http://www.lampungpost.com/buras.php?id=2010041901404416

 
      Senin, 19 April 2010 
     

      BURAS 
     
     
     

Budaya Massa Dirampas Elite!


       
      "REFORMASI itu budaya massa!" ujar Umar. "Ia ditegakkan oleh aksi massa 
mahasiswa melawan rezim Orde Baru yang memuncak sepanjang awal 1998. Proses 
klimaks dimulai Tragedi Trisakti 12 Mei, gugurnya sejumlah mahasiswa! Ini 
memicu amuk massa, rakyat merusak, membakar, dan menjarah dalam kerusuhan 13-15 
Mei, yang berakibat negara chaos! Kulminasi tercapai saat lebih seperempat juta 
mahasiwa dengan aneka warna jaket almamater berhimpun di gedung DPR-MPR 
Senayan, hingga Soeharto terpaksa meletakkan jabatan pada 20 Mei!"

      "Ciri reformasi sebagai gerakan aksi massa bukan monopoli Ibu Kota!" 
sambut Amir.

      "Di daerah-daerah--tanpa kecuali Lampung--amuk massa merusak dan membakar 
simbol kekuasaan Orde Baru bahkan berlarut-larut! Termasuk menjadi sasarannya, 
sejumlah mapolsek--wujud fisik kekuasaan yang terdekat dengan rakyat!"

      "Begitulah, hingga di daerah-daerah reformasi lebih identik dengan amuk 
massa yang mudah tersulut oleh masalah sepele, sampai kebiasaan membakar 
hidup-hidup maling!" timpal Umar.

      "Namun, reformasi yang beresensi budaya massa itu kemudian dimanipulasi 
elite saat menyusun kembali kehidupan bernegara yang justru sangat elitis! 
Berkutat di balik simbol masyarakat madani (civil sosiety), amendemen 
konstitusi dan produk UU keturunannya lebih berorientasi kepentingan elite! 
Reformasi sebagai hasil perjuangan rakyat dan mahasiswa dengan budaya massa itu 
telah dirampas elite untuk memuaskan kepentingan mereka--lebih sempit lagi, 
kepentingan parpol!"

      "Hal itu menonjol sekali dalam aturan rekrutmen pemimpin lembaga 
pemerintahan dari pusat sampai daerah yang hanya bisa diikuti (kader) partai 
politik--belakangan dominasi ini dikoreksi Mahkamah Konstitusi--MK!" tegas Amir.

      "Lebih jauh lagi, elite politik membangun kekuatan-kekuatan tandingan 
untuk mengalahkan budaya massa sebagai esensi reformasi yang telah mereka 
rampas--berupa organisasi massa beratribut paramiliter di bawah partai! Elite 
pemerintahan membangun Polisi Pamong Praja (Pol. PP), yang besarnya jauh dari 
kebutuhan sebenarnya!"

      "Masalahnya, apakah dengan segala kelicikan elite itu budaya massa 
sebagai esensi reformasi bisa benar-benar dieliminasikan?" timpal Umar. "Dari 
berbagai peristiwa, dari perlawanan rakyat Koja, Cina Benteng Tangerang, sampai 
bentrokan massa lawan Pol. PP (dan polisi) yang nyaris setiap hari diberitakan 
televisi, terbukti budaya massa masih tetap hidup! Tepatnya, budaya massa 
merupakan sesuatu yang tetap ada dan tetap hidup sekalipun telah dirampas oleh 
elite!" ***

      H. Bambang Eka Wijaya
     


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke