(sambungan dari 1/9)

BIOGRAFI  SYAIKH MUHAMMAD BIN ABDUL WAHAB (2/9)
(1115 - 1206 H/1701 - 1793 M)

 

Mulai Berdakwah 
Syaikh Muhammad bin `Abdul Wahab memulai dakwahnya di Bashrah, tempat di mana 
beliau bermukim untuk menuntut ilmu ketika itu. Akan tetapi dakwahnya di sana 
kurang berhasil, karena menemui banyak rintangan dan halangan dari kalangan 
para ulama setempat. 

Di antara pendukung dakwahnya di kota Bashrah ialah seorang ulama yang bernama 
Syaikh Muhammad al-Majmu'i. Tetapi Syaikh Muhammad bin `Abdul Wahab bersama 
pendukungnya mendapat tekanan dan ancaman dari sebahagian ulama suu', yaitu 
ulama jahat yang memusuhi dakwahnya di sana; kedua-dua mereka diancam akan 
dibunuh. Akhirnya beliau meninggalkan Bashrah dan mengembara ke beberapa negeri 
Islam untuk memperluaskan ilmu dan pengalamannya. 

Di samping mempelajari keadaan negeri-negeri Islam yang bertetangga, demi 
kepentingan dakwahnya di masa akan datang, dan setelah menjelajahi beberapa 
negeri Islam, beliau lalu kembali ke al-Ihsa menemui gurunya Syeikh Abdullah 
bin `Abd Latif al-Ihsai untuk mendalami beberapa bidang pengajian tertentu yang 
selama ini belum sempat didalaminya. 

Di sana beliau bermukim untuk beberapa waktu, dan kemudian beliau kembali ke 
kampung asalnya Uyainah, tetapi tidak lama kemudian beliau menyusul orang 
tuanya yang merupakan mantan ketua jabatan urusan agama Uyainah ke Haryamla, 
yaitu suatu tempat di daerah Uyainah juga. 

Dikatakan bahwa di antara orang tua Syaikh Muhammad dan pihak berkuasa Uyainah 
terjadi perselisihan pendapat, yang menyebabkan orang tua Syaikh Muhammad 
terpaksa berhijrah ke Haryamla pada tahun 1139. 

Setelah perpindahan ayahnya ke Haryamla kira-kira setahun, barulah Syeikh 
Muhammad menyusulnya pada tahun 1140 H. Kemudian, beliau bersama bapanya itu 
mengembangkan ilmu dan mengajar serta berdakwah selama lebih kurang 13 tahun 
lamanya, sehingga bapaknya meninggal dunia di sana pada tahun 1153. 

Setelah tiga belas tahun menegakkan amar ma'ruf dan nahi mungkar di Haryamla, 
beliau mengajak pihak berkuasa setempat untuk bertindak tegas terhadap 
gerombolan penjahat yang selalu melakukan kerusuhan, perampasan, perompakan 
serta pembunuhan. Maka gerombolan tersebut tidak senang kepada Syaikh Muhammad, 
lalu mereka mengancam hendak membunuhnya. Syaikh Muhammad terpaksa meninggalkan 
Haryamla, berhijrah ke Uyainah tempat bapaknya dan beliau sendiri dilahirkan. 

 

Keadaan Negeri Najd, Hijaz dan sekitarnya
Keadaan negeri Najd, Hijaz dan sekitarnya semasa awal pergerakan tauhid amatlah 
buruknya. Krisis aqidah dan akhlak serta merosotnya tata nilai sosial, ekonomi 
dan politik sudah mencapai titik puncak. Semua itu adalah akibat penjajahan 
bangsa Turki yang berpanjangan terhadap bangsa dan Jazirah Arab, di mana tanah 
Najd dan Hijaz adalah termasuk jajahannya, di bawah penguasaan Sultan Muhammad 
Ali Pasya yang dilantik oleh Khalifah di Turki (Istanbul) sebagai Gubernur 
Jendral untuk daerah koloni di kawasan Timur Tengah, yang berkedudukan di 
Mesir. 

Pemerintahan Turki Raya pada waktu itu mempunyai daerah kekuasaan yang cukup 
luas. Pemerintahannya berpusat di Istanbul (Turki), yang begitu jauh dari 
daerah jajahannya. Kekuasaan dan pengendalian khalifah mahpun sultan-sultannya 
untuk daerah yang jauh dari pusat, sudah mulai lemah disebabkan oleh kekacauan 
di dalam negeri dan kelemahan di pihak khalifah dan para sultannya. Di samping 
itu, adanya cita-cita dari amir-amir di negeri Arab untuk melepaskan diri dari 
kekuasaan pemerintah pusat yang berkedudukan di Turki. Ditambah lagi dengan 
hasutan dari bangsa Barat, terutama penjajah tua yaitu Inggris dan Perancis 
yang menghasut bangsa Arab dan umat Islam supaya berjuang merebut kemerdekaan 
dari bangsa Turki, yang sebenarnya hanyalah tipudaya untuk memudahkan kaum 
penjajah tersebut menanamkan pengaruhnya di kawasan itu, kemudian mencengkamkan 
kuku penjajahannya di dalam segala lapangan, seperti politik, ekonomi, 
kebudayaan dan aqidah.  

Kemerosotan dari sektor agama, terutama yang menyangkut aqidah sudah begitu 
memuncak. Kebudayaan jahiliyah dahulu seperti taqarrub (mendekatkan diri) pada 
kuburan keramat, memohon syafaat dan meminta berkat serta meminta diampuni dosa 
dan disampaikan hajat, sudah menjadi ibadah mereka yang paling utama, sedangkan 
ibadah-ibadah menurut syariat yang benar, dijadikan perkara kedua. Di mana ada 
kuburan wali, orang-orang soleh, penuh dibanjiri oleh penziarah-penziarah untuk 
meminta hajat keperluannya. Misalnya pada makam Syaikh Abdul Qadir Jailani, dan 
makam-makam wali lainnya. Hal ini terjadi bukan hanya di tanah Arab saja, 
tetapi juga di mana-mana, di seluruh pelosok dunia sehingga suasana di negeri 
Islam waktu itu seolah-olah sudah berbalik menjadi jahiliyah seperti pada waktu 
pra-Islam menjelang kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi Wasallam. 

Masyarakat Muslim lebih banyak berziarah ke kuburan atau makam-makam keramat 
dengan segala macam munajat dan tawasul, serta pelbagai doa yang dialamatkan 
kepada makam dan penghuninya, dibandingkan dengan mereka yang datang ke masjid 
untuk sholat dan munajat kepada Allah Subhanahu Wata'ala.

 Demikianlah kebodohan umat Islam hampir merata di seluruh negeri, sehingga 
dimana terdapat makam yang dianggap keramat, makam itu dibangun bagaikan 
bangunan masjid, bahkan lebih mewah daripada masjid, karena dengan mudah dana 
mengalir dari mana-mana, terutama biaya yang diperolehi dari setiap pengunjung 
yang berziarah ke sana, atau memang adanya dukungan dari orang yang 
membiayainya di belakang tabir, dengan maksud-maksud tertentu. Seperti dari 
imperalis Inggris yang berdiri di belakang tabir makam Syaikh Abdul Qadir 
Jailani di India. 

Di tengah-tengah keadaan yang sedemikian rupa, maka Allah menjadikan seorang 
mushlih kabir (pembaharu besar) Syaikh Muhammad bin `Abdul Wahab  dari `Uyainah 
(Najd) sebagai mujaddid Islam terbesar abad ke 12 Hijriyah, setelah Ibnu 
Taimiyah yang merupakan mujaddid abad ke 7 Hijriyah yang sangat terkenal itu. 

Bidang pentajdidan kedua mujaddid besar ini adalah sama, yaitu mengadakan 
pentajdidan dalam aspek aqidah. Keduanya tampil untuk memperbaharui agama Islam 
yang sudah mulai tercemar dengan bid'ah, khurafat dan tahayul yang sedang 
melanda Islam dan kaum Muslimin. Menghadapi hal ini Syaikh Muhammad bin `Abdul 
Wahab telah menyusun barisan Muwahhidin yang berpegang kepada pemurnian tauhid. 
Bagi para lawannya, pergerakan ini mereka sebut Wahabiyin yaitu gerakan 
Wahabiyah. *

Dalam pergerakan tersebut tidak sedikit rintangan dan halangan yang dilalui. 
Kadangkala beliau terpaksa melakukan tindakan kekerasan apabila tidak bisa 
dengan cara yang lembut. Tujuannya tidak lain untuk mengembalikan Islam kepada 
kedudukan yang sebenarnya, yaitu dengan memurnikan kembali aqidah umat Islam 
seperti yang diajarkan oleh Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. 

