http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2010/04/26/WAW/mbm.20100426.WAW133367.id.html

Maria Farida Indrati:
Sesat Bukan Ranah Negara

Mahkamah Konstitusi menolak permohonan pencabutan Undang-Undang
tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama terhadap
Undang-Undang Dasar 1945, Senin pekan lalu. Dan Maria Farida Indrati
satu-satunya di antara sembilan hakim konstitusi yang memberikan
dissenting opinion.

"Saya terbiasa sendiri," ujarnya. Ia berpendapat Mahkamah seharusnya
mencabut undang-undang produk 1965 itu karena negara tak boleh
mencampuri tafsir sebuah ajaran.

Hakim perempuan pertama di Mahkamah Konstitusi ini juga menyampaikan
pendapat berbeda ketika dilakukan uji materi Undang-Undang Pornografi,
Maret lalu. Ada yang menyebutkan Maria berbeda pendapat mungkin karena
lebih paham kondisi sebagai perempuan yang banyak dibahas dalam undang-
undang tersebut. "Mungkin saja," katanya sambil tersenyum.

Rabu pekan lalu, Maria menerima Nugroho Dewanto, Yandi M. Rofiyandi,
Sutarto, dan fotografer Suryo Wibowo dari Tempo di kantornya, Mahkamah
Konstitusi. Di samping tempat duduknya terdapat kursi roda yang
membawanya ke mana-mana. Cedera akibat terjatuh menjelang Paskah awal
April lalu membuatnya belum bisa menjejakkan kaki.

Apa yang membuat Anda memberikan pendapat berbeda dalam sidang uji
materi Undang-Undang Penodaan Agama?

   Undang-Undang tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan
Agama itu sudah terlalu lama, produk masa lampau di era demokrasi
terpimpin. Undang-undang itu merupakan terobosan atau peraturan yang
dibuat di luar konstitusi, melalui penetapan presiden. Pada 1963-1969,
terdapat 169 penetapan presiden yang berlaku, termasuk soal penodaan
agama.

Bagaimana bisa menjadi undang-undang?

   Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) menyatakan banyak
hal yang tak tepat sehingga harus ada peninjauan kembali terhadap
penetapan presiden. Lalu keluar Ketetapan MPRS Nomor 19 Tahun 1966.
Rupanya, ketetapan itu tak berjalan baik. Kemudian, pada 1968, keluar
Ketetapan MPR Nomor 39 yang menyatakan pelaksanaan ketetapan nomor 19.
Jadi dua ketetapan itu menyatakan perlu peninjauan kembali terhadap
penetapan presiden.

Jadi penetapan presiden tetap berlaku?

   Setelah ketetapan MPR, keluar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969
yang menyatakan beberapa penetapan presiden dan peraturan presiden
menjadi undang-undang. Dalam undang-undang itu terdapat lampiran 2A
dan 2B tentang penodaan agama yang dinyatakan berlaku sebagai undang-
undang. Syaratnya harus diperbaiki, disempurnakan, dan menjadi bahan
pembentukan undang-undang berikutnya.

Mengapa sejak 1969 sampai sekarang tak ada perbaikan?

   Memang tak pernah ada perbaikan dan penyempurnaan. Padahal
penetapan presiden yang berakibat sama telah dihapus, seperti tindak
pidana subversif. Undang-undang subversif dicabut pada era reformasi,
tapi Undang-Undang Penodaan Agama belum.

Apakah Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah sengaja membiarkan?

   Biasanya undang-undang dipakai oleh mereka yang merasa agama ini
atau itu tak benar. Saya menganggap, kalau 40 tahun bertahan, itu
berarti DPR dan pemerintah tak bijaksana. Banyak permasalahan agama,
tapi undang-undang tak melindungi pelaksanaan ibadah agama dan
kepercayaan.

Termasuk diskriminasi karena agama?

   Iya, seperti kesulitan melakukan perkawinan atau memperoleh kartu
tanda penduduk. Setelah meninggal pun masih terjadi diskriminasi.
Penganut kepercayaan sulit mendapat surat kematian. Di Surabaya ada
yang sampai tiga hari belum dikuburkan karena surat kematiannya tak
keluar-keluar.

Undang-undang ini digunakan untuk mendiskriminasi penghayat
kepercayaan dan penganut agama minoritas. Seandainya Soekarno masih
hidup, bagaimana respons beliau?

   Saya kira Bung Karno tak menghendaki itu. Bung Karno tentunya akan
membuat peraturan berbeda. Walaupun peraturan itu berhubungan dengan
agama, pasti dalam bentuk undang-undang. Penetapan presiden itu
sebetulnya materinya undang-undang karena memberikan larangan dan ada
sanksi pidana. Padahal sanksi pidana tak boleh dibuat oleh presiden
sendiri, harus ada DPR.

DPR kok diam saja?

   Secara formal, karena presiden menganggap penetapan itu
diperlukan, maka boleh. Tapi secara material tidak boleh. Di mana pun
peraturan yang memberikan sanksi dan pembebanan kepada seseorang harus
dibicarakan dengan wakil rakyat. Misalnya pajak retribusi, pengurangan
hak asasi manusia dan kemerdekaan seseorang, sehingga harus dipidana.

Apa alasan pemerintah ketika itu mengeluarkan penetapan presiden?

   Pada waktu itu alasannya Nasakom serta banyak aliran yang berusaha
menyatakan diri sebagai aliran keagamaan tapi mengajak orang keluar
dari Ketuhanan Yang Maha Esa. Mereka dianggap mencederai dan tak
sesuai dengan Pancasila. Ada juga aliran yang menafsirkan sendiri tapi
menggunakan kitab salah satu agama, sehingga keluarlah penetapan itu.

Bukankah sekarang masih ada kecenderungan aliran yang menafsirkan
sendiri dan menggunakan kitab salah satu agama?

   Iya. Di pasal 1 dikatakan, kalau seseorang mengemukakan,
menafsirkan sesuatu yang berbeda dengan pokok ajaran agama di muka
umum, dia dianggap menodai agama. Kesimpulan menodai agama atau tidak
itu adalah tafsir. Dalam setiap agama pasti ada yang mengatakan
penafsiran itu. Misalnya Majelis Ulama Indonesia atau Nahdlatul Ulama
dalam Islam, Sinode dalam Protestan dan Katolik. Tapi pada akhirnya
tak boleh memakai tangan negara.

Jadi negara tak boleh ikut campur menyatakan sesat atau tidaknya suatu
ajaran?

   Boleh saja ada fatwa tentang ajaran menyimpang, tapi jangan
meminta negara ikut campur. Misalnya, setelah vonis ajaran sesat,
mereka meminta surat keputusan bersama (SKB) menteri. Sesat atau tidak
itu bukan ranah negara, tapi otoritas masing-masing agama. Beberapa
ahli, misalnya Frans Magnis-Suseno, bahkan mengatakan fatwa sesat
bukan kewenangan manusia. Seolah-olah manusia yang menentukan.

Salah satu dasar pemohon adalah semua warga negara harus diperlakukan
sama?

   Negara memang harus menjamin kemerdekaan seseorang. Dalam ranah
hukum Indonesia, perlindungan terhadap pemeluk agama dan beribadah
menurut agama dan kepercayaan itu sangat kuat. Kalau dulu hanya pasal
29, sekarang ada 28e dan 28i. Hak seseorang dalam tiga pasal itu
menjadi kewajiban konstitusional negara. Jadi, orang melaksanakan
ibadah, memanifestasikan, mengkomunikasikan harus dilindungi negara.

Kenyataannya?

   Kadang-kadang kita tak melihat itu. Misalnya, tahu-tahu ada gereja
atau masjid dibakar. Kewajiban negara melindungi warganya beribadah
dan melaksanakan keyakinan tak dilaksanakan dengan baik.

Undang-Undang Penodaan Agama hanya mengakui enam agama. Bagaimana
dengan orang-orang yang berada di luar itu?

   Sebetulnya undang-undang tak menyebutkan diakui atau tidak. Hanya
mengatakan melanggar pokok ajaran agama. Nah, waktu itu agama
mayoritas hanya enam. Dalam penjelasan undang-undang disebutkan enam
agama yang ada di Indonesia. Di luar itu memang diberi kebebasan, tapi
tak diberi perlakuan sama. Saya menganggap negara tak melindungi yang
lain itu.

Dengan tetap berlakunya undang-undang itu, apakah mungkin akan ada
pembakaran masjid atau gereja lagi dengan alasan menyimpang?

   Tergantung sosialisasi pemerintah dan bagaimana kita memaknai
undang-undang. Sosialisasi pemerintah harus jelas, mana yang boleh dan
mana yang tidak. Sekarang, kalau kita melihat di siaran televisi,
aparat diam saja, bahkan takut.

Apakah ada intimidasi oleh kelompok yang mendukung bertahannya undang-
undang ini?

   Memang kelompok yang tak setuju perubahan ini kita lihat sangat
fanatik. Padahal sebenarnya lebih banyak yang tak fanatik. Mereka
vokal dan berani bertindak. Saya banyak berhubungan dengan teman-teman
muslim, tapi enak saja. Kita bisa berbeda pendapat dan pikiran.

Dalam sidang kemarin, ada yang ribut, berteriak....

   Sebetulnya ditegur oleh ketua. Bahkan, ketika ada yang ribut
memaksa masuk, ketua menghentikan sidang. Beliau meminta semua
mengikuti peraturan. Ketua dan hakim sering terenyak dengan pemaparan
dari saksi.

Apakah banyaknya pendukung yang ingin undang-undang bertahan ikut
mempengaruhi hasil putusan?

   Saya rasa tidak. Perdebatan pleno hakim sangat ramai. Misalnya
soal SKB. SKB itu produk hukum seperti perundang-undangan. Surat
keputusan tentang Ahmadiyah bentuknya keputusan bersama. Di dalamnya
ternyata bukan hanya larangan, tapi mengatur juga. Ini menimbulkan
masalah.

Sebelum 1965, banyak penganut kepercayaan menjadi pegawai negeri,
polisi, dan militer dan tak bermasalah. Dalam upacara mereka tidak
bersumpah, tapi cukup berjanji....

   Kita memiliki landasan kuat terhadap perlindungan aliran
kepercayaan, kebatinan, dan agama kecil. Tapi kenyataannya berbeda.
Misalnya saksi Sardi, penghayat kepercayaan, yang ingin jadi tentara
tapi enggak boleh. Saya terenyuh ketika dia mau disumpah. Begitu
ditanya mau bersumpah bagaimana, dia menjawab Pancasila. Dia grogi
karena melihat semua tak setuju undang-undang ini. Bagi saya, sumpah
itu tak jadi masalah karena dalam Pancasila terdapat Ketuhanan Yang
Maha Esa.

Sepertinya para penganut kepercayaan menjadi bahan ejekan?

   Iya. Bahkan, ketika Ulil Abshar Abdalla hendak bersaksi di sidang,
ditanya, "Mau bersumpah dengan cara Islam?" Bagi saya, seharusnya itu
tak boleh.

Jangan-jangan hakim membuat keputusan karena terhanyut suasana?

   Bisa jadi. Tapi pada dasarnya alasan mereka juga masuk akal.
Misalnya, kalau dicabut, apa penggantinya? Saya sebenarnya tak
mempermasalahkan karena pasal penodaan agama sudah terserap dalam
hukum pidana.

Jadi, kalau undang-undang dicabut, pasal di KUHP masih berlaku?

   Kalau undang-undang dicabut, pasal dalam KUHP itu tak menjadi
masalah. Pasal 156 dan 156a itu menyangkut hatzaai artikelen. Jadi,
kalau melihat ada permusuhan dan penodaan agama, bisa ke situ.

Apa yang membuat Anda juga memberikan dissenting opinion dalam uji
materi Undang-Undang Pornografi?

   Saya melihat Undang-Undang Pornografi tak hanya pasal per pasal,
tapi pada pembentukannya. Sejak rancangan sampai disetujui DPR,
menimbulkan masalah terus. Demonstrasi, dialog, talk show, pawai
budaya, dan lain-lain. Semua mempertanyakan perlu-tidaknya undang-
undang ini. Saya melihat kok negara ini tak punya persatuan lagi.
Pecah karena hal sepele.

Definisi pornografi juga multitafsir?

   Iya, memang disebutkan bahwa pornografi itu ada gambar, foto,
tulisan, dan sebagainya. Tapi kemudian dilanjutkan dengan kalimat
melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Pasal 1 seharusnya
definisi saja. Ketika ditambahkan kalimat tak melanggar norma
kesusilaan, artinya ada batasan atau larangan. Jadi bukan definisi
lagi. Norma kesusilaan juga berhubungan dengan adat dan agama sehingga
ditafsirkan sendiri oleh daerah masing-masing. Nanti di suatu tempat
dinyatakan porno, di tempat lain tidak.

Dua kasus undang-undang itu apakah memperlihatkan demokrasi atau
mayoritarianisme?

   Kalau melihat sidang DPR, memang yang diuntungkan partai besar.
Saya sebenarnya menginginkan, kalau belum disepakati, jangan disetujui
dan disahkan. Coba dua pihak dipertemukan, kemudian baru dibahas.

Anda selalu memberikan dissenting opinion dalam dua uji materi undang-
undang itu. Merasa sendirian?

   Saya tak merasa berbeda dengan hakim lain. Saya terbiasa sebagai
perempuan sendiri.

MARIA FARIDA INDRATI SOEPRAPTO

Tempat dan tanggal lahir: Solo, Jawa Tengah, 14 Juni 1949

Pendidikan:

   * Sarjana Hukum 1975
   * Notariat 1982
   * Pascasarjana Hukum UI 1997
   * Doktor Ilmu Hukum UI 2002
   * Legal Drafting di Leiden, Negeri Belanda
   * Legislative Drafting Project University of San Francisco School
of Law dan Boston University School of Law

Pekerjaan:

   * Guru Besar Ilmu Perundang-undangan Universitas Indonesia
   * Anggota Tim Perumus dan Penyelaras Komisi Konstitusi Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
   * Hakim Mahkamah Konstitusi

Kirim email ke