Seorang Badui (bukan yang dari negeri Arab, melainkan yang dari Jawa Barat) dalam perjalanannya berjalan kaki kemalaman di sebuah dusun. Ia menumpang bermalam pada sebuah rumah di dusun itu. Yang empunya rumah menyodorkan bantal ke kepala tamunya itu. Orang Badui itu memindahkan bantal tersebut dari kepala ke kakinya. Ibarat kata pepatah, orang mengantuk disorongkan bantal, maka dengan segera orang Badui itu terlelap. Yang empunya rumah terheran-heran melihat orang Badui yang tidur lelap itu dengan kedua kakinya yang berbantal. Pagi-pagi keesokan harinya pada waktu menyuguhkan sarapan pagi ala kadarnya, yang empunya rumah bertanya kepada tamunya itu.
- Sobat, apakah memang demikian adat kebiasaan di kampung tempat asalmu, kedua kaki yang berbantal, bukan kepala? - Sebenarnya adat kebiasaan di kampung asal saya sama juga dengan adat kebiasaan orang di sini, kepala yang berbantal. Akan tetapi demi keadilan, karena kaki yang penat berjalan kaki sejauh itu, maka kakilah yang harus menikmati bantal. Kaki telah lebih banyak melaksanakan kewajibannya, sehingga kaki lebih berhak ketimbang kepala diberi berbantal, jawab orang Badui itu. - Oh, ya, itulah keadilan menempatkan sesuatu pada tempatnya dan mengeluarkan atau memindahkan sesuatu dari tempat yang bukan pada tempatnya. Saderek ini menempatkan bantal itu pada tempatnya yaitu di kaki dan memindahkan bantal itu dari kepala yang bukan pada tempatnya, berhubung karena kaki lebih banyak menjalankan kewajibannya. Dalam hal ini kriteria yang dipakai saderek untuk berlaku adil adalah keseimbangan antara kewajiban dengan hak, bergumam yang empunya rumah sambil manggut-manggut. Kata-katanya itu lebih ditujukan kepada dirinya sendiri ketimbang kepada tamunya itu. Wassalam, HMNA [Non-text portions of this message have been removed]