Allah Subhanahu Wata'ala berfirman : 

" Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong Allah niscaya Allah akan 
menolongmu dan menetapkan pendirianmu. " (Muhammad: 7)

 

Awal Pergerakan Tauhid 
Syaikh Muhammad bin `Abdul Wahab memulai dakwahnya di daerahnya sendiri yaitu 
Uyainah. Pada saat itu Uyainah dipimpin oleh seorang amir (penguasa) bernama 
Amir Uthman bin Mu'ammar. Amir Uthman menyambut baik ide dan gagasan Syaikh 
Muhammad itu, dan beliau berjanji akan menolong perjuangan tersebut sehingga 
mencapai keberhasilan. 

Selama beliau berdakwah di Uyainah, masyarakat negeri itu baik lelaki maupun 
perempuan merasakan kembali nikmat yang luarbiasa. Dakwah beliau bergema di 
negeri mereka. Ukhuwah Islamiyah dan persaudaraan Islam telah tumbuh kembali 
berkat dakwahnya di seluruh pelosok Uyainah dan sekitarnya. Orang-orang dari 
jauh pun mulai berhijrah ke 'Uyainah, karena mereka menginginkan keamanan dan 
ketenteraman jiwa di negeri ini. 

Syahdan; pada suatu hari, Syaikh Muhammad bin `Abdul Wahab meminta izin pada 
Amir Uthman untuk menghancurkan sebuah bangunan yang dibangun di atas makam 
Zaid bin Al-Khattab yang merupakan saudara kandung Umar bin al-Khattab, 
Khalifah Rasulullah yang kedua. Syeikh Muhammad mengemukakan alasannya kepada 
Amir, bahwa menurut hadits Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam, membangun 
bangunan di atas kubur adalah dilarang, karena yang demikian itu akan menjurus 
kepada kemusyrikan. Amir menjawab: "Silakan... tidak ada seorang pun yang boleh 
menghalangi rencana yang mulia ini." Tetapi beliau mengajukan pendapat bahwa 
beliau khawatir masalah itu kelak akan dihalang-halangi oleh ahli 
jahiliyah(kaum Badwi) yang tinggal berdekatan dengan makam tersebut. Lalu Amir 
menyediakan 600 orang tentara untuk tujuan tersebut bersama-sama Syaikh 
Muhammad merobohkan makam yang dikeramatkan itu. 

Sebenarnya apa yang mereka sebut sebagai makam Zaid bin Al-Khattab Radliyallahu 
'anhu yang gugur sebagai syuhada' Yamamah ketika menumpas Nabi Palsu 
(Musailamah Al-Kadzdzab) di negeri Yamamah, hanyalah berdasarkan prasangka 
belaka. Karena di sana terdapat puluhan syuhada' Yamamah yang dikebumikan tanpa 
jelas lagi pengenalan mereka. Boleh jadi yang mereka anggap makam Zaid bin 
Al-Khattab itu adalah makam orang lain. Tetapi oleh karena masyarakat setempat 
telah terlanjur beranggapan bahwa itulah maam beliau, mereka pun 
mengkeramatkannya dan membangun sebuah masjid di tempat itu, yang kemudian 
dihancurkan pula oleh Syaikh Muhammad bin `Abdul Wahab atas bantuan Amir 
Uyainah, Uthman bin Mu'ammar. 

Syaikh Muhammad tidak berhenti sampai di sini, akan tetapi semua makam-makam 
yang dipandang berbahaya bagi aqidah di seluruh wilayah Uyainah turut diratakan 
semuanya. Hal ini adalah untuk mencegah agar jangan sampai dijadikan objek 
peribadatan oleh masyarakat Islam setempat yang sudah mulai nyata kejahiliyahan 
dalam diri mereka. Dan berkat rahmat Allah, maka pusat-pusat kemusyrikan di 
negeri Uyainah saat itu telah terkikis habis sama sekali. 

(bersambung ke 3/9)



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke