(sumber : Ad Damghah Al Qawwiyah li Nasfi Aqidah Ad Dimuqrathiyah; Syekh
Ali Belhaj/pemimin FIS Aljazair)

Faktor-faktor (yang diterangkan Sayyid Quthub) itulah yang membedakan satu
kaum dengan kaum lainnya, satu pola pikir dengan pola pikir lainnya, satu
hati nurani dengan hati nurani lainnya, satu akhlak dengan akhlak lainnya,
dan satu pandangan hidup dengan pandangan hidup lainnya.


Kemudian Sayyid Quthub mengungkapkan banyak hadits dalam hal menyalahi orang
Yahudi dan Nashrani. Sayyid Quthub mengatakan :
"Rasulullah melarang kaum muslimin bertasyabbuh dalam pakaian dan
penampilan, gerak dan tingkah laku, perkataan dan adab, karena di balik
semua itu terdapat perasaan batin yang membedakan konsep, manhaj dan watak
jamaah Islam dengan konsep, manhaj dan watak jamaah lainnya. Rasulullah juga
melarang kaum muslimin untuk menerima (hukum/aturan/ideologi) selain dari
Allah SWT. Padahal manhaj yang Allah berikan kepada umat ini adalah untuk
diwujudkan di muka bumi.


Rasulullah juga melarang kita untuk mempunyai perasaan-kalah  terhadap kaum
lain di muka bumi, sebab perasaan-kalah terhadap suatu masyarakat akan
menimbulkan kelemahan dalam jiwa yang membuat kita bertaqlid kepada
masyarakat tertentu itu. Padahal seharusnyalah kaum Muslim tegak menjadi
pemimpin manusia serta mengarahkan sikap taqlidnya seperti mereka mengambil
akidahnya dari sumber yang mereka pilih yang memang layak untuk memimpin.
Bukankah kaum Muslim umat yang paling tinggi, umat pilihan, dan sebaik-baik
umat yang dilahirkan di tengah tengah manusia ? Lantas dari mana kaum Muslim
mengambil konsep dan manhaj mereka ? Bukanlah kaum Muslim mengambilnya dari
Allah sedang  mereka (selain kaum Muslim) mengambil konsep dan manhaj mereka
dari sesuatu yang rendah yang lalu mereka angkat tinggi-tinggi !
Jamaah kaum muslimin yang menghadap kiblat ketika sholat wajib menemukan
makna dari penghadapan ini. Sesungguhnya kiblat bukanlah sekedar arah atau
tempat ketika kaum Muslim sholat. Lebih dari itu, tempat atau arah tersebut
tiada lain adalah simbol, yaitu simbol untuk  mengkhususkan dan membedakan
jati diri, kepribadian, tujuan, kepentingan dan institusi kaum Muslim dengan
kaum yang lainnya.
Sabda Rasulullah SAW:
"Aku diutus menjelang Hari Kiamat dengan pedang  sampai Allah disembah dan
tidak ada sekutu baginya. Dia menjadikan rizkiku ada di bawah bayangan
tombakku.  Dia menjadikan kehinaan dan kekerdilan bagi siapa saja yang
menentangku. Dan barangsiapa menyerupai suatu kaum maka dia adalah bagian
dari kaum tersebut".(HR.Ahmad, dengan sanad hasan)

Syaikhul Islam (Ibnu Taymiyah) mengatakan dalam syarahnya mengenai hadits
ini :
"Hadits tersebut paling sedikit mengandung tuntutan keharaman tasyabbuh
kepada orang kafir. Walaupun zahir dari hadits tersebut menetapkan kufurnya
bertasyabbuh dengan mereka, sebagaimana firman Allah :


"Barang siapa diantara kamu menjadikan mereka sebagai pemimpin, maka
sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka." (QS. Al-Maa`ida [5] : 51).

Imam Ash-Shan'ani dalam kitabnya Subulus Salam berkata :
"Barang siapa bertasyabbuh dengan orang-orang fasik maka dia adalah bagian
dari orang-orang fasik atau orang kafir atau ahli bid'ah, pada sesuatu yang
menjadi ciri khas bagi mereka dalam pakaian, kendaraan, dan tingkah laku."

(Para ulama) berkata, jika bertasyabbuh dengan orang kafir dalam pakaian dan
dia beri'tiqad bahwa dengan itu dia telah menjadi serupa dengan orang kafir,
maka orang itu dikafirkan. Akan tetapi jika tidak terdapat
meng'itiqadkannya, maka dalam hal ini terjadi ikhtilaf di kalangan fuqaha.
Yang mengambil zahirnya hadits menyatakan kafir, sementara ulama yang
lainnya mengatakan tidak sampai jatuh kafir, tetapi mendapatkan hukuman".
Karena itulah, kita menolak demokrasi, karena demokrasi merupakan aqidah
Barat yang kafir, yang kita telah diperintahkan untuk menyalahi mereka
sebagaimana sudah dijelaskan di atas. Pada masa sekarang, masalah ini memang
membutuhkan penjelasan, karena lalainya manusia terhadap kaidah besar ini.
Sebab pemraktekan demokrasi di negeri-negeri kaum Muslim sebenarnya adalah
suatu perilaku mengemis-ngemis yang sangat hina lagi tercela.

 

Syeikh Muhammad Al-Ghazaly mengatakan dalam kitabnya Khatbu Asy-Syeikh
Muhammad Al-Ghazaly :
"Telah sepakat orang-orang yang berakal sehat, bahwa manusia yang
mengemis-ngemis sementara di rumahnya ada harta yang mencukupinya, maka dia
adalah orang yang ganjil dan aneh tingkah lakunya. Jika dia memilih
berprofesi sebagai pengemis sementara secara pasti terdapat harta yang cukup
buat dirinya,  maka dia adalah orang yang sakit jiwa yang patut dihukum !"

 

Kaidah ini sama saja berlakunya, baik untuk umat-umat dan
masyarakat-masyarakat maupun untuk individu-individu dan orang-orang. Umat
yang memiliki kekayaan pemikiran yang besar dan peradaban yang subur, akan
dianggap umat yang aneh jika melupakan aset yang dimilikinya baik berupa
sumber-sumber kekayaan materiil maupun moril, kemudian menggabungkan diri
dengan Blok Timur maupun Blok Barat. Umat itu juga dianggap aneh kalau
diwarnai oleh warna-warna tersebut yang terkadang bernama kanan terkadang
pula bernama kiri. Padahal Allah telah memuliakannya dengan celupan
(shibgah) yang satu. Firman Allah SWT :
"Shibghah (celupan) Allah. Dan siapakah yang lebih baik shibghahnya dari
pada Allah? Dan hanya kepada-Nya-lah kami menyembah."  (QS. Al-Baqarah [2] :
138



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke