http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=149865

http://www.jawapos.co.id/imgs/jplogo2010.jpg

 

  Jum'at, 13 Agustus 2010 

  

  Opini 

[ Kamis, 12 Agustus 2010 ] 

Ba'asyir dan Pemikiran Radikal 

Oleh Yayan Sopyani Al Hadi

DALAM sebuah dialog di MetroTV (Selasa, 10/8), mantan Panglima Laskar Jihad
Ja'far Umar Thalib menyesatkan pemikiran-pemikiran radikal Amir Jamaah
Ansharut Tauhid (JAT) Abu Bakar Ba'syir. Dia bersaksi, pola pikir yang
digunakan dan disebarkan Ba'asyir menggunakan logika takfir. Artinya,
mengafirkan orang di luar kelompoknya. Ja'far menyebut mantan amir Majelis
Mujahidin Indonesia (MMI) dan pengikutnya itu sebagai generasi Khawarij.

Dari pernyataan Ja'far tersebut, dapat ditarik dua kesimpulan sekaligus.
Pertama, Ja'far mengingatkan bahaya laten kelompok Khawarij yang doyan
mengafirkan pihak lain. Dalam sejarah awal Islam, Khawarij muncul ketika
terjadi pergolakan politik antara pemimpin Islam yang sah, Ali bin Abi
Thalib, dan pemberontak Mu'awiyyah bin Abi Sufyan. 

Khawarij awalnya merupakan pendukung Imam Ali bin Abi Thalib. Namun, setelah
Imam Ali melakukan perjanjian dengan Muawiyyah, Khawarij menolak kesepakatan
damai (tahkim) tersebut dan keluar dari barisan Imam Ali. Khawarij berasal
dari kata kharaja yang berarti keluar.

Dengan menuduh melanggar hukum Tuhan, pengikut Khawarij membunuh Imam Ali
bin Abi Thalib dan bersembunyi di gurun-gurun pasir. Mereka melakukan
kekerasan terhadap umat Islam yang berbeda keyakinan dan pendapatnya. Tidak
jarang, tindakan mereka berakhir dengan pertumpahan darah. 

Kelompok Khawarij mengklaim sebagai satu-satunya juru bicara Islam yang
paling otoriter dibanding kelompok lain. Mereka mengutuk kelompok yang
dianggap telah melenceng dan meleset dari fondasi agama yang benar. Mereka,
dengan mengungkapkan hak istimewa lebih tinggi yang didasarkan pada
kebenaran agama, membenarkan tuntutan agar etika yang berlaku dalam
kelompoknya ditingkatkan menjadi suatu moralitas bersama. 

Mereka juga menuntut dogmanya dipaksakan dengan cara apa pun, temasuk
pembunuhan. Mereka berkeyakinan dan memastikan bahwa kebenaran agama yang
tunggal diturunkan dengan cara yang tidak bisa dipertanyakan.

Kaum Khawarij meyakini bahwa kebahagiaan dan kesempurnaan atau tujuan akhir
agama adalah monopoli satu golongan tertentu atau bisa dicapai dengan meniti
worldview (minhaj) dan the way of life (manhaj) kelompok tertentu. Kelompok
lain juga membawa hakikat dan kebenaran, tapi hanya ada satu pemahaman yang
membentangkan jalan kebahagiaan. 

Penganut ajaran kelompok lain, dalam pandangan Khawarij, walaupun
keberagamaannya baik dan akhlaknya benar dalam sisi kemanusiaan, mereka
tetap tidak bisa selamat. Karena itu, untuk meraih keselamatan, mereka harus
meraih jalan sebagaimana yang ditempuh kelompok Khawarij.

Argumentasi Khawarij itu didukung teologi fatalistik (aqidah jabariyah) yang
menyatakan bahwa wajib mengimani Allah, tapi tidak berdasar akal. Kewajiban
tersebut penting karena Allah telah memerintah kita untuk mengenali-Nya
melalui nash. Corak pembuktian teologis itu menciptakan daur ulang yang tak
berujung (circular reason). Imanilah Tuhan karena Tuhan telah
memerintahkannya dalam nash. Padahal, kita tidak tahu siapakah Tuhan itu(?).

Berbeda dari aliran Syiah yang menganggap kewajiban mengimani Allah dan
menaati segala perintah-Nya adalah kerja akal. Pengenalan terhadap Tuhan
harus didasari dan diawali oleh nalar rasional (aql burhani).

Aliran teologi jabariyah menyatakan bahwa keselamatan hanya terdapat dalam
lingkup karunia dan Inayah Ilahi. Ada pun upaya manusia (kasb) untuk
mencapai keselamatan itu dianggap sia-sia dan tidak akan berhasil. Karena
itu, konsekuensi dari keselamatan tersebut adalah harus mengetahui
manifestasi sumber keselamatan. 

Manifestasi itu hanya didapat dan hanya bisa diketahui dari pemahaman nash
yang tekstual. Tekstualisme merupakan episteme dengan metodologi pemikiran
tekstual-eksplanatif (bayani) yang menjadikan teks suci sebagai otoritas
penuh untuk memberikan arah dan arti kebenaran (Abed Al- Jabiry, 1991).

Para tekstualis itu memahami nash Alquran dan as-sunnah dengan berpegang
pada redaksi teks yang partikular dan terkurung pada lokalitas. Sementara
itu, akal, bagi mereka, hanya digunakan sebagai pengaman ototitas teks
tersebut. Karena itu, ketika berhadapan dengan teks lain atau pemahaman
terhadap teks yang berbeda, mereka mengambil sikap mental yang dogmatik,
defensif, dan apologetik. Begitu juga ketika berhadapan dengan the other
yang berwujud peradaban yang modern, kosmopolit, sekuler, rasional, dan
realitif, tindak kekerasan menjadi solusi terbaik bagi mereka untuk
menyelesaikan problem sosial. 

Apakah ide Khawarij Ba'asyir sebagaimana yang disebutkan Ja'far berkaitan
dengan teror seperti yang ditudingkan Mabes Polri? Tentu, dugaan
keterlibatan Abu Bakar Ba'asyir dalam gerakan terorisme di Indonesia menjadi
wilayah kepolisian. Dengan catatan, polisi tidak bisa menghakimi
pemikiran-pemikiran Ba'asyir, sebagaimana tidak bisa mengadili keyakinan
seseorang. Yang menjadi wilayah kepolisian adalah tindakan seseorang yang
berakibat melanggar hukum. 

Di sinilah letak tantangan bagi kepolisian. Jika kembali gagal membuktikan
keterlibatan Ba'asyir, integritas polisi dan pemerintah semakin luluh di
mata publik. Selain menimbulkan gejolak di masyarakat, kegagalan tersebut
akan menguatkan prasangka sebagian orang bahwa polisi diintervensi pihak
luar.

Kesimpulan kedua pernyataan Ja'far adalah terjadinya perbedaan pandangan di
antara sesama muslim tekstualis yang selama ini dikenal radikal. Tidak
jarang, perbedaan pemikiran tersebut berujung pada pertentangan dan konflik
internal. Hal itu menjadi bukti bahwa radikalisasi gerakan Islam yang
mengaku berdasar pada nash ternyata banyak faksi dan tidak monolitik.

Fakta tersebut juga menunjukkan bahwa tidak ada kelompok yang berhak mengaku
satu-satunya gerakan atau pembela Islam yang absah. Masih banyak wajah dan
warna Islam yang lain. Apalagi, gerakan Islam yang radikal bukan mainstream
di negeri ini.

Muhammadiyah dan NU, misalnya, menjadi cermin gerakan Islam yang menebarkan
kesejukan dan kedamaian serta diminati banyak orang. Dengan demikian,
menggeneralisasikan kaum muslim sebagai pelaku tindak kekerasan merupakan
kesalahan fatal. (*)

*) Yayan Sopyani Al Hadi, peneliti Pusat Studi Agama dan Peradaban/PSAP,
Jakarta 

  

http://www.jawapos.co.id/img_env/rowbottom.jpg

Copyright @2008 IT Dept. JawaPos 
Jl. Ahmad Yani 88, Surabaya 60234 Jawa Timur - Indonesia 
Phone. (031) 8283333 (Hunting), Fax. (031) 8285555 



 

 



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke