ABRAHAH heran bukan kepalang. Abdul Muthallib, pembesar Mekah yang menemuinya, 
hanya peduli pada nasib unta yang dirampas penguasa dari negeri Habsyah 
(Ethiopia) itu, bukan nasib Ka'bah yang hendak dihancurkan. Kata Abrahah, 
"Mengapa kamu hanya peduli pada dua ratus ekor untamu, tapi tak peduli pada 
Bait (Ka'bah) yang merupakan agamamu dan agama moyangmu, yang hendak 
kuhancurkan?" Abdul Muthallib menjawab, "Aku peduli pada nasib unta, karena aku 
pemiliknya, sedangkan Bait itu punya Pemilik yang akan menjaganya." Inilah 
sekelumit dialog yang dikisahkan oleh Ibn Hisyam dalam "Al-Sirah al-Nabawiyah", 
satu di antara biografi tentang Nabi Muhammad yang cukup otoritatif.

Kalau zaman sekarang, Abdul Muthallib mungkin akan dituduh egois, pasif, dan 
"materialistik", hanya peduli pada hartanya, tapi tidak peduli pada agamanya. 
Namun, di balik sikap itu tersimpan iman Abdul Muthallib yang kuat: bahwa Allah 
yang menjaga Ka'bah tidak tidur dan akan bertindak. Benar. Setelah itu, 
datanglah segerombolan burung Ababil yang membawa batu dari neraka dan 
melempari pasukan gajah Abrahah hingga hancur lebur. Tahun itu dikenal sebagai 
Tahun Gajah, tahun kelahiran Nabi Muhammad.

l l l

SAAT ini kita sedang menghadapi uji materi di Mahkamah Konstitusi terhadap 
sebuah undang-undang yang niatnya melindungi agama dari penodaan, yakni 
Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan atau Penodaan 
Agama. Namun niat tak selalu berbanding lurus dengan kenyataan. UU ini dalam 
kehidupan sosial malah ikut menyulut konflik. Contohnya dari rekomendasi 
penting Institute for Culture and Religion Studies (INCReS) dalam "Laporan 
Kebebasan Beragama 2009 di Jawa Barat", yang mendesak pencabutan UU itu. Secara 
normatif UU tersebut dianggap "tidak selaras dengan semangat konstitusi yang 
dengan tegas menjamin hak kebebasan beragama dan/atau berkeyakinan". Melalui UU 
ini juga ditetapkan pasal 156-a dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang 
mengatur ancaman sanksi pidana bagi yang dituduh sebagai "penoda agama".

Melalui temuan INCReS, sepanjang 2009 di Jawa Barat terjadi 10 kasus 
pelanggaran kebebasan beragama yang dilakukan oleh aparatus negara, dan 35 
kasus intoleransi dan diskriminasi berdasarkan agama dan keyakinan yang 
dilakukan oleh organisasi massa garis keras yang memakai "jubah Islam". Dalam 
aksi-aksi kekerasan ditemukan, UU itu dipakai sebagai dalih pembenar untuk 
menyesatkan, menyapu, hingga menangkap individu dan kelompok yang dituding 
menodai agama.

Pertanyaannya: mengapa UU ini dianggap mendesak dan darurat untuk dicabut? 
Benarkah agama tidak butuh aturan yang melindunginya? Dari temuan yang sangat 
umum kita mencermati tindakan-tindakan pelanggaran terhadap kebebasan beragama 
atau berkeyakinan malah berlindung di balik UU ini. Karena itu, dugaan yang 
mengatakan pencabutan UU ini akan menyebabkan konflik horizontal dalam 
masyarakat merupakan kekeliruan yang berlawanan dengan fakta sosial. Yang 
terjadi malah sebaliknya, selama ini konflik horizontal yang beraroma agama 
menggunakan UU ini-khususnya pasal 156-a-sebagai dalih melakukan penyesatan, 
kekerasan, penangkapan, dan penghakiman sepihak. Logika sederhananya: kalau 
tidak ingin konflik horizontal terus terjadi dalam masyarakat, UU Nomor 
1/PNPS/1965 dan pasal 156-a itu harus dihapus (mansukh).

Bagaimana UU tersebut bekerja sebagai pemicu, dalih, dan akhirnya vonis yang 
mengkriminalkan keyakinan? Pertama, dimulai dengan munculnya dugaan pada 
kelompok yang memiliki ajaran yang dianggap bertentangan dengan "keyakinan 
umum". Kelompok ini baik yang ada sejak dulu atau benar-benar baru. Contohnya, 
Syiah dan Ahmadiyah, yang masuk kelompok lama, sedangkan Lia Eden masuk 
kategori baru. Nah, dengan memakai UU dan pasal 156-a itu, kelompok tersebut 
dibidik dari sudut penodaan, bukan melalui sudut perbedaan. Keberadaan kelompok 
"tersangka" ini tidak lagi dipahami sebagai pihak yang keyakinannya dijamin, 
tapi bisa diancam sanksi pidana. Inilah tahap pertama bagaimana UU tersebut 
menyuguhkan cara pandang yang keliru dalam melihat perbedaan ajaran yang 
sebenarnya lumrah terjadi.

Tahap kedua: sebuah kelompok yang telah diidentifikasi sebagai "kelompok 
kriminal" dari perspektif keyakinan akan dimusuhi dan diupayakan untuk 
dilenyapkan. Tahap kedua ini adalah sebuah reaksi tindakan yang ditempuh 
melalui dua cara: pertama, ormas-ormas garis keras akan menindak langsung 
kelompok itu. Tindakan ini ilegal dan kriminal, tapi mereka selalu memakai 
dalih UU yang mengkriminalkan kelompok tersebut. Tak jarang ditambah fatwa 
untuk memperkuat dugaan kriminal. Kelompok "tersangka" pun dihajar dengan 
aturan negara dan fatwa agama.

Cara kedua: ormas garis keras tidak melakukan tindakan langsung, tapi menekan 
aparat pemerintah untuk melakukan tindakan kekerasan. Dalam konteks ini, aparat 
negara biasanya mengambil sikap yang paling "aman" dan "nyaman", karena ormas 
garis keras biasanya mengancam akan melakukan tindakan langsung kalau aparat 
tidak turun. Maka, dalam dugaan aparat, lebih baik menciduk kelompok yang kecil 
dan lemah daripada melawan ormas yang biasanya datang bergerombol dan tak ragu 
melakukan kekerasan. Di sini aparat negara bukan pelindung bagi warga negara 
dan kelompok minoritas, melainkan aparatus ormas garis keras yang 
mengatasnamakan mayoritas. Maka jangan heran kalau aparat negara menempati 
posisi tertinggi dalam pelanggaran kebebasan beragama, seperti yang dilaporkan 
INCReS.

Tahap ketiga: perbedaan agama dan keyakinan itu diseret ke pengadilan, dan 
ujung-ujungnya vonis pidana bagi terdakwa. Kerap kali saksi ahli yang 
dihadirkan ke pengadilan adalah mereka yang juga memulai, melaporkan, atau 
terlibat dalam tindakan kekerasan terhadap kelompok yang dianggap menyimpang 
itu.

|||

Saya masih terheran-heran dengan tuntutan bahwa agama harus dilindungi oleh 
sebuah peraturan dari negara. Bagi saya, tuntutan ini bersumber dari iman yang 
krisis dan penuh dengan ketakutan: agamanya takut ternoda, rusak, atau bahkan 
punah. Tuntutan ini berlawanan dengan klaim absolut mereka tentang agama 
mereka, yang katanya sempurna, abadi, dan tak lekang oleh zaman. Mereka 
mengakui agama mereka sempurna, tapi tanpa sadar mengakui pula agama mereka 
bisa dinodai dan dikurangi.

Saya adalah bagian dari umat yang menegaskan bahwa agama, kepercayaan, dan 
keimanan yang kami miliki tidak akan bisa dinodai oleh siapa pun dan kapan pun. 
Apalagi agama yang dimaksudkan adalah agama yang telah berusia tak hanya 
ratusan tapi ribuan tahun, agama yang telah matang, dewasa, dan kenyal 
menghadapi tantangan.

Saya juga tak menafikan kelompok atau individu seperti cerita Abrahah, yang 
ingin "memusnahkan" agama. Kadang mereka memiliki alasan yang bisa dimengerti: 
menurut mereka, sikap permusuhan pada agama muncul karena agama sering 
disalahgunakan untuk menebarkan kebencian dan kekerasan. Kalau boleh, saya 
ingin mengambil tamsil agama dengan lautan. Apakah seseorang atau kelompok yang 
ingin mengencingi lautan berhasil menodai kemurnian lautan?

Untuk menyikapi kelompok atau individu yang berbuat jahat dengan membawa agama, 
yang bisa ditindak adalah perbuatan mereka, bukan keyakinan mereka. Seseorang 
yang menyembah batu, atau meyakini barang pusaka atau jimat bertuah, tidak bisa 
dikriminalkan karena keyakinan itu. Tapi mereka bisa ditangkap kalau memakai 
batu sembahan, pusaka, dan jimat mereka untuk mencelakakan orang lain.

Bagi saya, episode yang pernah "menodai" lautan dengan "limbah"-nya yang 
terbesar adalah modernisme. Periode ini dimulai dengan sikap ingkar terhadap 
apa yang berasal dari (doktrin) agama, yang akhirnya bisa membuktikan bahwa 
kemajuan bisa lahir tanpa campur tangan formal agama. Pertanyaannya: apakah 
agama lantas mati? Justru agama berkembang sangat pesat. Agama sebagai spirit 
tetap berfungsi seperti ulasan Max Weber, yang menyatakan pengaruh etika 
Protestan dalam kapitalisme, tapi bukan doktrin formal Protestan. Di Amerika 
kita sering memperoleh laporan tentang kebangkitan Kristen. Dan akhir abad 
ke-20 hingga awal abad ke-21 sering dipahami sebagai kebangkitan semua agama di 
dunia, dari agama-agama besar hingga ajaran spiritual.

Agama juga bukan seperti satwa liar yang hutannya telah punah sehingga harus 
dilindungi. Bukan pula seperti candi, kuil, dan bangunan kuno lainnya yang 
kehilangan daya sihirnya sehingga tidak dipedulikan, maka perlu dirawat secara 
khusus dalam "cagar alam" dan "cagar budaya" yang dijamin oleh peraturan. 
Padahal agama terus hadir dalam kehidupan ini, lembaga-lembaga keagamaan: 
pendidikan, pesantren, syiar, penerbitan, ormas, film, musik, dan lain-lain 
semakin tumbuh dan tidak menunjukkan perlunya sebuah "cagar agama". Yang perlu 
diwaspadai sebenarnya bukan agama yang bisa dinodai atau akan punah, tapi 
"overdosis" agama yang sering dibawa pada penyebaran kebencian, kekerasan, dan 
terorisme.

Dari penelusuran sejarah ini bisa disimpulkan, agama tak bisa dinodai dan 
dibunuh. Rahasia ketahanan agama ini bukan karena ia dijaga oleh undang-undang 
yang memberikan sanksi pidana kepada kelompok yang dianggap menodainya, 
melainkan karena diberikan kebebasan kepada umat untuk mengembangkan agamanya 
dalam pemikiran, perayaan, dan kebudayaan sehingga agama terus langgeng. Agama 
tak akan punah selama ia kata almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mampu 
bersanding dengan kemaslahatan manusia.

Karena itu, bagi saya, peraturan yang beriktikad-meskipun baik-ingin melindungi 
agama merupakan kesia-siaan. Bahkan peraturan ini telah dijadikan dalih 
pelanggaran. Peraturan itu dijadikan pembenaran bagi seorang saudara untuk 
menikam saudaranya yang lain hanya gara-gara perbedaan agama. Seharusnya 
peraturan itu lebih ditujukan pada perlindungan manusia yang menganut agama, 
bukan pada agama yang menurut keyakinan pemeluknya telah dijamin keabadiannya. 
Seperti Abdul Muthallib, kakek Nabi Muhammad, yang menyerahkan urusan agama 
(Ka'bah sebagai Bait Allah) kepada Pemiliknya.

Mohamad Guntur Romli

Majalah TEMPO Edisi: 04/39, Tanggal: 22 Maret 2010

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2010/03/22/KL/mbm.20100322.KL133053.id.html



      Akses email lebih cepat. Yahoo! menyarankan Anda meng-upgrade browser ke 
Internet Explorer 8 baru yang dioptimalkan untuk Yahoo! Dapatkan di sini! 
http://downloads.yahoo.com/id/internetexplorer

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke