Message of Monday – Senin, 19 April 2010
Generasi Daring 
Oleh: Sonny Wibisono *

"Siang malamku selalu menatap layar terpaku untuk online online online online."
-- Saykoji dalam 'Online'

AKHIR pekan silam Bimo sengaja membawa pekerjaan kantor ke rumah. Senin ada 
rapat penting. Dia harus siap dengan presentasi di depan bos besarnya. Namun 
jangankan bisa bekerja. Dia malah diganjal kesal tapi dia tidak bisa berbuat 
apa-apa.
 
Riri, anak terbesarnya menguasai laptopnya. Kebetulan, komputer di rumahnya 
memang sedang rusak. Si putri sulung yang duduk di bangku kelas tiga sekolah 
dasar itu asyik bercengkerama dengan teman-teman sekolah di situs jejaring 
sosial facebook. Apes, Riri tak kenal waktu. Namun Bimo juga tak bisa 
membujuknya. Dia tak mau mengecewakan anaknya.
 
Meski akhirnya Bimo berhasil menyelesaikan tugasnya. Namun dia masih merasa 
kesal dengan kelakuan anaknya. Di kantor saja dia tidak begitu suka bila 
melihat rekan kerjanya yang lebih banyak menghabiskan waktunya dengan membuka 
berbagai situs jejaring sosial. Membuka situs tersebut boleh-boleh saja, tapi 
kenapa harus seharian? Begitu pikir Bimo.
 
Aneh memang. Kebanyakan temannya itu mengobrol atau memberikan komentar status 
rekannya yang tak lain teman satu kantor juga. Bimo geleng-geleng kepala. 
"Kayak enggak ada pekerjaan saja." ledek Bimo ke rekan kerjanya.

Beragam situs jejaring sosial memang merambah Indonesia, sebut saja: Facebook, 
Twitter, MySpace, Multiply, Plurk, Hi5, dan Tagged. Bimo sama sekali tidak anti 
dengan situs jejaring sosial. Dia mengaku banyak bertemu kembali dengan 
teman-teman lamanya tak lain karena situs tersebut. Namun menghabiskan waktu 
seharian hanya untuk itu, ya itu, dia tak setuju. 
 
Demam situs jejaring sosial memang tengah menjadi trend. Paling tidak sejak 
tiga tahun lalu. Lihat saja statistik yang diambil dari Facebook Usage Figures. 
Tercatat pada Juli 2009 saja pengguna facebook di Indonesia naik hampir 3000% 
atau 30 kali lipat dibandingkan bulan yang sama tahun sebelumnya. Luar biasa. 
Itulah data tertinggi di seluruh dunia. 

Ya, aneh betul di zaman kayak gini, istilah anak muda Jakarta, bila tidak 
memiliki akun facebook atau twitter. Banyak artis di sana. Bisa paling dulu 
tahu apa yang dilakukan artis itu ketimbang berita di infotainment. 
 
Para pelaku bisnis pun mencium peluang cantik. Sebuah telepon dibuat online 
sepanjang hari. Paket online atau apa pun namanya laku di pasaran. Masyarakat 
pada akhirnya tercipta ketergantungannya pada situs jejaring sosial itu. Itulah 
yang membuat Bimo tak habis pikir.
 
Sampai akhirnya, di sebuah siang yang panas. Jalanan macet luar biasa. Bimo dan 
temannya mendapatkan tugas untuk bertemu dengan calon kliennya, hampir saja 
ikut terjebak dalam kemacetan itu kalau saja dia tidak menuruti perintah 
temannya itu.
 
Awalnya, dia tidak setuju dengan perintah itu. Apalagi setelah tahu info soal 
kemacetan itu didapatkan dari jejaring sosial twitter. Ah, ngawur, kata Bimo, 
sambil memindahkan saluran radio yang kerap mengabarkan situasi lalu lintas di 
Jakarta. Tapi kabar di radio untuk mengetahui kebenaran berita tersebut tak 
kunjung ia temukan.
 
Dari mulut si teman itu pula mengalir berbagai info yang belum Bimo ketahui. 
Tragedi Priok berdarah pertengahan April lalu misalnya. Para tweep, istilah 
bagi para pengguna twitter, yang tidak menonton televisi dan yang berada di 
luar negeri, mengetahui dari menit ke menit peristiwa Priok berdarah. Termasuk 
juga berita meletusnya Gunung Eyjafjallajokull di Islandia, yang menyebabkan 
hampir semua penerbangan di Eropa terganggu.
 
Zaman sekarang adalah masanya daring (online) atau dalam jaringan. Perusahaan 
sekelas Starbucks, Dell, dan lainnya memanfaatkan layanan mikro blogging 
twitter untuk mengetahui apa yang dipikirkan oleh pelanggan mengenai produk 
mereka sehingga menjadi bahan masukan yang berharga.
 
Dinas Rahasia Inggris, MI-5 bahkan akan memecat agennya yang tidak melek 
facebook dan twitter. Hal ini mengingat, seperti dikutip harian Daily Mail awal 
bulan ini, penggunaan situs jejaring sosial seperti facebook dan twitter oleh 
para teroris dalam melancarkan aksinya kian meningkat. MI-5 bahkan berencana 
akan membuka rekrutmen dan mencari para lulusan komputer.

Walau tak dituntut seperti agen rahasia Inggris, yang harus mengikuti 
perkembangan di luar dengan seksama, belakangan Bimo menjadi lebih sering 
membuka situs-situs jejaring sosial. Namun dia tetap ingat waktu. Paling tidak, 
bila ia ingin pergi dan pulang dari kantor, ia akan melihat perkembangan lalu 
lintas para tweep melalui perangkat ponselnya. Kalau terjadi peristiwa besar, 
dia pun memelototi perkembangannya. 
 
Dia pun lebih selektif memilih nama-nama dalam list twitternya. Mana yang 
penting atau yang sekadar basa-basi. Mem-follow artis? Dia jengah bila hanya 
membaca tweet si artis yang menceritakan makan bakso.
 
Baginya, online penting, karena segudang manfaat didapatkan, tapi pekerjaan dan 
berkomunikasi langsung dengan orang-orang di sekitarnya jauh lebih memiliki 
urgensi. Betul. Karena kehidupan yang sesungguhnya ada di luar sana, bukan 
terkurung dalam layar komputer.

*) Sonny Wibisono, penulis buku 'Message of Monday', PT Elex Media 
Komputindo, 2009

Lihat edisi lengkap MOM di:
http://www.facebook.com/pages/Message-of-Monday/107053969330621


Kirim email ke