ISMAIL - 100302 - Assalaamu’alaikum wr. wb.

Bismillahir rahmaanir rahiim, Allahumma
shalli ‘alaa Sayyidina Muhammad wa ‘alaa ali sayyidina Muhammad.

 

TERORISME DI DUNIA
INI SEPERTI TEKA TEKI



  


Bayangkan saja
teka-teki atau SANDIWARA SUPER CANGGIH, entah oleh aparat atau oknum aparat atau
atas tuntunan kaum Zionis yang ingin Islam atau negeri Islam menjadi bulan2an
media dunia … Dan sebab utama kecurigaan adalah bagaimana Mass Media dibikin
bingung tak bisa meliput momen2 penting yang seharusnya bisa disebar luaskan ke
masyarakat – apakah ada yang dirahasiakan dari SANDIWARA2 TERSEBUT ?



  


Apakah peristiwanya
atau juga pelaku2nya yang seperti “ dakocan “ membuat sandiwara semata  itu .. ?

 

Bayangkan peristiwa
Mariott dan Ritz Carlton – 2 Hotel milik Kaum Zionis ( sekaligus ) dikorbankan 
sendiri oleh
pemiliknya – demi mengacaukan Indonesia
… peristiwanya terjadi bertepatan dengan memanasnya perang dingin paska PILPRES
..

 

Masih bagus, bisa
diselamatkan dengan kebijakan tokoh negarawan yang berseteru dalam Pilpres MAU
MENAHAN DIRI … 

 

Bila tidak ?
Rusuhlah Indonesia
ketika itu …dan itulah sebenarnya yang ditunggu2 kaum Zionis .. kekacauan demi
kekacauan di Indonesia
..

 

Ternyata mereka
Zionis gigit jari … karena dengan adab untuk senantiasa menghormati prosedur 
Hukum
oleh para negarawan kita … tidaklah terjadi perpecahan dalam diri bangsa ini ….

 

Akhirnya … mungkin
instruksi sang Zionis .. tembak mati semua saja dakocan2 itu habis perkara …
agar jangan ada jejak sandiwara terungkap oleh masyarakat .. ( itu prediksi
yang boleh jadi terjadi .. ) … memang sadisnya Zionis Amerika itu .. luar biasa 
....

 

 

Dan sekarang ini
TIBA2 TERORISME MUNCUL LAGI, DISAAT OBAMA AKAN BERKUNJUNG KE INDONESIA MARET 
INI … ya begitulah biar ramai dan
persahabatan Indonesia
– Amerika ( Negara Zionis sang pengendali sandiwara terorisme ) semakin mesra
bukan ?

 

Kemudian berbagai Bom
Bunuh diri di Iraq
sungguh ironis dan dahsyat, karena kerusakan dan kematian yang terjadi – dapat
dipastikan menggunakan Bom Mikro Nuklir. Bayangkan saja efek panjang tak 
disadari mansuia … bayi2 lahir di Irak
banyak terkena radiasi uranium … 

Apakah tidak salah, bahwa bom2 bunuh diri itu sebagai
sandiwara para dakocan2 Zionis …. sengaja agar Iraq tetap kacau dan tentara
Amerika tetap bisa bercokol disana, dan para negarawan Iraq boneka Zionis itu,
tetap ada alasan pada rakyatnya bahwa Iraq masih membutuhkan keakraban dengan
Kaum Kafir itu … lagi agar nama Islam tetap jelek dimata manusia … ?



  


Begitu pula di Pakistan dan Afghanistan … agar bursa teroris
tetap ramai …. na'uudzubilah min dzaliik !!!



  


Wallahu a’laam bish
shawwab …

 

Wa’asssalaam /
ISMAIL

 



--- On Wed, 10/3/10, cak lis <cak...@yahoo.com> wrote:

From: cak lis <cak...@yahoo.com>
Subject: [wanita-muslimah] Menjustifikasi Kematian “Teroris” (Yang Selalu 
Ditembak Mati)
To: arab-i...@yahoogroups.com, alamisl...@yahoogroups.com, 
cyberdak...@yahoogroups.com, daarut-tauh...@yahoogroups.com, 
flp-jep...@yahoogroups.com, fos...@yahoogroups.com, insist...@yahoogroups.com, 
islam_libe...@yahoogroups.com, hidayatullah...@yahoogroups.com, 
milis-ka...@yahoogroups.com, muhammadiyah_soci...@yahoogroups.com, 
myqu...@yahoogroups.com, ppi_yorda...@yahoogroups.com, 
ppmi-pakis...@yahoogroups.com, profe...@yahoogroups.com, 
syiar-is...@yahoogroups.com, wanita-muslimah@yahoogroups.com, 
comes_i...@yahoogroups.com, hidayatullahn...@yahoogroups.com, 
islamic_discussion_via_inter...@yahoogroups.com, 
nongkrong_bare...@yahoogroups.com, eramus...@yahoogroups.com, 
jurnalperemp...@yahoogroups.com
Date: Wednesday, 10 March, 2010, 1:26 PM







 



  


    
      
      
      



http://www.hidayatu llah.com/ opini/opini/ 11003-menjustifi kasi-kematian- 
teroris



Menjustifikasi Kematian “Teroris”       



        

                        

                        Wednesday, 10 March 2010 10:18          

                

                

                



                

                                                                

                        

                        

                                                

        

        



Amerika bisa menangkap Hambali dan Umar Al Faruq tanpa harus menewaskan mereka. 
Mengapa di tempat kita selalu mati?Oleh: Heru Susetyo*



Ada

fenomena aneh di balik kisah sukses Detasemen Khusus 88 membekuk para

"teroris" dua bulan terakhir ini. Yaitu, hampir semua"teroris" -nya mati

tertembak ataupun terbunuh dengan cara lain. Pasca peledakan hotel J.W.

Marriot dan Ritz Carlton tanggal 17 Juli 2009, tak kurang dari

sembilan"teroris" yang dianggap berperan langsung dan tidak langsung

telah terbunuh.



Ibrohim, florist hotel Ritz Carlton

terbunuh pada 8 Agustus 2009 di Temanggung, dalam drama pengepungan

yang diliput banyak media massa. Pada hari yang sama Air Setiawan dan

Eko Sarjono juga ditembak hingga tewas di Bekasi. Pada 16 September

2009, masih di bulan Ramadhan, empat ‘teroris’ termasuk buruan nomor

wahid, Noordin M. Top, terbunuh dalam drama baku tembak di Solo.

Kemudian, yang masih gres, dua buronan utama, kakak beradik

Syaifuddin Zuhri dan Mohammad Syahrir, menjemput ajal di ujung senapan

Densus 88 di Ciputat. Persis menjelang shalat Jum’at 9 Oktober 2009.



Banyak

pihak mengacungkan jempol terhadap ‘prestasi’ Densus 88. Memang, dari

sisi produktivitas pemburuan "teroris", Densus 88 amat sangat

produktif. Sembilan buron tewas hanya dalam kurun waktu dua bulan.

Buronan nomor wahid pula.



Permasalahannya adalah, haruskah

mereka dibunuh? Layakkah mereka dibunuh? Tak ada cara lainkah untuk

mengakhiri perburuan dan mengungkap misteri terorisme ini selain dengan

pembunuhan?



Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, pertanyaan

yang lebih mendasar adalah, benarkah mereka yang terbunuh itu

benar-benar "teroris"? Kalaupun benar "teroris" apakah mereka memang

harus dibunuh? 



Tanpa berpretensi untuk membela terorisme,

sistem peradilan pidana Indonesia, dan juga hampir semua sistem

peradilan di negara yang sehat demokrasinya, dan tegak rule of law-nya, 
memegang teguh asas ‘presumption of innocence’ alias ‘praduga tak bersalah.



Seseorang

bisa jadi mencurigakan, bisa jadi tertangkap basah, bisa jadi memiliki

ciri dan identitas yang cocok dengan pelaku kejahatan tertentu, ataupun

menjadi buron karena alat-alat bukti dan saksi mengarah padanya, namun

tetap saja ia tak dapat disebut sebagai bersalah sebelum pengadilan

menyidanginya dan hakim menyatakan bersalah dan kemudian menghukumnya.

Dan ini pun belum akhir perjalanan. Sang terhukum masih berpeluang

mengajukan banding ke pengadilan tinggi, Kasasi dan Pengajuan Kembali

ke Mahkamah Agung, hingga permohonan grasi ke Presiden.



Tidak

semua saksi adalah tersangka. Tidak semua tersangka kemudian berkembang

menjadi terdakwa. Tidak semua terdakwa menjadi terpidana. Dan tidak

semua terpidana benar-benar menjalani hukuman sesuai yang dijatuhkan.

Termasuk, tidak semua terpidana benar-benar melakukan tindak pidana

yang dituduhkan terhadapnya. Banyak kasus salah tangkap, salah tahan,

salah mendakwa, bahkan sampai salah menghukum.



Kendati demikian,

proses peradilan harus dihormati. Karena di forum tersebutlah alat-alat

bukti dan saksi diuji dan dipertukarkan keterangannya. Di majelis yang

mulia itulah informasi dan keterangan terdakwa, saksi maupun korban dan

ahli diperdengarkan.



Apabila para"teroris" telah menjemput

ajalnya, instrumen dan media seperti apa yang dapat membuktikan bahwa

mereka benar-benar "teroris"? Apalagi definisi tentang terorisme

sendiri begitu banyak dan sangat bias. Ditingkahi pula oleh

Undang-Undang Anti Teroris yang menyimpangi asas keadilan, utamanya

dalam penangkapan dan proses penahanan yang berlangsung di luar

kelaziman dalam hukum acara pidana dan nyata-nyata melanggar HAM.



Kalaupun

benar mereka adalah teroris, maka pengadilan pun bisa mengungkap lebih

jauh tentang motif, tujuan, peta jaringan, peran yang dimainkan, hingga

unsur kesalahan masing-masing individu. Hukuman dapat dijatuhkan sesuai

dengan peran dan derajat kesalahan serta tanggungjawab yang diemban

setiap individu. Tentunya, hukuman untuk mastermind amat

berbeda dengan mereka yang hanya ikut-ikutan. Hukuman bagi perencana,

pemberi order, ataupun pelaku utama amat berbeda dengan mereka yang

terseret karena keliru memilih teman dan berada di tempat dan waktu

yang salah. Palu hakim masih memberikan beberapa pilihan. Sangat

berbeda dengan laras senapan senapan polisi yang seringkali tanpa

kompromi dan tak pula bertelinga.



Publik pun mengakui hal ini.

Jasad dari Dani Dwi Permana dan Nana Ikhwan Maulana, keduanya dituding

sebagai pelaku pemboman di hotel JW Marriot dan Ritz Carlton pada 17

Juli 2009, tak ditolak warga untuk dimakamkan di daerah tempat

tinggalnya, karena beranggapan mereka hanyalah korban indoktrinasi dan

bukannya perencana utama. Amat berbeda dengan reaksi warga setempat

yang menolak pemakaman para ‘senior’ mereka di kediamannya

masing-masing.



Mengapa Amrozi, Imam Samudera, Mukhlas, dan Ali

Imron dapat tertangkap tanpa harus terbunuh? Mengapa dua buronan besar

seperti Hambali (tertangkap di Ayutthaya Thailand tahun 2003) dan Umar

Al Faruq (tertangkap di Bogor tahun 2002) dapat diciduk oleh pasukan

Amerika Serikat dan Indonesia tanpa harus membunuh mereka?



Dalam kasus lain, dua pemimpin Serbia dan jagal perang Balkan (1992–1996) yang 
bertanggungjawab atas genocide dan crime against humanity di

Bosnia, Serbia dan Croatia, masing-masing adalah Slobodan Milosevic dan

Radovan Karadzic, dapat ditangkap kemudian diadili pengadilan khusus di

The Hague tanpa harus membunuh mereka. Ketika divonis pun,

Milosevic ‘hanya’ mendapatkan hukuman seumur hidup, bukannya hukuman

mati. Ia sendiri yang menjemput ajal di penjara karena sakit. Bukan

atas peran fire squad, lethal injection, ataupun tiang gantungan.



Timothy

McVeigh, "teroris" berkulit putih asli Amerika yang terbukti membom

gedung federal (FBI) di Oklahoma City pada tahun 19 April 1995 dan

menewaskan 168 rakyat tak berdosa, dapat ditangkap polisi Amerika tanpa

harus membunuhnya. Padahal, ia memiliki kemampuan yang menakutkan,

karena merupakan veteran tentara yang pernah terjun di Perang Teluk.

Kendati kemudian ia dihukum mati pada tahun 2001, uniknya, banyak

keluarga korban yang justru tak rela ia dihukum mati. Mereka

mengatakan, apabila Tim Mc Veigh dihukum mati adalah sama artinya

dengan mengulang kesalahan yang sama. Yaitu kembali mengulang kejahatan

pembunuhan yang tak perlu, namun kali ini pelakunya adalah negara.



Maka,

mengapa Ibrohim, Eko Joko Sarjono, Air Setiawan, Bagus Budi Pranoto,

Hadi Susilo, Ario Sudarso, Noordin M. Top, Syaifuddin Zuhri dan

Muhammad Syahrir harus dibunuh? Tak dapatkah polisi mengulang kisah

‘sukses’penangkapan Amrozi dkk? Pengadilan terhadap Amrozi dkk, sedikit

banyak dapat mengungkap unsur pertanggungjawaban pidana setiap

tersangka, derajat keterlibatan dan kebersalahannya, peran yang

dimainkan dan seterusnya.



Anehnya, baik aparat, birokrat, maupun

masyarakat cenderung menjustifikasi kematian para "teroris" tersebut.

Tak ada reaksi luar biasa yang menentang ‘pembunuhan’ tersebut.

Seolah-olah mereka memang layak untuk ditewaskan dengan cara demikian.

Padahal, dengan tewasnya para tersangka "teroris" tersebut, maka sekian

istri telah menjadi janda, sekian anak telah menjadi anak-anak yatim,

sekian banyak orangtua tak percaya telah kehilangan anak tercintanya

yang susah payah dibesarkan sejak bayi.



Yang lebih mengerikan,

bagi keluarga, stigma sebagai "keluarga teroris"  akan menghantui

mereka seumur hidup. Bentuk hukuman sosial dari masyarakat yang tak

dapat diklarifikasi karena aktor utamanya telah tewas. Maka, sang istri

akan menyandang predikat istri teroris. Sang anak sebagai anak teroris.

Ayah dan Ibu sebagai orangtua teroris. Paman dan Bibi menyandang

predikat paman dan bibi teroris. Kampung yang didiami akan berpredikat

kampung teroris. Luka sosial yang mesti diemban seumur hidupnya tanpa

ada kemampuan membela diri.



Bila demikian halnya, tipis saja

perbedaan antara negara, masyarakat, dan Noordin M. Top dkk. Ketiganya

adalah sama-sama ‘teroris’, namun memainkan peran yang berbeda. Negara

berpotensi menjadi ‘teroris’ karena menjalankan praktik ‘state terrorism’ . 
Antara lain dengan sewenang-wenang mengangkangi proses hukum dan ‘rule of law’ 
dalam proses penangkapan dan pelumpuhan tersangka "teroris".



Masyarakat

pun berpotensi menjadi "teroris" apabila begitu saja menjatuhkan stigma

"teroris" dan menjatuhkan penghukuman sosial kepada para ‘tersangka

teroris’ dan keluarganya, tanpa ingin mengklarifikasi lebih jauh dan

memberikan kesempatan kepada "keluarga teroris" untuk membela diri dan

memperbaiki hidupnya.



*)Penulis adalah Staf Pengajar FHUI–Depok, Executive Committee World Society of 
Victimology  ps.Artikel ini pernah diterbitkan pada 20 October 2009, 
diterbitkan ulang atas kepentingan aktual



[Non-text portions of this message have been removed]





    
     

    
    


 



  






      New Email addresses available on Yahoo!
Get the Email name you&#39;ve always wanted on the new @ymail and @rocketmail. 
Hurry before someone else does!
http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/aa/

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke