Kaum
muslimin yang semoga selalu mendapatkan taufiq Allah Ta’ala. Kita
semua telah mengetahui bahwa Allah adalah satu-satunya Rabb (Tuhan)
alam semesta, Yang menciptakan kita dan orang-orang sebelum kita, Yang
menjadikan bumi sebagai hamparan untuk kita mencari nafkah, dan Yang menurunkan
hujan untuk menyuburkan tanaman sebagai rizki bagi kita. Setelah kita
mengetahui demikian, hendaklah kita hanya beribadah kepada Allah semata dan
tidak menjadikan bagi-Nya tandingan/sekutu dalam beribadah. Allah Ta’ala
berfirman yang artinya,

 

“Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai
atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan
hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah
kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (Al
Baqarah [2]: 22)

 

Lebih
samar dari jejak semut di atas batu hitam di tengah kegelapan malam

 

Sahabat
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma –yang sangat luas dan mendalam
ilmunya- menafsirkan ayat di atas dengan mengatakan,”Yang dimaksud membuat
sekutu bagi Allah (dalam ayat di atas, pen) adalah berbuat syirik.

 

Syirik adalah suatu perbuatan dosa yang lebih sulit (sangat samar) untuk
dikenali  daripada jejak semut yang merayap di atas batu hitam di tengah
kegelapan malam.”

 

Kemudian
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma mencontohkan perbuatan syirik yang
samar tersebut seperti, 

 

‘Demi
Allah dan demi hidupmu wahai fulan’, 

‘Demi
hidupku’ atau ‘Kalau bukan karena anjing kecil orang ini, tentu kita
didatangi pencuri-pencuri itu’ atau 

‘Kalau
bukan karena angsa yang ada di rumah ini tentu datanglah pencuri-pencuri itu’,


 

dan
ucapan seseorang kepada kawannya 

‘Atas kehendak Allah dan kehendakmu’, 

juga
ucapan seseorang

‘Kalau
bukan karena Allah dan karena fulan’.

 

Akhirnya
beliau radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, ”Janganlah engkau menjadikan
si fulan (sebagai sekutu bagi Allah, pen)  dalam ucapan-ucapan
tersebut. Semua ucapan ini adalah perbuatan SYIRIK.” (HR. Ibnu Abi Hatim)
(Lihat Kitab Tauhid, Syaikh Muhammad At Tamimi)

 

Itulah
syirik. Ada sebagian yang telah diketahui dengan
jelas seperti menyembelih, bernadzar, berdo’a, meminta dihilangkan musibah 
(istighotsah)
kepada selain Allah. Dan terdapat pula bentuk syirik (seperti dikatakan Ibnu
Abbas di atas) yang sangat sulit dikenali (sangat samar).

 

Syirik
seperti ini ada 2 macam.

 

Pertama, syirik dalam
niat dan tujuan. Ini termasuk perbuatan yang samar karena niat terdapat dalam
hati dan yang mengetahuinya hanya Allah Ta’ala. Seperti seseorang yang
shalat dalam keadaan ingin dilihat (riya’) atau didengar (sum’ah)
orang lain. Tidak ada yang mengetahui perbuatan seperti ini kecuali Allah 
Ta’ala.

 

Kedua, syirik yang tidak
diketahui oleh kebanyakan manusia. Syirik seperti ini adalah seperti syirik
dalam ucapan (selain perkara i’tiqod / keyakinan). Syirik semacam
inilah yang akan dibahas pada kesempatan kali ini. Karena kesamarannya lebih
dari jejak semut yang merayap di atas batu hitam di tengah kegelapan malam.
Oleh karena itu, sedikit sekali yang mengetahui syirik seperti ini secara
jelas. (Lihat I’anatul Mustafid bisyarh Kitabut Tauhid, hal. 158,
Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan)

 

Berikut
ini akan disebutkan beberapa contoh syirik yang masih samar, dianggap remeh,
dan sering diucapkan dengan lisan oleh manusia saat ini. 



Mencela Makhluk yang Tidak Dapat Berbuat Apa-apa 



Perbuatan seperti ini banyak dilakukan oleh kebanyakan manusia saat ini
–barangkali juga kita-. Lidah ini begitu mudahnya mencela makhluk yang tidak
mampu berbuat sedikit pun, seperti di antara kita sering mencela waktu, angin,
atau pun hujan. Misalnya dengan mengatakan, 

‘Bencana
ini bisa terjadi karena bulan ini adalah bulan Suro’ atau mengatakan ‘Sialan!
Gara-gara angin ribut ini, kita gagal panen’ atau dengan mengatakan
pula, ‘Aduh !! hujan lagi, hujan lagi’.

 

Lidah ini begitu mudah mengucapkan perkataan seperti itu. Padahal makhluk yang
kita cela tersebut tidak mampu berbuat apa-apa kecuali atas kehendak Allah.


 

Mencaci
mereka pada dasarnya telah mencaci, mengganggu dan menyakiti yang telah 
menciptakan
dan mengatur mereka yaitu Allah Ta’ala.

 

Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Allah Ta'ala berfirman, ‘Manusia
menyakiti Aku; dia mencaci maki masa (waktu), padahal Aku adalah pemilik
dan pengatur masa, Aku-lah yang mengatur malam dan siang menjadi silih
berganti.’ ” (HR. Bukhari dan Muslim). 

 

Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,”Janganlah kamu
mencaci maki angin.” (HR. Tirmidzi, beliau mengatakan hasan shohih)

Dari
dalil-dalil ini terlihat bahwa mencaci maki masa (waktu), angin dan makhluk
lain yang tidak dapat berbuat apa-apa adalah terlarang. Larangan ini
bisa termasuk syirik akbar (syirik yang mengeluarkan seseorang
dari Islam) jika diyakini makhluk tersebut sebagai pelaku dari sesuatu yang
jelek yang terjadi. 

 

Meyakini
demikian berarti meyakini bahwa makhluk tersebut yang menjadikan baik dan buruk
dan ini sama saja dengan menyatakan ada pencipta selain Allah. Namun, jika
diyakini yang menakdirkan adalah Allah sedangkan makhluk-makhluk tersebut bukan
pelaku dan hanya sebagai sebab saja, maka seperti ini termasuk keharaman,
tidak sampai derajat syirik. 

 

Dan
apabila yang dimaksudkan cuma sekedar pemberitaan, -seperti mengatakan,’Hari
ini sangat panas sekali, sehingga kita menjadi capek’-, tanpa tujuan
mencela sama sekali maka seperti ini tidaklah mengapa.

 

Bersumpah dengan menyebut Nama selain Allah 



Bersumpah dengan nama selain Allah
juga sering diucapkan oleh orang-orang saat ini, seperti ucapan, 

 

‘Demi
Nyi Roro Kidul’ atau ‘Aku bersumpah dengan nama ...’. Semua
perkataan seperti ini diharamkan bahkan termasuk syirik.
Karena hal tersebut menunjukkan bahwa dalam hatinya mengagungkan selain Allah
kemudian digunakan untuk bersumpah. 

 

Padahal
pengagungan seperti ini hanya boleh diperuntukkan kepada Allah Ta’ala
semata. Barangsiapa mengagungkan selain Allah Ta’ala dengan suatu
pengagungan yang hanya layak diperuntukkan kepada Allah Ta’ala, maka
dia telah terjatuh dalam syirik akbar (syirik yang
mengeluarkan seseorang dari Islam). 

 

Namun,
apabila orang yang bersumpah tersebut tidak meyakini keagungan sesuatu yang
dijadikan sumpahnya tersebut sebagaimana keagungan Allah Ta’ala, maka
dia telah terjatuh dalam syirik ashgor (syirik kecil yang
lebih besar dari dosa besar).

 

Berhati-hatilah
dengan bersumpah seperti ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah bersabda yang artinya,”Barangsiapa bersumpah dengan nama selain
Allah, maka ia telah berbuat kekafiran atau kesyirikan.” (HR. Tirmidzi dan
Hakim dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Shohihul Jaami’)

 

Menyandarkan nikmat kepada selain Allah 



Perbuatan ini juga dianggap sepele
oleh kebanyakan orang saat ini. Padahal menyandarkan nikmat kepada selain Allah
termasuk syirik dan kekufuran kepada-Nya. Allah Ta’ala mengatakan
tentang orang yang mengingkari nikmat Allah dalam firman-Nya yang artinya, 
”Mereka
mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka mengingkarinya dan kebanyakan mereka
adalah orang-orang yang kafir.” (An Nahl: 83)

 

Menurut
salah satu penafsiran ayat ini : ‘Mereka mengenal berbagai nikmat Allah (yaitu
semua nikmat yang disebutkan dalam surat An Nahl) dengan hati mereka, namun 
lisan
mereka menyandarkan berbagai nikmat tersebut kepada selain Allah. Atau
mereka mengatakan nikmat tersebut berasal dari Allah, akan tetapi hati mereka
menyandarkannya kepada selain Allah’.

 

Menyandarkan
nikmat kepada selain Allah termasuk syirik karena orang yang menyadarkan nikmat
kepada selain Allah berarti telah menyatakan bahwa selain Allah-lah yang telah
memberikan nikmat (ini termasuk syirik dalam tauhid rububiyah). Dan ini juga
berarti dia telah meninggalkan ibadah syukur. Meninggalkan syukur berarti telah
menafikan (meniadakan) tauhid. Setiap hamba mempunyai kewajiban untuk bersyukur
atas nikmat yang telah Allah berikan.

 

Contoh
dari hal ini adalah mengatakan ‘Rumah ini adalah warisan dari ayahku’.
Jika memang cuma sekedar berita tanpa melupakan Sang Pemberi Nikmat yaitu
Allah, maka perkataan ini tidaklah mengapa. Namun, yang
dimaksudkan termasuk syirik di sini adalah jika dia mengatakan
demikian dan melupakan Sang Pemberi Nikmat yaitu Allah Ta’ala.

 

Marilah
kita berusaha tatkala mendapatkan nikmat, selalu bersyukur pada Allah dengan
memenuhi 3 rukun syukur, yaitu: 

 

[1]
Mensykuri nikmat tersebut dengan lisan, 

[2]
Mengakui nikmat tersebut berasal dari Allah dengan hati, dan 

[3]
Berusaha menggunakan nikmat tersebut dengan melakukan ketaatan kepada Allah.
 (Lihat I’anatul Mustafid, hal. 148-149 dan Al Qoulul Mufid
‘ala Kitabit Tauhid, II/93)

 

Perbaikilah
Diri

 

Jarang
sekali manusia mengetahui bahwa hal-hal di atas termasuk kesyirikan dan 
kebanyakan
orang selalu menyepelekan hal ini dengan sering mengucapkannya.

 

Padahal
Allah Ta’ala telah berfirman yang artinya, ”Sesungguhnya Allah
tidak mengampuni dosa syirik, dan dia mengampuni dosa yang berada di bawah
syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. (QS. An Nisa [4]: 116).

 

Oleh
karena itu, sangat penting sekali bagi kita untuk mempelajari aqidah di mana
perkara ini sering dilalaikan dan jarang dipelajari oleh kebanyakan manusia.
Aqidah adalah poros dari seluruh perkara agama. Jika aqidah telah benar, maka
perkara lainnya juga akan benar. Jika aqidah rusak, maka perkara lainnya juga
akan rusak.

 

Hendaknya
pula kita memperbaiki diri dengan selalu memikirkan terlebih dahulu apa yang
kita hendak ucapkan. Ingatlah sabda Nabi yang mulia shallallahu ‘alaihi wa
sallam, ”Boleh jadi seseorang mengucapkan suatu kata yang diridhai
Allah namun tidak ia sadari, sehingga karena ucapannya ini Allah mengangkat
derajatnya. Namun boleh jadi seseorang mengucapkan suatu kata yang dimurkai
Allah dan tidak ia sadari, sehingga karena ucapannya ini Allah memasukkannya
dalam neraka.” (HR. Bukhari)

 

Jika
kita sudah terlanjur melakukan syirik yang samar ini, maka leburlah dengan do’a
yang pernah diucapkan Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam: 

 

’Allahumma
inni a’udzubika an usyrika bika sya’an wa ana a’lamu wa astaghfiruka minadz
dzanbilladzi laa a’lamu’ 

 

(Ya
Allah, aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan menyukutakan-Mu dengan sesuatu
padahal aku mengetahuinya. Aku juga memohon ampunan kepada-Mu dari kesyirikan
yang tidak aku sadari) (HR. Ahmad).

 

***

Penulis:
Muhammad Abduh Tuasikal

 

Artikel http://pengusahamuslim.com

http://www.pengusahamuslim.com/belajar-islam/aqidah/562-syirik-yang-sering-diucapkan.html




      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke