http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=140885

 [ Senin, 21 Juni 2010 ] 

Edi O.S. Hiariej: Fenomena Video Porno 


Sesungguhnya, fenomena video porno bukanlah hal baru di tanah air. Sejak 
beberapa tahun silam, video porno -baik yang sengaja direkam pelaku maupun yang 
direkam secara sembunyi-sembunyi oleh pihak lain- merebak di Indonesia. Saat 
ini fenomena video porno kembali hangat dibicarakan. Pasalnya, pemeran dalam 
video tersebut mirip dengan artis yang merupakan figur publik, seperti Ariel, 
Luna Maya, dan Cut Tary. Bagaimana sebetulnya hukum pidana menyikapi hal 
tersebut? 

Paling tidak, ada tiga undang-undang yang dapat digunakan untuk menjerat 
hal-hal yang berbau pelanggaran terhadap kesusilaan seperti yang tergambar 
dalam video tersebut.

Pertama, ketentuan dalam pasal 282 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 
(KUHP) yang secara eksplisit menyatakan, "Barang siapa menyiarkan, 
mempertunjukkan, atau menempelkan di muka umum tulisan, gambar, atau benda yang 
telah diketahui isinya dan yang melanggar kesusilaan atau barang siapa dengan 
maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan, atau ditempelkan di muka umum, membikin 
tulisan, gambar, atau benda tersebut, memasukkannya ke dalam negeri, 
meneruskannya, mengeluarkannya dari negeri, atau mempunyainya dalam persediaan 
ataupun barang siapa secara terang-terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa 
diminta, menawarkannya, atau menunjukkannya sebagai bisa didapat, diancam 
dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling tinggi tiga ribu 
rupiah."

Konstruksi pasal 282 ayat 1 KUHP adalah delik penyebaran. Artinya, tulisan, 
gambar, atau benda yang muatannya melanggar kesusilaan disiarkan di muka umum. 
Konsekuensi selanjutnya, tulisan, gambar, atau benda tersebut diketahui orang 
banyak. Berdasar pasal itu, adresat atau orang yang dapat dijerat dengan pasal 
282 ayat 1 KUHP adalah mereka yang mengedarkan atau menyebarluaskan tulisan, 
gambar, atau benda yang melanggar kesusilaan. 

Kedua, ketentuan dalam pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik berbunyi, "Setiap orang dengan 
sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan dan atau 
membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang 
memiliki muatan yang melanggar kesusilaan." Dalam undang-undang tersebut, tidak 
ada definisi soal melanggar kesusilaan. Karena itu, pengertian melanggar 
kesusilaan harus merujuk kepada KUHP, yang sebenarnya dalam KUHP sendiri tidak 
ada definisi yang pasti tentang pelanggaran terhadap kesusilaan. Tegasnya, 
substansi pasal 27 ayat 1 UU Informasi dan Transaksi Elektronik pada dasarnya 
sama dengan pasal-pasal kejahatan terhadap kesusilaan sebagaimana yang diatur 
dalam KUHP. Perbedaannya terletak pada alat yang digunakan untuk 
menyebarluaskan tulisan, gambar, atau benda yang muatannya melanggar 
kesusilaan, yakni sarana elektronik. Pelaku yang dapat dijerat dengan pasal 
tersebut adalah mereka yang mengedarkan atau menyebarluaskan tulisan, gambar, 
atau benda yang melanggar kesusilaan. 

Ketiga, ketentuan dalam pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 
tentang Pornografi. Secara eksplisit, pasal tersebut menyatakan, "Setiap orang 
dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, 
menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, 
atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat: a) persanggamaan, 
termasuk persanggamaan yang menyimpang; b) kekerasan seksual; c) masturbasi 
atau onani; d) ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; e) 
alat kelamin; f) pornografi anak."

Atas dasar konstruksi pasal yang demikian, ada beberapa catatan. Pertama, ada 
definisi yang rigid perihal pornografi sebagaimana yang tertuang dalam huruf a 
sampai f. Hal tersebut berbeda dengan perbuatan yang melanggar kesusilaan 
sebagaimana diatur dalam pasal 282 ayat 1 KUHP dan pasal 27 ayat 1 UU Informasi 
dan Transaksi Elektronik tanpa definisi yang tegas. Kedua, adresat -dalam 
pengertian siapa saja yang dapat dijerat dengan pasal itu- sangat luas. Bukan 
hanya mereka yang menyebarluaskan, tetapi juga yang membuat, memperbanyak, 
menyiarkan, atau memperjualbelikan.

Soal video porno yang kini ramai dibicarakan karena para pemain dalam video 
tersebut mirip dengan Ariel, Luna Maya, dan Cut Tary, ada beberapa hal yang 
penting untuk dikemukakan. Pertama, pasal 282 ayat 1 KUHP maupun pasal 27 ayat 
1 UU Informasi dan Transaksi Elektronik tidak dapat digunakan untuk menjerat 
mereka, terlebih jika video porno itu dimaksudkan untuk koleksi pribadi. 
Kecuali, ada bukti yang kuat bahwa pengedar video porno tersebut adalah mereka. 

Kedua, harus ada ketegasan dari Ariel, Luna, dan Cut Tary bahwa mereka 
benar-benar pelaku dalam video itu. Hal tersebut penting untuk menentukan 
status mereka. Jika diakui secara tegas bahwa pelaku dalam video porno tersebut 
adalah mereka, Ariel, Luna, dan Cut Tary dapat dijerat dengan pasal 4 UU 
Pornografi. Syaratnya, rekaman tersebut dibuat setelah 2008. Alasan bahwa 
rekaman itu dibuat untuk koleksi pribadi tidaklah dapat digunakan untuk lolos 
dari jeratan pasal 4 UU Pornografi. Sebab, pasal tersebut secara tegas melarang 
membuat hal-hal yang bersifat pornografi dengan alasan apa pun. 

Ketiga, apabila video itu direkam sebelum 26 November 2008 (UU Pornografi 
disahkan), mereka tidak dapat dijerat dengan ketentuan tersebut. Sebab, asas 
legalitas dalam hukum pidana tidak menghendaki penuntutan atas perbuatan yang 
belum diatur secara tegas dalam suatu undang-undang sebagai perbuatan pidana 
saat perbuatan itu dilakukan. Jika demikian, mereka bertiga tidak dapat 
dijadikan tersangka. Mereka akan dianggap sebagai korban kejahatan. Penjahat 
dalam peredaran video porno adalah orang yang kali pertama menyebarluaskan 
video tersebut.

Keempat, dengan menjunjung tinggi asas praduga tidak bersalah, jika tidak ada 
ketegasan dari Ariel, Luna, maupun Cut Tary bah­wa mereka adalah pelaku dalam 
video porno tersebut, tampaknya polisi harus bekerja ekstrakeras. Selain harus 
menemukan siapa yang menyebarluaskan video itu, polisi dituntut untuk mencari 
pelaku yang mukanya amat mirip dengan tiga artis tersebut. Jika demikian, tiga 
artis tersebut cenderung menjadi korban kejahatan dengan motivasi pencemaran 
nama baik oleh si pelaku. Artinya, ada sindikat yang sengaja mencari 
orang-orang yang sangat mirip dengan tiga artis tersebut, kemudian gambar 
mereka saat bersanggama diambil dan disebarluaskan. Mulai pencarian orang, 
kemudian pengambilan gambar, sampai penyebarluasan video adalah satu rangkaian 
perbuatan yang dapat dijerat dengan tiga UU tersebut.

Kelima, ada yang berpendapat bahwa pelaku dalam video porno itu dapat dijerat 
dengan delik perzinaan, yang juga merupakan salah satu pasal dalam KUHP tentang 
kejahatan terhadap kesusilaan. Secara teoretis, definisi perzinaan dalam pasal 
284 KUHP dapat dikenakan kepada lelaki beristri atau perempuan bersuami yang 
berhubungan kelamin dengan perempuan atau lelaki lain tanpa ikatan perkawinan 
yang sah. Artinya, pasal tersebut dapat dijeratkan kepada orang yang mirip 
dengan Ariel selama dia terikat dalam perkawinan yang sah dengan perempuan lain 
saat melakukan apa yang tergambar dalam video tersebut bersama perempuan yang 
mirip dengan Luna. Demikian pula orang yang mirip dengan Cut Tary, dapat 
dikenai pasal perzinaan. Akan tetapi, yang perlu diketahui, perzinaan adalah 
satu-satunya delik aduan yang bersifat absolut. Artinya, yang mengadukan telah 
terjadi perzinaan adalah istri dari suami atau suami dari istri yang 
berhubungan kelamin dengan orang lain tanpa ikatan perkawinan yang sah. 
Tegasnya, jika tanpa pengaduan dari istri atau suami, tindak pidana perzinaan 
tidak mungkin diproses secara hukum. Selain itu, pasal perzinaan tidak dapat 
dikenakan kepada laki-laki yang tidak tunduk pada pasal 27 KUH Perdata. 
Terlebih, saat ini Ariel berstatus duda yang telah bercerai lebih dari setahun.

Hal lain yang penting untuk diulas terkait dengan peredaran video porno 
tersebut adalah pembuktian. Kita tidak bisa hanya mengandalkan alat bukti 
saksi. Selain adegan tersebut direkam dalam ruang tertutup sehingga sulit 
dilihat pihak lain, para saksi dalam peristiwa itu berpotensi sebagai penjahat, 
paling tidak adalah korban kejahatan. Dalam konteks tersebut, diperlukan alat 
bukti lain, seperti keterangan ahli maupun material evidence lain. Perlu 
diketahui pula, jika kasus peredaran video porno diselesaikan dengan 
menggunakan KUHP, alat buktinya sangat terbatas. Artinya, alat bukti yang dapat 
digunakan hanyalah alat bukti sebagaimana yang termaktub dalam pasal 184 KUHAP, 
yakni keterangan saksi, surat, keterangan ahli, keterangan terdakwa, dan 
petunjuk. Padahal, penyebaran menggunakan sarana elektronik.

Karena itu, pengungkapan kasus peredaran video porno sebaiknya menggunakan UU 
Informasi dan Transaksi Elektronik. Selain modus operandi yang memanfaatkan 
dunia maya, berdasar UU itu alat bukti yang dapat digunakan sangat luas, 
termasuk dokumen elektronik berupa gambar maupun tulisan. Keterangan ahli pun 
tetap dibutuhkan untuk memverifikasi dua hal. Pertama, memastikan video 
tersebut bukan rekaan. Kedua, memastikan waktu pembuatan video itu. 
Selanjutnya, dengan menggunakan material evidence, dapat ditelusuri asal 
peredaran video tersebut. (*)

Edi O.S. Hiariej, Staf Pengajar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke