minyak dengan air. Bahkan menurut Claudine, "Saya kira sejumlah orang Indonesia 
yang menganggap diri sebagai orang pribumi adalah keturunan China".

Sadar akan hal itu, baru pascareformasi atau tepatnya di era Presiden 
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) telah diterbitkan Keputusan Presiden (Keppres) 
Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Inpres Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, 
Kepercayaan, dan Adat Istiadat China. 

Berdasarkan Keppres itu, ekspresi budaya, agama, dan kepercayaan bagi etnis 
China telah dibebaskan secara terbuka dengan tanpa izin. 
Keppres inilah yang kemudian mengilhami lahirnya pengakuan tradisi Imlek 
dirayakan setiap tahun, bahkan dijadikan sebagai hari libur nasional setara 
dengan hari-hari libur lainnnya. 

Namun Keppres itu masih sebatas pengakuan simbolik atas ekspresi bagi etnis 
China dalam ranah publik dan belum menyentuh pada ranah agama dan kepercayaan 
Konghucu.
Budaya Pengakuan negara terhadap ekspresi tradisi China sejatinya bukan hanya 
menyentuh wilayah budaya, seperti peringatan Imlek setiap tahun, suguhan tarian 
barongsai dan liong melainkan harus menyentuh wilayah agama dan kepercayaan, 
sehingga yang diperingati sebagai hari libur nasional bukan Tahun Baru Imleknya 
melainkan pada perayaan agamanya, seperti pengakuan negara terhadap hari libur 
nasional selama ini, selalu identik dengan ekspresi agama bukan budaya, seperti 
Natal, Waisak, Nyepi, Idul Fitri, Idul Adha, Hijrah, Maulid, Kenaikan Isa as, 
dan lain-lain. Suatu ketika saya pernah berbincang dengan dua tokoh China di 
Yogyakarta. Kedua-duanya mengakui, bahwa era reformasi memang mengembuskan 
angin segar bagi eksistensi masyarakat China untuk survive kembali setelah 
sekian lama bopeng menjadi korban kekejaman rezim Orde Baru. Namun sebagai 
sebuah catatan, era reformasi tidaklah bebas dari kritik dan kekurangan.

"Masyarakat saat ini sudah terbuka dan ada semacam edukasi untuk bisa menerima 
etnis lain (China). Secara kultural, kita sudah dapat diterima dengan baik, dan 
kami pun sangat senang membaur dengan mereka. Tetapi pada level-level tertentu, 
seperti pencantuman agama dan kode khusus pada KTP bagi warga China masih 
menyisakan problem," kata salah seorang China yang enggan disebutkan 
identitasnya. 

"Jadi, tidak perlu melihat wajah atau foto di KTP, orang melihat kode saja 
pasti tahu: ini orang China," imbuhnya lagi. Karena itu ke depan, sudah 
sepantasnya pemerintah untuk segera memulihkan hak penuh masyarakat China, yang 
tidak lagi membeda-bedakan dengan etnis lain. Jangan lagi ada kategori warga 
pribumi dan nonpribumi. 
Dengan melihat fakta tersebut, disadari atau tidak, boleh jadi darah yang 
mengalir di dalam tubuh kita sebenarnya berasal dari keturunan China. Kita 
adalah bagian dari mereka. Kita menjadi China, sekaligus menjadi warga 
Indonesia. Ini yang perlu disadari. (10) <Ali Usman, magister Agama dan 
Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta>    * * *





[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke