Dua Aspek Supersemar

Rabu, 10 Maret 2010 - 12:46 wib

Setelah 44 tahun dikeluarkan Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar), kasus 
ini masih menyimpan misteri. Teks aslinya belum terdapat pada Arsip Nasional 
Republik Indonesia (ANRI) sedangkan proses mendapatkan surat itu semakin jelas.

Dokumen otentik dan cara memperolehnya dapat diibaratkan dua sisi mata uang 
berbeda tetapi tidak dapat dipisahkan. Kedua aspek itu seyogianya diulas secara 
berimbang. Dokumen Supersemar yang ada pada Arsip Nasional Republik Indonesia 
terdiri dari beberapa versi. Namun, sesungguhnya perbedaan antarnaskah, 
misalnya mengenai tempat penandatanganannya apakah Jakarta atau Bogor, tidaklah 
mengubah substansinya. Demikian pula jumlah halaman surat perintah tersebut, 
satu atau dua halaman, itu hanya soal teknis. Yang penting dipahami bahwa awal 
1966 itu tampaknya belum ada mesin fotokopi di lingkungan Kostrad.

Dengan demikian, surat itu distensil atau dengan kata lain diketik ulang. Bila 
demikian halnya, maka tidak aneh jika terdapat berbagai perbedaan. Bahkan, 
pernyataan Ben Anderson bahwa Supersemar itu tertulis dalam kertas surat dengan 
kop MBAD juga masuk akal. Boleh jadi surat tersebut diketik ulang oleh seorang 
staf MBAD dengan kertas surat resmi yang berlogo AD. Pada masa itu pengetikan 
surat biasanya dilakukan dengan memakai kertas karbon (lembar di bawah karbon 
disebut tindasan). Dua nama pernah disebut sebagai pengetik surat itu yakni 
Komandan Cakrabirawa Brigjen Sabur dan Asisten I Intelijen Resimen Cakrabirawa 
Letkol Ali Ebram.

Mana yang benar? Mungkin saja keduanya karena surat itu diketik minimal dua 
kali yakni draf dan surat asli. Jenderal M Jusuf adalah salah seorang pelaku 
sejarah keluarnya Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) 1966. Setelah saksi 
lainnya meninggal, maka harapan tertumpu kepada sang jenderal yang pernah 
menjadi panglima ABRI ini. Dia mengatakan bahwa rahasia ini akan terbuka 
setelah dia tiada. Maka penerbitan buku biografi Jendral M Jusuf, Panglima Para 
Prajurit ditunggu masyarakat. Jusuf dalam biografinya mengungkapkan bahwa dia 
memiliki konsep pertama, konsep kedua (setelah dikoreksi Soebandrio dan Chairul 
Saleh), dan tindasan kedua dari surat perintah tersebut. Jadi, surat itu 
diketik dengan menggunakan kertas karbon sehingga selain dari surat asli 
terdapat pula tindasan pertama dan kedua.

Yang asli diserahkan kepada Basuki Rachmat, tindasan pertama dipegang Sabur, 
dan yang kedua diberikan kepada Jusuf. Tindasan pertama dan kedua tidak 
ditandatangani oleh Presiden Sukarno. Seandainya hal ini benar, seyogianya 
keluarga M Jusuf dapat menyerahkan arsip-arsip tersebut kepada Arsip Nasional 
Republik Indonesia (ANRI). Namun, peluncuran buku yang diselenggarakan Wakil 
Presiden Jusuf Kalla dan dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudoyono di Jakarta 
tanggal 10 Maret 2006 menjadi semacam antiklimaks karena setelah itu Djoko 
Utomo Kepala ANRI menyatakan keraguannya terhadap keotentikan surat yang 
menggunakan logo Garuda Pancasila itu.

Menurut Djoko Utomo, surat yang dikeluarkan Presiden RI tanggal 11 Maret 1966 
itu berlambangkan Padi-Kapas seperti pada undang-undang yang ditandatangani 
oleh presiden. Sedangkan lambang Garuda Pancasila digunakan oleh 
menteri/departemen. Masalahnya apakah di Istana Bogor selalu tersedia kertas 
surat yang berkop Padi-Kapas ini karena biasanya surat-surat resmi presiden 
dikeluarkan di Jakarta. Meskipun dokumen asli Supersemar itu belum ditemukan, 
toh beberapa versi yang ada sudah mengungkapkan substansi dari perintah 
tersebut.Yang jadi masalah bahwa ada bagian-bagian dari surat perintah itu yang 
tidak dijalankan Soeharto. Soeharto tidak melaporkan hasil pekerjaannya kepada 
Presiden Soekarno.

Aspek kedua yaitu proses memperoleh surat tersebut yang perlu dijelaskan kepada 
masyarakat terutama kepada para siswa. Surat itu diberikan bukanlah atas 
kemauan dan keinginan Presiden Soekarno. Beliau menulis surat itu di bawah 
tekanan. Tiga Jenderal datang ke Istana Bogor untuk meminta surat tersebut. 
Sebelum berangkat ke Bogor ketiga perwira tinggi itu terlebih dahulu berunding 
dengan Soeharto di rumahnya di Jalan Haji Agus Salim, Jakarta. Tekanan yang 
diberikan kepada Presiden Soekarno tergambar dalam kesaksian yang ditulis 
Soebandrio.

Ketika surat itu dimanfaatkan untuk membubarkan PKI esok harinya (bahkan surat 
pembubaran partai komunis nomor tiga terbesar di dunia itu dikeluarkan Soeharto 
atas nama Presiden Soekarno dini hari tanggal 12 Maret 1966) terkesan bahwa 
Supersemar memang sengaja dipersiapkan untuk itu. Keputusan tersebut 
memperlihatkan bahwa Soeharto telah berani menantang Presiden Soekarno. Dengan 
kata lain, setelah keluarnya Supersemar secara de facto kekuasaan telah beralih 
dari tangan Presiden Soekarno kepada Soeharto.

Supersemar Diberikan di Bawah Tekanan

Tanggal 9 Maret 1966 malam Hasjim Ning dan M Dasaad, dua pengusaha yang dekat 
dengan Presiden Soekarno, diminta oleh Asisten VII Men/ Pangad Mayjen Alamsjah 
Ratu Perwiranegara untuk juga membujuk Presiden Soekarno agar menyerahkan 
kekuasaan kepada Soeharto.

Jelas upaya ini sepengetahuan Letjen Soeharto. Keduanya kemudian mendapat surat 
perintah yang ditandatangani sendiri oleh Men/ Pangad Letjen Soeharto yang 
menyatakan bahwa mereka adalah penghubung antara Presiden Soekarno dan Men/ 
Pangad. Keduanya berhasil bertemu dengan Presiden Soekarno pada 10 Maret 1966 
di Istana Bogor. Hasjim Ning menyampaikan pesan tersebut. Presiden Soekarno 
menjadi marah dan melempar asbak kepadanya sambil berkata: “Kamu juga sudah 
pro- Soeharto!” Dari sini terlihat bahwa usaha membujuk Soekarno telah 
dilakukan, kemudian diikuti dengan mengirim tiga orang jenderal ke Istana 
Bogor. Sementara itu mantan Kepala Staf Kostrad Kemal Idris mengajukan satu 
kalimat.

Katanya, ”Kalau saya tarik pasukan itu dari Istana, Presiden Soekarno tidak 
akan lari, kan?” Dengan kata lain, dia ingin mengatakan, kalau ”pasukan liar” 
yang berada di bawah komandonya ditarik dari sekeliling Istana belum tentu ada 
Supersemar. Seperti diketahui, Brigjen Kemal Idris pada waktu itu mengerahkan 
sejumlah pasukan dari Kostrad dan RPKAD untuk mengepung Istana. Tujuan utamanya 
adalah menangkap Dr Soebandrio yang ditengarai bersembunyi di kompleks Istana. 
Memang pasukan-pasukan itu mencopot identitas mereka sehingga tidak 
mengherankan Komandan Tjakrabirawa Brigjen Sabur melaporkannya sebagai ”pasukan 
tidak dikenal” kepada Presiden Soekarno.

Sebetulnya banyak faktor yang terjadi sebelum tanggal 11 Maret 1966 yang semua 
menjadikan semacam ”tekanan” yang berfokus terhadap Presiden Soekarno. Dan 
puncak dari tekanan itu datang dari ketiga jenderal di atas. Bila tidak ada 
demonstrasi dan pasukan tak dikenal yang mengepung Istana di Jakarta tentu 
peristiwa keluarnya Supersemar di Bogor tidak terjadi.(*)

Asvi Warman Adam
Sejarawan LIPI

http://suar.okezone.com/read/2010/03/10/58/311128/dua-aspek-supersemar

 
http://herilatief.wordpress.com/
http://akarrumputliar.wordpress.com/
http://sastrapembebasan.wordpress.com/


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke