http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=145889

  
[ Senin, 19 Juli 2010 ] 


Hakikat Menghadap Kiblat 

Oleh Hasibullah Satrawi



DALAM waktu yang hampir bersamaan, ada dua berita besar yang sangat mengguncang 
kehidupan umat Islam Indonesia. Pertama, berita perubahan arah kiblat. Kedua, 
berita dugaan korupsi dalam penyelenggaraan ibadah haji. Bahkan, berita pertama 
menghiasi halaman depan koran terbesar di Timur Tengah, Ash-Sharq Al-Awsat 
(17/7).

Mungkin meledaknya dua berita besar itu dalam waktu yang hampir bersamaan 
hanyalah kebetulan. Tapi, bisa juga fakta tersebut dimaknai sebagai rencana 
Ilahi untuk menciptakan perubahan besar dalam kehidupan umat Islam Indonesia. 
Pertimbangannya, hal pertama (kiblat=salat) sangat menentukan keselamatan umat 
Islam di akhirat. Lalu, hal kedua (korupsi) sangat memengaruhi kebaikan hidup 
umat Islam di dunia. 

Menghadap Kiblat 

Terkait dengan fakta tersebut, ada tiga hal yang bisa dilakukan umat Islam. 
Pertama, memperbaiki arah kiblat secara ritual saat melaksanakan salat. Sesuai 
dengan fatwa terakhir Majelis Ulama Indonesia (MUI), umat Islam Indonesia harus 
menjalankan salat dengan mengarah ke barat laut. 

Secara fikih, sebenarnya perubahan dalam fatwa MUI tidak terlalu dibutuhkan. 
Sebab, kewajiban umat Islam hanyalah menunaikan salat dengan menghadap arah 
(syathrah) kiblat, bukan titik ('ain) kiblat secara mutlak dan kurat (sesuai 
dengan kandungan surat Al Baqarah: 144). 

Karena itu, pergeseran posisi tersebut tidak mewajibkan umat Islam Indonesia 
mengubah arah kiblat saat menunaikan salat. Kecuali, posisi kiblat bergeser 
secara radikal sehingga tak lagi mengarah ke barat (bagi umat Islam Indonesia), 
melainkan ke selatan, utara, bahkan timur. 

Dengan demikian, dapat ditegaskan, melakukan salat dengan mengarah ke barat 
seperti kebiasaan selama ini (atau agak serong sedikit) sama sahnya dengan 
mengarah ke barat laut (sebagaimana fatwa terakhir MUI). Hal yang jauh lebih 
penting untuk ditegaskan, fatwa MUI itu tidak boleh menjadi pemicu kontroversi 
di kalangan umat Islam Indonesia. Fatwa tersebut juga tidak boleh membuat umat 
Islam Indonesia saling menyalahkan dan memicu konflik.

Makna Spiritual 

Hal kedua adalah perubahan menghadap kiblat secara spiritual. Umat Islam memang 
diwajibkan melakukan salat dengan menghadap kiblat. Tapi, Islam tidak menyuruh 
umatnya menyembah Kakbah yang terbuat dari batu. Sebaliknya, umat Islam 
diwajibkan menyembah Allah yang tidak terikat dengan tempat, ruang, dan waktu, 
melainkan mengetahui semua tempat, ruang, dan waktu.

Secara spiritual, ajaran menghadap kiblat tak lain bertujuan membimbing umat 
agar senantiasa menghadapkan diri kepada Allah dengan seluruh jiwa-raga serta 
akal-pikiran sekaligus menyadari pengawasan Allah.

Karena itu, bila benar-benar menghadap kiblat, seorang muslim tidak akan pernah 
merasa punya ruang atau waktu kosong tanpa pengawasan Allah. Maka, seorang 
muslim yang benar-benar menghadap kiblat tidak akan pernah merasa punya ruang 
atau waktu kosong untuk melakukan keburukan, termasuk korupsi. Sebab, 
sesungguhnya Allah senantiasa hadir dan mengetahui semua ruang, tempat, dan 
waktu.

Sebuah riwayat menyebutkan, pada zaman dulu ada seorang tokoh besar yang 
menasihati anaknya agar tidak melakukan keburukan, kecuali di tempat yang tak 
diketahui Allah. Akhirnya, sang anak tak bisa melakukan keburukan apa pun 
karena tidak ada tempat, ruang, dan waktu yang terlepas dari pengawasan Allah 
SWT.

Tampaknya, masih sangat sedikit umat Islam Indonesia yang menjalankan ajaran 
menghadap ke kiblat secara sempurna, tak terkecuali kalangan pejabat yang 
mengurus penyelenggaraan ibadah haji. Buktinya, persoalan korupsi tidak kunjung 
selesai hingga hari ini. Belakangan, skandal korupsi justru berembus kencang 
dari lingkaran pejabat yang berkaitan dengan ibadah haji. Bahkan, ada sebagian 
pihak yang menjadikan uang hasil kejahatan seperti korupsi sebagai modal 
melaksanakan ibadah haji. 

Makna Sosial 

Hal ketiga adalah perubahan menghadap kiblat secara sosial. Setiap hari, 
setidaknya lima kali umat Islam menghadapkan diri ke kiblat melalui salat wajib 
lima waktu. Bila jumlah total umat Islam 1 miliar, ada 5 miliar kali wajah yang 
menghadap ke kiblat setiap hari. Jumlah tersebut jauh lebih banyak bila 
ditambah dengan salat-salat sunah.

Cukup disayangkan menghadap kiblat selama ini cenderung dilakukan untuk 
menggugurkan kewajiban ritual semata yang hampir tidak membekas secara sosial. 
Padahal, ajaran itu menyimpan potensi yang luar biasa secara sosial. Perubahan 
menghadap kiblat secara sosial pun menjadi kebutuhan mutlak ke depan; dari 
hanya menggugurkan kewajiban ritual menjadi menyuburkan makna sosial.

Salah satu makna sosial yang bisa ditumbuhkan melalui ajaran menghadap kiblat 
adalah upaya membangun kebersamaan dan kekompakan. Sejauh ini, kebersamaan dan 
kekompakan menjadi kelemahan paling mendasar bagi umat Islam. Mereka senantiasa 
terpecah belah karena perbedaan-perbedaan yang ada. Padahal, semua umat Islam 
tetap menghadap ke kiblat yang sama, apa pun aliran fikih dan pemikiran mereka. 
(*)

*) Hasibullah Satrawi, alumnus Al Azhar, Kairo, Mesir, dan peneliti di Moderate 
Muslim Society (MMS), Jakarta 

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke