BISMILLA-HIRRAHMA-NIRRAHIYM

WAHYU DAN AKAL - IMAN DAN ILMU
[Kolom Tetap Harian Fajar]

921 Mengapa di Akhirat Koruptor Harus Dihukum Allah ?

Pertanyaan:
Mengapa koruptor di akhirat harus dihukum Allah? Bukankah semua itu hanya bisa 
terjadi atas izin Allah? Jadi misalnya saya jadi koruptor juga karena atas izin 
Allah? Mengapa diakhirat saya akan dihukum Allah? Bukankah Allah Maha Adil? 
Jadi cukuplah demi keadilan saya dihukum di dunia ini saja!
Dari Hamba Allah.  

***
Masya-Allah pemahaman ini sungguh berbahaya. Orang tidak akan takut korupsi 
karena tidak akan mendapat hukuman di akhirat kelak. Bisa berbisnis bermodalkan 
korupsi. Korupsi 50 triliyun dibayar misalnya 5 tahun penjara. 

Ada dua aliran filsafat yang saling bertentangan. Di pihak yang satu berfaham 
bahwa manusia itu sama sekali tidak mempunyai ikhtiar apa-apa, Tuhanlah Yang 
aktif. Aliran ini menempatkan manusia dalam keadaan pasif sebenar-benarnya. 
Inilah Jabariyah, Fatalisme.  Sedangkan pada pihak yang lain, adalah faham 
Qadariyah. Faham ini menganggap Tuhan dalam keadaan pasif, manusialah yang 
aktif dalam berkeinginan dan berikhtiar. Jadi setingkat di bawah faham Deisme, 
yang mengingkari adanya wahyu (komunikasi antara Tuhan dengan makhlukNya).  

-- YHDY ALLH LNWRH MN YSyAa (S. ALNWR, 24:35), dibaca: yahdiLla-hu linu-rihi- 
may yasya-u (tanda - dipanjangkan membacanya), artinya:
YHDY  = memberi hidayah 
ALLH  = Allah
LNWRH = dengan CahayaNya 
MN    = siapa
YSyAa = yang mau
ALLH adalah mubtada' (subyek) sekaligus fa'il (Pelaku). YHDY adalah khabar 
(predikat), LNWRH adalah keterangan, MN YSy adalah maf'ul (obyek) dalam wujud 
anak kalimat (anak kalimat yang menjadi obyek). Kalau anak kalimat itu 
diuraikan pula, maka MN (=siapa) adalah mubtada' sekaligus pula fa'il dan YSyAa 
(= yang mau) adalah khabar (predikat). Maka ayat itu berarti: 
-- Allah memberi hidayah dengan CahayaNya kepada siapa yang mau. 
 
Menjelang akhir Ramadhan 1417 / Februari 1997 di Pesantren Putera Pendidikan 
Quran IMMIM Tamalanrea. Al Ustadz Drs H.Saifullah (guru bahasa Arab, sekarang 
sudah almarhum) dan Al Ustadz Drs H. Hasnawi Marjuni (hafiz, penghapal Al 
Quran) dalam diskusi terbatas berpendapat pelaku Yasya-u adalah Allah, 
sedangkan menurut pendapat saya pelaku Yasya-u adalah Man.

Maka perbedaan penafsiran itu harus diujicoba, dan rujukannya tentulah juga 
semata-mata pada Ayat Qawliyah pula. Marilah kita rujukkan kedua penafsiran 
yang tidak sama itu terhadap ayat-ayat di bawah ini:
-- AN ALLH LA YGhYR MA BQWM hTY YGhYRWA MA BANFSHM (S.ALR'AD, 13:11), dibaca: 
innalla-la la- yughayyiru biqaumin hatta- yughayyiru- ma bianfusihim, artinya:
-- Sesunggunya Allah tidak akan mengubah apa (yang ada) atas suatu kaum, hingga 
mereka mengubah apa atas diri mereka.
(Kata mengubah ada yang menulis dengan merubah. Asal katanya ubah, mendapat 
awalan me÷sengau ng menjadi mengubah, sedangkan rubah adalah binatang sejenis 
keluarga anjing).

-- DzLK BAN ALLH LM YK MGhYRA N'AMt AN'AMHA 'ALY QWM hTY YGhYRWA MA BANFSHM 
(S.ALANFAL, 8:53), dibaca: dza-lika biannalla-ha lam yaku mughayyiran ni'matan 
an'amaha- 'ala- qaumin hatta- yughayyiru- ma- bianfusihim, artinya:
-- Sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan mengubah sesuatu nikmat yang  
dianugerahkanNya kepada suatu kaum, hingga kaum itu mengubah apa atas diri 
mereka.

Ayat-ayat rujukan di atas itu berhubungan dengan makna ayat. Berikut ini 
dikemukakan rujukan ayat mengenai pola redaksionalnya. 
-- AN ALLH YDhL MN YSyAa WYHDY ALYH MN ANAB (S.ALR'AD, 13:27), dibaca: 
innalla-ha yudhillu man yasya-u wayahdi- ilaihi man ana-ba, artinya:
-- Sesungguhnya disesatkan Allah orang yang menghendaki (kesesatan) dan memberi 
petunjuk kepadaNya siapa yang tobat. Pola secara redaksional ini jelas. Man 
adalah pelaku perbuatan Yasya-u dan Ana-ba.

Alhasil penafsiran yang dikukuhkan oleh hasil ujicoba di atas adalah Allah 
aktif dan manusia aktif, yaitu pola pikir Ahlussunnah (bukan Jabariyah, bukan 
Qadariyah).
 
Allah aktif memancarkan CahayaNya berupa hidayah dan manusia harus pula aktif 
membersihkan qalbu (hati nuraninya) dari kotoran yang menutup qalbunya akibat 
perbuatan iblis. Dengan aktif membersihkan kotoran yang menutup qalbu maka 
manusia itu dapatlah memperoleh Cahaya Allah yang menerangi hati nuraninya itu. 

Dalam Al-Quran dibedakan Cahaya Allah yang menerangi dengan sinar yang 
menerangi (dhiya). Cahaya Allah adalah berupa hidayah dalam hubungannya dengan 
spiritualisme, sedangkan dhiya adalah sinar dari sumber panas seperti matahari, 
obor yang berupa gelombang panas, yang menerangi benda-benda fisik.

Allah memberi kebebasan kepada manusia untuk memilih: 
-- WQL ALhQ MN RBKM FMN SyAa  FLYWaMN WMN SyAa FLYKFR (S. ALKHF, 18:29), 
dibaca: wa qulil haqqu mir rabbikum faman sya-a falyu'min wa man sya-a 
falyakfur (s. Al Kahfi), artinya: 
-- dan katakanlah Kebenaran dari Maha Pengaturmu, siapa yang mau maka 
berimanlah, siapa yang mau maka kafirlah. 

Dengan kebebasan memilih itu manusia memikul tanggung jawab penuh atas hasil 
pilihan dan perbuatannya. Janganlah pula koruptor itu mengatakan mengapa ia 
harus dihukum, bukankah ia menjadi koruptor itu atas izin Allah? Memang 
kehendak Allah memberikan izin kebebasan memilih, jadi menjadi koruptor itu 
adalah pilihan, Allah tidak turut campur dalam pilihan itu, karena atas kemauan 
Allah sendiri telah memberikan wewenang sepenuhnya kepada manusia untuk bebas 
memilih seperti dinyatakan ayat (18:29). Jadi Allah aktif memberikan kebebasan 
memilih kepada manusia dan manusia aktif menentukan pilihannya. Allah Maha 
Adil, Yang menghukum manusia atas hasil pilihaan manusia itu sendiri. Manusia 
harus mempertanggung-jawabkan hasil pilihannya itu kepada MLK YWM ALDYN, 
Pemilik Hari Keadilan. WaLlahu a'lamu bishshawab.

*** Makassar, 2 Mei 2010
     [H.Muh.Nur Abdurrahman]
http://waii-hmna.blogspot.com/2010/05/921-mengapa-di-akhirat-koruptor-harus.html

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke