Demi Masa Depan, Penuhi 7 Kebutuhan Emosional Anak
Tidak  terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan emosional seorang anak,  dapat  
menghalangi masa depannya. Anak yang ‘tangki’ emosionalnya selalu   terpenuhi, 
biasanya, lebih ulet dan cenderung tidak banyak bergantung   kepada teman 
sebayanya. Selain itu, dia juga akan lebih percaya diri  dan  menjadi orang 
dewasa yang bertanggungjawab. Apa sajakah kebutuhan   emosional anak?
Sebagaimana dinyatakan Wes Fleming, seorang pakar parenting,  di dalam bukunya 
Raising Children on Purpose –seperti dilansir  situs www.parentguidenews.com–,  
 
anak setidaknya memiliki tujuh kebutuhan emosional. Ketujuh kebutuhan   
tersebut 
terangkum dalam kata PARENTS (dalam Bahasa Inggris berarti   orangtua), yaitu 
Protection (perlindungan), Acceptance (penerimaan/dukungan), Recognition 
(pengakuan/penghargaan), Enforced limits (terlaksananya batasan-batasan 
aturan), 
Nearness (kedekatan), Time (waktu), dan Support (sokongan).
Protection(perlindungan)
Anak-anak sangat membutuhkan perasaan aman  dan nyaman. Mereka  membutuhkan 
rumah yang apabila terjadi konflik di  dalamnya bisa dengan  segera 
terselesaikan, rumah yang mana penghuninya  saling menghormati,  dan rumah di 
mana tingkah laku orangtua bisa  diprediksi dan terpercaya.  Di dalam rumah 
tersebut, sifat saling percaya  tumbuh subur, di mana  anak-anak tahu bahwa 
mereka bisa mendatangi ibu,  ayah, atau orang-orang  yang merawat mereka untuk 
mendapatkan kasih  sayang dan dukungan, kapan  saja.
…Anak-anak sangat  membutuhkan perasaan aman dan nyaman. Mereka  membutuhkan 
rumah yang  apabila terjadi konflik di dalamnya bisa dengan  segera 
terselesaikan…
Tanpa atmosfer saling percaya, kedekatan dan interdependensi   keluarga akan 
mendapatkan hambatan yang berarti untuk didapatkan, jika   tidak ingin 
dikatakan 
mustahil. Dan ketika orangtua berjuang merawat   anak-anak mengikuti irama mood 
yang fluktuatif, kemarahan   meledak-ledak, atau kegelisahan kronis, maka 
anak-anak akan merasa   diabaikan, tidak dicintai, dan penuh ketakutan. 
Anak-anak juga tidak   mampu untuk mengerti secara sepenuhnya, dan tidak bisa 
menerima   alasan-alasan baik orangtua yang disibukkan persoalan tagihan atau   
kemarahan terhadap pasangannya.
Pada kenyataannya Islam juga  mengajarkan konsep perlindungan anak.  Dalam 
artikelnya, Perlindungan  Anak dalam Konsep Islam, Taufik  Hidayat SH, menulis, 
afirmasi  perlindungan anak dalam Islam dapat  ditelusuri secara jelas dari 
hadits “Cukup  berdosa seorang yang  mengabaikan orang yang menjadi 
tanggungannya.” (HR. Abu Dawud,  An-Nasa’i, dan Al-Hakim)
Hadits tersebut turun (asbab  al-wurud) disebabkan adanya  penelantaran 
terhadap 
anak. Dengan  demikian, Islam melarang terjadinya  penelantaran terhadap anak, 
karena  mengabaikan perlindungan kepadanya  yang merupakan salah satu bentuk  
kekerasan terhadapnya.
Isyarat perlindungan anak yang dikehendaki  Allah SWT tertuang dalam  
firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman,  hendaklah kamu menjadi  orang-orang 
yang selalu menegakkan (kebenaran)  karena Allah, menjadi  saksi dengan adil. 
Dan janganlah sekali-kali  kebencianmu terhadap  sesuatu kaum, mendorong kamu 
untuk berlaku tidak  adil. Berlaku adillah,  karena adil itu lebih dekat kepada 
takwa. Dan  bertakwalah kepada  Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa 
yang  kamu perbuat.” (Al-Ma’idah 8)
Ayat di atas turun berawal dari  peristiwa yang menimpa An-Nu’man bin  Basyir. 
Suatu ketika, An-Nu’man  bin Basyir mendapatkan sesuatu  pemberian dari 
ayahnya, 
kemudian Ummi  Umrata binti Rawahah berkata “Aku  tidak akan ridha sampai 
peristiwa ini  disaksikan oleh Rasulullah.”  Persoalan itu kemudian dibawa ke 
hadapan  Rasulullah SAW untuk  disaksikan. Rasul kemudian berkata “Apakah semua 
 
anakmu mendapat  pemberian yang sama?” Ayah An-Nu’man menjawab,  “Tidak”. 
Beliau  
berkata lagi, “Takutlah engkau kepada Allah dan  berbuat adillah  engkau kepada 
anak-anakmu.”
Sebagian perawi  menyebutkan bahwa beliau bersabda, “Sesungguhnya  aku tidak 
mau  
menjadi saksi dalam kecurangan.” Mendengar jawaban  itu lantas ayah  An-Nu’man 
pergi dan membatalkan pemberian kepada  An-Nu’man. (HR. Bukhari  dan Muslim).
…Anak yang tidak mendapatkan  perlindungan, tidak kepercayaan, dan  perhatian 
orang dewasa, maka dia  akan bereaksi dengan penuh perasaan  terluka dan dendam…
Esensi ayat tadi adalah semangat menegakkan keadilan dan   perlindungan 
terhadap 
anak. Anak yang tidak mendapatkan perlindungan,   tidak kepercayaan, dan 
perhatian orang dewasa, maka dia akan bereaksi   dengan penuh perasaan terluka 
dan dendam.
Acceptance(dukungan)
Anak-anak sangat membutuhkan dukungan dan  penerimaan yang baik.  Mereka 
membutuhkan dua hal tersebut dari  teman-teman, para guru,  pengasuh, pelatih, 
dan pendidik mereka. Dan  terlebih lagi, mereka  membutuhkan dukungan dari 
orangtua mereka.  Anak-anak sangat  menginginkannya, meski mereka memiliki  
keterbatasan-keterbatasan  alamiah, ketidaksempurnaan fisik, dan  
perbedaan-perbedaan prestasi dan  prestise. Bagaimanapun kondisi setiap  anak, 
mereka tetap layak  mendapatkan cinta.
Segenap respons kita  atas kebutuhan anak-anak kita akan dukungan  menjadi 
sumber utama  pemahaman diri mereka. Kita merupakan cermin  pertama yang 
dipandangi  anak-anak kita. Mereka memandangi wajah-wajah  kita dan melihat 
sebuah  refleksi betapa mereka sangat berharga dan  bernilai, sehingga mereka  
merasa akan diberi dukungan —atau mungkin  sebaliknya.
Apabila  respons dan dukungan kita kepada anak disertai kesabaran dan   
penghormatan, maka paradigma terhadap dirinya pun positif. Namun  apabila  kita 
seringkali mengkritik anak dan bersikap kasar kepadanya,  maka  pemahaman 
terhadap dirinya pun akan negatif; mengakibatkan  rendahnya  kepercayaan diri, 
dan berkorespondensi dengan lingkungan  secara  destruktif.
Islam telah lama mengatur hal ini. Perhatian dan  dukungan orangtua  kepada 
anak-anak semasa kecil menjadi sebuah kewajiban  dalam ajaran  Islam. Allah 
berfirman, “Dan berilah aku kebaikan yang  akan  mengalir sampai kepada anak 
cucuku. Sungguh, aku bertobat kepada-Mu  dan  sungguh, aku termasuk orang 
muslim.” (Al-Ahqaf: 15).
…orangtua  yang baik senantiasa memohon kepada Allah agar bisa  mencurahkan  
kebaikan kepada anak cucu, demi mendukung perkembangan dan  pertumbuhan  mereka…
Ayat tersebut mengindikasikan bahwa orangtua  yang baik senantiasa  memohon 
kepada Allah agar bisa mencurahkan  kebaikan kepada anak cucu,  demi mendukung 
perkembangan dan pertumbuhan  mereka. Anak adalah amanah  dari Allah yang 
dititipkan kepada orang tua  supaya mereka dididik  dengan baik, diberi nama 
dengan baik, diberi  pendidikan dengan  secukupnya, diajarkan dasar-dasar 
pendidikan Islam dan  halal-haram,  baik dan buruk serta akhlak yang mulia. 
Jelas, semua ini  adalah sebuah  perhatian dan dukungan paripurna untuk anak, 
seperti  diinstruksikan  Islam.
Dalam Al-Qur’an Allah berfirman yang  artinya, “Hai orang-orang  beriman, 
peliharalah dirimu dan keluargamu  dari api neraka yang bahan  bakarnya adalah 
manusia dan batu.” (At-Tahrim: 6)
Recognition(pengakuan/penghargaan)
Anak akan merasa sangat kecewa dan  hancur jika dia dianggap gagal di  mata 
orangtuanya. Meskipun hasrat  mereka tersembunyi, anak-anak Anda  memendam 
kerinduan mendalam untuk  menyenangkan dan mendapat penghargaan  Anda. Mereka 
sangat ingin  mendengar orangtua mereka berkata, “Saya  sangat bangga kepadamu. 
 
Pekerjaan yang bagus. Saya sangat menghargai  kamu.” Artinya, mereka  sangat 
ingin merasakan restu dan apresiasi Anda.
Oleh karena itu,  Rasulullah SAW selalu membuat anak-anak bergembira  dan 
merasa 
berharga,  antara lain dengan menyambut anak dengan baik,  mencium dan bercanda 
 
dengan mereka, mengusap kepala mereka, menggendong  dan memangku mereka,  
menghidangkan makanan yang baik, makan bersama  mereka, membangun  kompetisi 
sehat dan memberi imbalan kepada  pemenangnya.
…Rasulullah  SAW selalu membuat anak-anak bergembira dan merasa  berharga, 
antara  lain dengan menyambut anak dengan baik, mencium dan  bercanda dengan  
mereka, mengusap kepala mereka, dsb…
Umumnya  manusia, apalagi anak-anak, suka berlomba. Rasulullah pun  suka 
membuat  
anak-anak berlomba, misalnya ketika beliau membariskan  Abdullah,  Ubaidillah, 
dan anak-anak ‘Abbas lainnya, lalu bersabda, “Siapa  yang  mampu membalap saya, 
dia bakal dapat ini dan itu …” Maka  mereka pun  berlomba membalap Rasulullah 
SAW sehingga berjatuhan di atas  dada dan  punggung beliau. Setelah itu mereka 
diciumi dan dipegangi  oleh beliau.
Karena biasanya, jika rasa menghargai dan apresiasi itu lenyap dari   rumah, 
maka anak-anak akan kehilangan harapan dalam menerima penghargaan   apa pun 
dari 
orang lain. Hasilnya, beberapa anak biasanya suka  cemberut  dan bertabiat suka 
mengejek orang lain. Anak-anak yang  memiliki harapan  tinggi dan jarang 
mendapatkan afirmasi, biasanya  tumbuh menjadi  anak-anak yang rewel dan suka 
mengomel. Logika emosional  mereka berkata  bahwa jika mereka tidak mampu 
merebut restu dan  penghargaan orangtua  mereka, maka mereka memiliki 
kekurangan 
dalam  diri. Mereka berkesimpulan  bahwa mereka tidak cukup baik atau bagus.
Kemudian ketika  beranjak dewasa, mereka kerap mendorong orang untuk  
menyenangkan orang  lain, agar meraih apa yang tidak didapatkan mereka  ketika 
kecil. Atau  mereka akan menunjukkan kebiasaan bekerja  berlebihan, berusaha 
dengan  penuh dendam untuk membuktikan kepada orang  lain bahwa mereka baik dan 
 
bagus.
Secara paradoks, ketiadaan pengakuan pada masa kanak-kanak  bisa  menyebabkan 
anak-anak –ketika dewasa— menjadi menjalani kehidupan  tidak  produktif dan 
tidak berprestasi. Perasaan kekurangan dalam diri  mampu  menimbulkan sikap 
menunda-nunda pekerjaan yang kronis, tidak mampu   mengemban tanggung jawab, 
dan 
memiliki sifat mudah menyerah.
Enforced  limits (terlaksananya  batasan-batasan aturan)
Anak-anak  membutuhkan peraturan dan batasan-batasan yang mengatur  kehidupan  
mereka secara wajar, sebagai mereka membutuhkan berbagai  peraturan  ketika 
bermain sepakbola. Tanpa adanya aturan, anak bisa  putus asa,  hidup tanpa arah 
yang jelas, dan penuh ketakutan. Tanpa  adanya disiplin  yang penuh kasih 
sayang, anak-anak akan merasakan  ketiadaan proteksi dan  perawatan dari 
orangtua mereka.
…Anak-anak  membutuhkan peraturan dan batasan-batasan yang mengatur  kehidupan 
mereka  secara wajar…
Anak-anak terbiasa ber-acting dalam  tingkah laku mereka.  Hal itu merupakan 
cara mereka untuk  mengekspresikan kebutuhan akan  struktur dan keselamatan 
dalam  kondisi-kondisi yang mereka rasakan  penuh kekacauan, tidak terduga, dan 
 
lingkungan yang mengancam. Makanya,  dalam beberapa hal, anak benar-benar  
memohon adanya disiplin.
Arahan dan peraturan yang tegas  merefleksikan kemauan kita untuk  menolong 
anak-anak menemukan kontrol  yang mereka cari. Menerapkan  peraturan dan 
membiasakan disiplin kepada  anak-anak dapat membantunya  untuk kelak taat 
kepada peraturan-peraturan  yang ditetapkan Allah dan  Rasul-Nya. Karena Islam 
sangat meniscayakan  ketaatan dan disiplin para  pemeluknya terhadap Al-Qur’an 
dan Sunnah  Rasul.
Dalam ajaran Islam banyak ayat Al-Qur’an dan Hadits yang   memerintahkan 
disiplin dalam arti ketaatan pada peraturan yang telah   ditetapkan. Allah 
berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah   Allah dan taatilah Rasul 
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian   jika kamu berlainan Pendapat 
tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia   kepada Allah (Al Quran) dan Rasul 
(sunnahnya), jika kamu benar-benar   beriman kepada Allah dan hari kemudian. 
yang demikian itu lebih utama   (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa’ 
59)
Atau  perintah agar disiplin dan memerhatikan waktu. Allah kerap kali   
menyatakan dengan berbagai penyebutan waktu di dalam Al-Qur’an,   misalnya: 
Wal-Fajri (demi waktu shubuh), Wadh-Dhuha (demi waktu   pagi), Wan-Nahar (demi 
waktu siang), Wal-‘Ashr (demi  waktu  sore), Wal-Lail (demi waktu malam).
Dari catatan  perjalanan sejarah Islam, kita juga dapat memperoleh  pelajaran 
penting  tentang kedisiplinan. Ketika Rasulullah dan para  sahabat beliau  
menghadapi musuh pada Perang Uhud, ada sebagian pasukan  yang ditugaskan  untuk 
menempati posisi penting dalam strategi perang  rancangan  Rasulullah 
mengabaikan perintah dan tugas yang telah  diberikan. Akibat  tindakan 
indisipliner, pasukan Islam pada perang  tersebut mengalami  kekalahan besar 
menghadapi tentara kafir Quraisy  Makkah.
…Disiplin  adalah kunci sukses, sebab dalam disiplin akan tumbuh  sifat yang 
teguh  dalam memegang prinsip, tekun dalam usaha, pantang  mundur dalam  
kebenaran, dan rela berkorban untuk kepentingan Islam…
Itu  hanya sebagian contoh dari kasus ketidakdisiplinan dalam perang,  tentu  
kita bisa memastikan akibat yang sama dalam aspek-aspek lain.  Disiplin  adalah 
kunci sukses, sebab dalam disiplin akan tumbuh sifat  yang teguh  dalam 
memegang 
prinsip, tekun dalam usaha, pantang mundur  dalam  kebenaran, dan rela 
berkorban 
untuk kepentingan Islam.
Nearness (kedekatan)
Memeluk, memegang, dan bahkan permainan  gulat penuh kasih sayang  dengan anak 
Anda dapat mendepositokan  sensasi-sensai kenangan akan  kenyamanan dan 
keamanan 
dalam kehidupan.  Kemungkinan besar, cara paling  mujarab untuk memberi jaminan 
kepada  anak-anak bahwa mereka dicintai  dan merasa aman adalah menggendong dan 
 
memeluk mereka. Jari dan tangan  Anda memberi anak perasaan terlindungi,  
kenyamanan, dan penghargaan.
Kedekatan orangtua juga memberi  anak-anak pengetahuan bahwa mereka  sangat 
bernilai, sehingga mereka  harus digendong dan dipeluk. Kasih  sayang itu 
mengatakan, “Nak, engkau  begitu kusayangi, sehingga aku  selalu ingin 
menggendongmu, dan membuatmu  nyaman.”
Pun demikian dengan Rasulullah yang begitu pengasih dan  penyayang  kepada 
anak-anak. Ketika Nabi Muhammad SAW melewati rumah  putrinya,  yaitu Fatimah, 
beliau mendengar Al-Husain sedang menangis,  maka beliau  berkata kepada 
Fatimah, “Apakah engkau belum mengerti  bahwa  menangisnya anak itu 
menggangguku?” Lalu beliau memangku  Al-Husain  di atas lehernya dan berdoa, 
“Ya 
Allah, sesungguhnya aku  cinta  kepadanya, maka cintailah dia.” Lalu ketika 
Rasulullah sedang   berada di atas mimbar, Al-Hasan tergelincir. Lantas beliau 
pun turun   dari mimbar dan merangkul anak tersebut.
…Rasulullah  pun tak jarang memanggil anak-anak dengan nama panggilan  penuh 
kasih  sayang, untuk membangun kedekatan dengan mereka…
Rasulullah  pun tak jarang memanggil anak-anak dengan nama panggilan  penuh 
kasih  sayang, untuk membangun kedekatan dengan mereka.  Bermacam-macam cara  
beliau memanggil anak, tujuannya untuk menarik  perhatian dan membuat  anak 
siap 
mendengar apa yang hendak dipesankan.  Panggilan semisal nughair (si burung 
pipit), ghulam (anak, berarti: “wahai anakku”), Zuwainib (Zainab kecil), dan  
lain sebagainya.
Time (waktu)
Anak-anak sangat membutuhkan waktu, baik dari segi kualitas dan   kuantitas. 
Relasi orangtua-anak yang baik membutuhkan perhatian terfokus   (kualitas) dan 
banyaknya waktu yang dihabiskan bersama (kuantitas).   Bersenang-senang dengan 
anak-anak kita sangat sederhana, hanya dengan   bermain-main bersama mereka, 
kemudian kirimlah pesan kepada mereka,   “Kamu sungguh menarik, menyenangkan, 
dan berharga.”
Tidak cukup  bagi anak-anak Anda untuk mengetahui bahwa Anda ada di  sekitar 
mereka;  tapi mereka juga harus tahu bahwa kita begitu menikmati  ada bersama  
mereka. Ketika Anda mengejar anak-anak dalam sebuah  permainan, tertawa  
bersama, menggelitiki, dan menggoda mereka, maka  kehadiran Anda sangat  
dirasakan oleh mereka.
Kesibukan Anda dalam bekerja atau  mengurusi tugas-tugas domestik,  tidak 
menjadi penghalang untuk  bercengkerama dengan anak-anak. Karena  persoalan 
tidak terletak pada  minimnya waktu yang Anda miliki, tapi  lebih kepada 
bagaimana Anda  menghabiskan waktu tersebut. Sah-sah saja  Anda bekerja, atau 
merapikan  rumah, memasak, mencuci, menyetrika, dan  lain-lain, tapi harus 
diingat  bahwa anak-anak pun membutuhkan Anda.
Support (dukungan)
Sebagaimana anak-anak membutuhkan dukungan dan bantuan secara fisik   ketika 
mereka belajar berjalan pertama kali, mereka juga membutuhkan   dukungan 
emosional ketika –misalnya— ‘berjalan’ menapaki masa depan,   seiring dengan 
bertambahnya usia mereka. Berlawanan dengan keyakinan   kebanyakan orang, yang 
menyatakan bahwa remaja tidak membutuhkan bantuan   dan ingin independen, 
sejatinya mereka menginginkan dukungan.
…Berilah  anak Anda kebebasan untuk tumbuh, selama tidak menyelisihi   
aturan-aturan yang diterapkan, berdasarkan prinsip-prinsip Islam…
Berilah anak Anda kebebasan untuk tumbuh, selama tidak menyelisihi   
aturan-aturan yang diterapkan, berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Dan   biarkan 
mereka tahu bahwa Anda siap mengulurkan bantuan dan dukungan   kepada mereka.
Demikianlah, memenuhi tujuh kebutuhan emosional  anak-anak sejatinya  
meletakkan 
dasar bagi masa depan mereka. Cinta dan  kasih sayang mampu  mengembangkan 
kapasitas kepercayaan, yang pada  gilirannya membekali  anak-anak dengan 
berbagai piranti yang mereka  butuhkan untuk  menanggulangi permasalahan di 
masa 
mendatang. Jika  ‘tangki’ emosional  anak-anak terpenuhi, maka mereka siap 
untuk 
meniti  jalan sukses di   masa depan. Semoga! [ganna pryadha/voa-islam.com]

http://voa-islam.com/muslimah/pendidikan/2010/07/13/8080/demi-masa-depanpenuhi-7-kebutuhan-emosional-anak/


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke