Bismilahirrahmanirrahiim
Our future society is free society and all element of oppression,cruelty and 
force will be destroyed, and justice for all,non discrimination. Prosperity for 
all.

Saya sangat sependapat dgn artikel dibawah ini,mari simak..

Oleh Luthfi Assyaukanie

Sebagian dari sekte dan mazhab itu dianggap sesuai dengan mainstream, sebagian 
lagi dianggap menyimpang. Tapi, penilaian cocok dan tidak cocok, menyimpang dan 
tidak menyimpang sangat subyektif, tergantung siapa yang mengatakannya dan 
dalam posisi apa dia mengatakan. Jika yang mengatakannya adalah kelompok agama 
yang dekat dengan kekuasaan, maka sudah pasti sekte atau mazhab yang dianggap 
sesat akan bernasib sial. Mereka akan dikucilkan dan tidak jarang dimusuhi dan 
dikejar-kejar. Sejarah Islam memiliki contoh yang sangat kaya tentang masalah 
ini.

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Majelis Hakim Yang Mulia,

Izinkan saya menjelaskan posisi saya dan mengapa saya bersedia menjadi salah 
seorang tim ahli dalam persidangan Uji Materil UU No 1/PNPS/1965 ini. Saya 
seorang dosen yang menekuni kajian filsafat dan pemikiran keagamaan. Seluruh 
karir akademis saya, saya fokuskan untuk mengkaji dan mengajar tentang studi 
agama-agama, khususnya Islam. Ketika diminta menjadi salah satu tim ahli dalam 
persidangan Uji Materil ini, saya menyanggupinya, karena, seperti pandangan 
banyak orang, saya meyakini bahwa UU No 1/PNPS/1965 itu bermasalah.

Ada beberapa persoalan yang dimunculkan dari UU ini yang berdampak bagi 
kehidupan sosial dan politik di negara kita. Kita semua tahu bahwa setiap 
aturan pada dasarnya dibuat untuk kebaikan bersama, namun jika peraturan itu 
melukai rasa keadilan, bersifat diskriminatif, dan berpotensi memicu ketegangan 
di dalam masyarakat, maka sudah selayaknya aturan semacam itu ditinjau ulang. 
Memelihara sebuah UU yang diskriminatif dan berpotensi memicu ketegangan di 
tengah masyarakat hanya akan menyulitkan ikhtiyar kita untuk memperbaiki 
kondisi negeri ini.

Saya memandang bahwa UU No 1/PNPS/1965 melukai rasa keadilan sebagian orang. 
Menangkap dan memenjarakan seorang karena alasan orang itu menganut agama 
tertentu dan meyakini keyakinan tertentu yang dianggap menyimpang adalah 
tindakan yang keji dan bertentangan dengan semangat konstitusi kita yang 
jelas-jelas melindungi keyakinan setiap orang (Pasal 29). Negara kita bukanlah 
negara agama yang sibuk menilai iman dan keyakinan seseorang. Iman dan 
keyakinan adalah urusan individu setiap orang di mana negara tidak dibenarkan 
untuk ikut campur.

Konstitusi kita jelas-jelas melindungi semua agama, tanpa terkecuali. Tidak ada 
pembatasan jumlah agama atau jumlah aliran dan sekte. Setiap agama dan sekte 
dilindungi untuk tumbuh dan berkembang, baik agama-agama impor/pendatang 
(seperti Islam dan Kristen) maupun agama-agama atau keyakinan lokal (kabatinan, 
kejawen, dll). Setiap upaya untuk membatasi jumlah agama atau untuk melarang 
suatu agama berkembang adalah satu bentuk penodaan terhadap UUD. Bagi saya, 
penodaan terhadap UUD tidak kalah seriusnya dibanding penodaan agama.

Penjelasan UU No 1/PNPS/1965 menyebutkan 6 agama utama (yakni Islam, Kristen, 
Katolik, Hindu, Budha, dan Khong Hu Cu) dan 4 agama lainnya (yakni Yahudi, 
Zaratustrian, Shinto, dan Thaoism) sebagai benchmark (standar) untuk mengukur 
apakah suatu agama bisa diterima untuk hidup di negeri ini atau tidak. Jika 
sebuah agama dinilai tidak sejalan (menyimpang) dari ke-10 agama yang 
disebutkan itu, maka pemeluknya dapat ditangkap dan dipenjara. Aturan semacam 
ini jelas-jelas bersifat diskriminatif dan menodai rasa keadilan.

Majelis Hakim Yang Mulia,

Saya berpendapat, setiap agama berhak memiliki pandangan tertentu tentang agama 
lain. Saya tidak keberatan jika MUI mengeluarkan fatwa sesat terhadap agama 
lain, atau KWI menyatakan ada penyimpangan dalam sebuah denominasi kekristenan. 
Sudah menjadi karakter agama sejak lama bahwa mereka saling menganggap sesat 
satu sama lain. Kristen memandang agama Islam sesat, Islam memandang agama 
Yahudi sesat. Orang-orang Syi'ah memandang pengikut Sunni sesat, dan 
orang-orang Sunni menganggap kaum Khawarij sesat.

Ketika agama Kristen muncul di Palestina pada paruh pertama abad ke-1 M, 
orang-orang Yahudi menganggapnya sebagai aliran sesat. Ketika Islam muncul di 
Arabia pada abad ke-6 M, Gereja Timur mengeluarkan dekrit bahwa agama yang 
dibawa Nabi Muhammad itu sebagai sekte sesat. Pola muncul dan berkembangnya 
agama hampir selalu sama. Setiap kemunculan agama selalu diiringi dengan 
ketegangan dan tuduhan yang sangat menyakitkan dan seringkali melukai rasa 
kemanusiaan kita.

Ketika kanjeng Rasul Muhammad SAW mendaku sebagai nabi, masyarakat Mekah tidak 
bisa menerimanya. Mereka menuduh Nabi sebagai orang gila dan melempari beliau 
dengan kotoran unta. Para pengikut Nabi dikejar-kejar, disiksa, dan bahkan 
dibunuh (seperti yang terjadi pada Bilal bin Rabah dan Keluarga Amar bin 
Yasar). Para rasul sebelum Nabi Muhammad juga mengalami perlakuan sama ketika 
mereka mengaku sebagai utusan Allah. Jika tidak disakiti, paling tidak mereka 
dicemooh atau ditertawakan.

Hal serupa bisa terjadi pada siapa saja yang mengaku sebagai nabi. Contoh 
paling nyata yang ada di sekitar kita adalah Lia Aminuddin, seorang ibu paruh 
baya yang tiba-tiba mengaku sebagai nabi dan kemudian sebagai malaikat Jibril. 
Orang menganggap Lia telah gila dan sebagian mereka mendesak pemerintah agar 
menangkap dan memenjarakannya. Kesalahan Lia Aminuddin persis sama seperti 
orang-orang sebelumnya yang mengaku sebagai Nabi: meyakini suatu ajaran dan 
berusaha menyebarluaskannya.

Saya tidak terlalu peduli kalau ada suatu lembaga agama mengeluarkan fatwa 
sesat tentang suatu agama atau aliran tertentu. Itu hak mereka untuk 
melakukannya. Yang menjadi persoalan adalah jika negara atau pemerintah ikut 
campur dan memihak dalam persoalan yang rumit ini. Atas dasar apa negara 
melindungi agama tertentu dan mengabaikan agama lainnya? Atas dasar apa negara 
memenjarakan pemeluk agama tertentu dan membebaskan pemeluk agama lain 
menjalankan keyakinannya? Atas dasar apa negara mengkriminalisasi sebuah agama 
atau sebuah aliran?

Saya jadi teringat kata-kata Karl Popper, filsuf Inggris, yang mengatakan: 
"Negara adalah suatu kejahatan yang tak terhindarkan: kekuasaannya tidak boleh 
dilipatgandakan melebihi apa yang diperlukan." Terlalu banyak yang harus diurus 
oleh negara. Lebih baik negara mengurus kesejahteraan rakyat, memberantas 
korupsi, dan mengentaskan kemiskinan, ketimbang ikut campur mengurus iman dan 
keyakinan setiap orang. Negara hanya akan menumpuk daftar kejahatannya jika dia 
memenjarakan seorang warga hanya karena keyakinannya.

Majelis Hakim Yang Mulia,

Persoalan utama dari UU No.1/PNPS/1965 adalah bahwa negara ikut campur terlalu 
jauh dalam urusan agama. Idealnya negara tidak boleh ikut campur dalam urusan 
agama. Tapi, karena alasan sejarah, negara kita terlanjur memiliki hubungan 
yang kompleks dalam persoalan ini. Bahwa negara mengakomodasi agama adalah 
bagian dari realitas politik yang kita miliki, tapi jika negara ikut campur 
menentukan mana agama yang benar dan mana agama yang salah, saya kira, negara 
telah masuk ke dalam urusan yang bukan wilayahnya.

Bahwa negara bertanggungjawab menjaga stabilitas dan kedamaian masyarakat, itu 
sudah menjadi kewajibannya. Tapi, jangan atas nama ketertiban dan menjaga 
stabilitas, negara secara semena-mena memenjarakan orang. Saya menganggap bahwa 
memenjarakan seseorang karena alasan "keyakinan berbeda" sebagai sebuah 
tindakan semena-mena dan zalim.

Pasal 1 UU No.1/PNPS/1965 melarang setiap orang menceritakan, menganjurkan, dan 
menafsirkan sesuatu yang "menyimpang" dari pokok-pokok ajaran agama yang dianut 
di Indonesia. Saya tidak habis pikir, apa yang ada dalam pikiran para pembuat 
UU ini. Seluruh sejarah agama adalah sejarah penafsiran. Islam bermula dari 
sebuah ajaran yang sederhana. Penafsiran-penafsiranlah yang membuatnya menjadi 
kaya dan kompleks seperti sekarang ini. Penafsiran-penafsiranlah yang mendorong 
munculnya ratusan sekte dan mazhab dalam Islam.

Sebagian dari sekte dan mazhab itu dianggap sesuai dengan mainstream, sebagian 
lagi dianggap menyimpang. Tapi, penilaian cocok dan tidak cocok, menyimpang dan 
tidak menyimpang sangat subyektif, tergantung siapa yang mengatakannya dan 
dalam posisi apa dia mengatakan. Jika yang mengatakannya adalah kelompok agama 
yang dekat dengan kekuasaan, maka sudah pasti sekte atau mazhab yang dianggap 
sesat akan bernasib sial. Mereka akan dikucilkan dan tidak jarang dimusuhi dan 
dikejar-kejar. Sejarah Islam memiliki contoh yang sangat kaya tentang masalah 
ini.

Ketika kaum Mu'tazilah berkuasa pada abad ke-9 M, seluruh mazhab dan sekte yang 
tak sejalan dianggap sesat dan dimusuhi. Majelis Ulama Mu'tazilah (semacam MUI 
sekarang) membangun satu lembaga inkuisisi yang disebut "mihnah," di mana orang 
yang memiliki keyakinan berbeda dengan yang disahkan negara ditangkap, disiksa, 
dan dipenjarakan. Para pengikut aliran Sunni paling banyak yang menjadi korban. 
Di antaranya adalah Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri mazhab Hanbali yang sangat 
dihormati. Ibn Hanbal ditangkap, tangan dan kakinya dirantai, dan dipenjarakan 
karena meyakini sesuatu yang tidak diyakini Majelis Ulama Mu'tazilah.

Begitu juga, ketika kaum Sunni berhasil mempengaruhi Khalifah al-Mutawakkil 
(847-861) untuk menjadikan Ahlussunnah sebagai mazhab resmi, semua sekte dan 
mazhab di luar Sunni yang keyakinannya tak sejalan dengan "pokok-pokok ajaran 
agama" yang diakui negara, ditangkapi, diinterogasi, dan diminta bertobat. Jika 
mereka tak mau bertobat, penjara menanti mereka. Mu'tazilah adalah kelompok 
pertama yang menjadi korban balas dendam kompetisi antar sekte ini.

Dendam karena agama selalu berdampak sangat buruk. Tidak hanya memusuhi dan 
menangkapi kaum Mu'tazilah, kaum Sunni di bawah Khalifah al-Mutawakkil juga 
memperluas permusuhannya kepada orang-orang non-Muslim. Selama pemerintahannya, 
kaum Yahudi dan Kristen tak diperbolehkan mendirikan Sinagog dan Gereja. Mereka 
diharuskan mengenakan pakaian yang berbeda dari kaum Muslim pada umumnya 
(persis seperti kebijakan Nazi pada era Hitler). Kaum Yahudi dan Kristen juga 
dilarang menggunakan hewan apapun untuk kendaraan mereka kecuali menggunakan 
keledai.

Sayang sekali pada masa itu belum ada mekanisme Judicial Review atau Uji 
Materil ke Mahkamah Konstitusi. Tentu saja, saat itu belum ada MK dan belum ada 
demokrasi, seperti yang kita miliki sekarang. Siapa yang berkuasa dialah yang 
menentukan hitam-putihnya suatu ajaran. Sesat dan tidak sesat sangat bergantung 
kepada penguasa, menyimpang dan tidak menyimpang tergantung bagaimana 
pemerintah bisa dipengaruhi oleh para ulama yang bernafsu menerapkan satu 
kebenaran yang mereka anut.

Majelis Hakim Yang Mulia,

Kita hidup di zaman modern, di zaman di mana kebebasan dan demokrasi 
memungkinkan kita untuk mengadu jika kita merasakan suatu ketidakadilan dalam 
sebuah aturan atau undang-undang. Tujuan kita mendirikan lembaga semacam 
Mahkamah Konstitusi adalah untuk mengoreksi kalau-kalau suatu produk hukum yang 
dibuat di masa silam tidak lagi sesuai dengan semangat zaman, tidak lagi cocok 
dengan rasa keadilan di mana kita kini semua hidup.

Tampaknya kita harus menyimak lagi apa yang dikatakan Jean-Jacques Rousseau 
dalam karyanya yang terkenal, The Social Contract. Rousseau menegaskan bahwa 
"manusia harus diperlakukan sebagaimana dia, sementara hukum harus diperlakukan 
sebagaimana baiknya." Bukan manusia yang mengikuti hukum, tapi hukumlah yang 
harus menyesuaikan diri dengan perkembangan dan dinamika manusia.

Ketika tokoh-tokoh terhormat yang selama ini dikenal sebagai pejuang demokrasi 
dan HAM, seperti almarhum KH Abdurrahman Wahid, Prof. Dawam Rahardjo, Prof. Dr. 
Musdah Mulia, dan sejumlah sarjana dan intelektual lainnya, mengusulkan agar UU 
No.1/PNPS/1965 ditinjau ulang, saya kira niat mereka sangat baik: bukan untuk 
kepentingan mereka sendiri, tapi untuk kepentingan bangsa ini ke depan. Jika 
mereka melihat bahwa UU itu tidak bermasalah, untuk apa dipersoalkan? Untuk apa 
mereka dan kita semua menghabiskan waktu dan energi berminggu-minggu membahas 
sesuatu yang tak bermasalah? Jelas, ada masalah serius dengan UU ini. Dan 
karena itu semua, kita berada di sini, mendiskusikannya dan mengujinya, untuk 
kebaikan bangsa ini, untuk kebaikan kita semua.

Saya tidak sependapat dengan orang-orang yang mengatakan bahwa absennya UU 
semacam ini bakal memunculkan kerisauan atau kekacauan. Sebaliknya, saya 
berpandangan bahwa UU inilah yang selama ini mendorong kekacauan dan ketegangan 
di tengah umat beragama. Lihatlah setiap kasus yang ditengarai sebagai kasus 
"penodaan agama." Siapa yang membuat rusuh? Siapa yang membuat onar? Dan siapa 
yang membuat kekacauan? Bukan Lia Aminuddin (pendiri Salamullah), bukan Ardi 
Husein (penulis buku Menembus Gelap Menuju Terang), bukan Sumardin (pelaku 
shalat bersiul), dan bukan Yusman Roy (penganjur shalat dua bahasa). Kekacauan 
dan onar selalu dilakukan oleh sekelompok orang yang merasa absah melakukan 
tindakan brutal itu karena didukung UU No.1/PNPS/1965.

Saya juga tidak sependapat dengan orang-orang yang mengatakan bahwa keberadaan 
UU itu telah menciptakan kerukunan umat beragama di negara kita. Siapa bilang 
kita negeri yang bebas dari persekusi agama? Siapa bilang kita negeri toleran 
yang menghormati kebebasan beragama setiap orang? Simaklah laporan-laporan dan 
index kebebasan beragama yang diterbitkan oleh lembaga-lembaga berpengaruh 
semacam Freedom House atau Hudson Institute. Dalam daftar mereka, Indonesia 
selalu menempati urutan teratas dalam hal pelanggaran terhadap kebebasan 
beragama. Selama kelompok mayoritas merasa memiliki landasan hukum untuk 
membubarkan atau menutup suatu sekte atau mazhab yang tidak sesuai dengan 
keyakinan mereka, selama itu pula kita kesulitan memperbaiki indeks kebebasan 
beragama yang kita miliki. Kita disorot dunia dan diberi rapor merah setiap 
tahun.

Kita hidup di zaman modern. Negara-negara yang maju tidak lagi mengurusi soal 
iman seseorang. Negara harus memberi kebebasan bagi setiap orang menyembah atau 
memeluk keyakinan apapun. Satu-satunya alasan bagi negara untuk menangkap dan 
mengadili penganut agama adalah jika sang penganut itu melakukan tindak 
kekerasan atau jelas-jelas membuat onar di tengah masyarakat. Jika seseorang 
menganut keyakinan tertentu, menafsirkannya, dan menyebarluaskannya, sesuai 
dengan seleranya, negara harus menghormati dan melindunginya. Tidak boleh ada 
penangkapan atas nama iman dan keyakinan seseorang.

Akhirnya, saya ingin mengajak kita semua untuk berendah hati dan berprasangka 
baik. Kita hadir di sini bukan untuk mempertontonkan kekuasaan atau kekuatan, 
tapi untuk mencari solusi buat kehidupan kita yang lebih baik ke depan. 
Almarhum KH Abdurrahman Wahid dan beberapa tokoh terhormat lainnya telah 
bersusah-payah mengusulkan agar UU ini ditinjau ulang, sekali lagi, bukan untuk 
kepentingan mereka, tapi untuk kepentingan kita semua, untuk kepentingan bangsa 
ini.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Disampaikan pada sidang Judicial Review, Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 17 
Februari 2010.


Kirim email ke