http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/kejawen/2010/05/24/493/Menyelamatkan-Jawa-Sekarang-Juga

amomong
24 Mei 2010 | 03:42 wib
Oleh Sucipto Hadi Purnomo
Menyelamatkan Jawa, Sekarang Juga!
 


DI Jawalah segala beban tersangga demikian berat, hingga membuat pulau ini 
tampak sempoyongan. Jawalah pusat peradaban utama di Nusantara, namun di situ 
juga kebiadaban dalam wujudnya yang paling paripurna terpentaskan dan telah 
menyejarah. Perlukah dengan segera Jawa diselamatkan? 

Dalam sebuah kunjungannya di kampus Universitas Negeri Semarang (Unnes), 
beberapa waktu lalu, Rektor Universitas Katolik Soegijapranata (Unika) Semarang 
Budi Widianarko mengemukakan komitmen lembaganya untuk lebih memerhatikan Jawa. 

"Pulau Jawa berperan sangat penting bagi Indonesia tetapi memiliki masalah yang 
sangat serius, sehingga perlu ditelaah dari berbagai aspek," katanya.

Karena itulah, di universitasnya lantas didirikan The Java Institute. 
Harapannya, institut itu menjadi pusat penelitian yang mengaji Pulau Jawa 
sebagai sebuah entitas keruangan, sumber daya, ekologi, sosial, ekonomi, dan 
budaya. 

Sebegitu mendesakkah untuk menyelamatkan Jawa? Sebegitu seriuskan "penyakit" 
yang diidap oleh pulau yang subur kang sarwa tinandur namun tata titi tentrem 
kerta raharja tak kunjung juga jadi nyata?

Sarat Pradoks Jawa
Jawa sungguh-sungguh sarat paradoks. Kecil tetapi kuasa. Subur namun selalu 
kekurangan. Tempatnya bak surga, namun setiap saat bencana siap datang melanda. 
Menyusahkan, toh tetap saja dicintai, didiami, bahkan dirindukan tatkala 
beberapa saat saja ditinggalkan pergi.

Jawa adalah pulau urutan ke kelima terbesar di Nusantara, setelah (sebagian 
besar) Kalimantan , Sumatera, (sebagian) Irian, dan Sulawesi . Meski luas Pulau 
Jawa hanya 6,95 persen luas areal Indonesia, di tanah inilah lebih dari 130 
juta jiwa bermukim atau 60 persen penduduk Indonesia. 

Ketika Soeharto menjadi presiden, transmigrasi dilakukan secara masif. 
Beribu-ribu orang dimigrasikan dari Jawa ke Sumatera, Kalimantan , Papua, dan 
Sulawesi . Berbagai iming-iming dan jargon persuasif tak henti-henti 
didengungkan. Alhasil, jutaan orang hijrah dan menemukan penghidupan baru di 
pulau-pulau yang terhitung masih rendah tingkat kepadatannya.

Bersamaan dengan itu, program keluarga berencana (KB) juga digalakkan. Jargon 
"dua anak cukup, laki-laki perempuan sama saja" kuat melekat di benak siapa pun 
kala itu.

Kedua program itu jelas sekali punya pertalian dengan penduduk Jawa yang telah 
disadari begitu padatnya. Dengan transmigrasi, kepadatan penduduk Jawa 
berkurang; dengan KB pertambahan penduduk (terutama Jawa) juga bisa ditekan. 

Namun seiring dengan pergantian rezim, kedua program tersebut berkesan 
terbengkalai -paling tidak pamornya tampak meredup selama lebih dari satu 
dekade terakhir. Padahal, lepas dari perdebatan yang segera akan menyertai 
kedua hal tersebut, dari sisi kependudukan, itulah dua hal yang paling 
realistis dalam menyelamatkan Jawa.

Persoalan manusia yang menghuninya, juga yang telah meninggalkannya namun masih 
tetap kuat memiliki pertalian batin dengannya, memang segera mengemuka. 
Mengapa? Karena penanganan berbagai aspek sesungguhnya tidak lain dalam rangka 
untuk menyelamatkan manusia Jawa, termasuk yang sudah ngejawa dan yang tetap 
memegang kejawaannya.

Persoalan manusia, atau dalam pengertian sempit penduduk, senantiasa berimpit 
dengan masalah pangan, sandang, dan papan sebagai kebutuhan paling pokoknya. 
Pada Jawalah, lagi-lagi, hal-hal yang paradoksal itu kian tampak di situ. 

Di Jawalah ketersediaan akan pangan mesti diberikan dalam porsi yang jauh lebih 
besar, meski wilayah ini pula yang sampai kini masih menjadi pemasok utama. Di 
Jawa juga pemenuhan akan tempat tinggal mesti dilakukan secara berlipat ganda, 
meski dengan begitu areal pemasok pangan (juga sandang) bakal kian menciut.

Itu belum lagi jika persoalannya dilebarkan pada masalah ekosistem. Di antara 
persoalan ekosistem, yang memiliki pertalian panjang secara historis dan juga 
kultural adalah hutan.

Menyelamatkan Hutan
Hutan adalah cermin peradaban. Hutan adalah tonggak kultural. Kisah tentang 
berdirinya sebuah negara, dalam semua cerita Jawa adalah narasi tentang babad 
alas. Ada Babad Wanamarta, Babad Tarik (Majapahit), Babad Glagahwangi (Demak), 
ada pula Babad Alas Mentaok (Mataram).

Pesona terhadap Jawa, bagi kolonial Belanda, di samping rempah-rempah -sesuatu 
yang selalu disebut dalam pelajaran sejarah di sekolah- adalah hasil hutan. 
Berabad-abad sebelumnya, tak ada masalah dengan ekosistem di Jawa. Selain 
jumlah penduduknya relatif rendah dibandingkan dengan sekarang, kawasan hutan 
serta pegunungan tidak banyak yang beralih fungsi. 

Namun kawasan hutan Jawa beralih fungsi semenjak kongsi dagang Belanda 
melakukan eksploitasi alam di Jawa dengan mendirikan perkebunan-perkebunan di 
daerah kawasan hutan. Malahan, disusul dengan pendirian perusahaan milik 
kolonial yang melakukan eksploitasi hutan alam di Jawa. 

Lambat laun, kebijakan terhadap hutan di Jawa sebagai penyangga ekosistem pulau 
yang sangat rentan dengan perubahannya ini kian kikis. Makin pudarlah anggapan 
bahwa ekosistem di Jawa harus tetap dijaga agar tidak terjadi perubahan kondisi 
alam yang drastis. Hutan yang semestinya menjadi penjaga utama ekosistem telah 
diporakporandakan fungsinya akibat nafsu untuk mengeksploitasi. Menghidupi 
segelintir orang, namun mematikan dalam jumlah tak berbilang. Mengenyangkan 
"masa kini" namun siap membunuh "masa depan". 

Hutan memang pambukaning warana atas "penyakit akut" yang diidap Jawa yang 
paling kasat mata. Sebagai tirai pembuka, pastilah ia bisa memampangkan, betapa 
komplikasi penyakit lain itu telah menggerogoti setiap organ yang ada di 
tubuhnya, dan celakanya sakit itu lebih-lebih telah merambah pada jiwa.

Maka, kini Jawa benar-benar membutuhkan jiwa-jiwa yang sehat para penghuninya. 
Jawa sudah menunjukkan kemampuannya untuk selalu momor-momot, namun sepanjang 
sejarah peradaban (dan kebiadabannya?) terbukti tidak teteg terhadap segala 
bujuk rayu dan tipu muslihat. 

Jadi, ketika masalah yang membelit Jawa telah demikian karut-marut, telah 
bersimpang selimpat, lagi-lagi, dari mana upaya untuk menyelamatkannya bisa 
dimulai? "Dari pendidikan!" kata Supriadi Rustad, guru besar fisika yang pernah 
mengkidmati Gunung Merapi sambil menambahkan, "Sekarang juga."

 -Sucipto Hadi Purnomo, dosen Budaya Jawa Universitas Negeri Semarang


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke