Ketika Pesona Sumedang Memanggil

 [image: sumedang]
<http://matanews.com/wp-content/uploads/sumedang.jpg>Sumedang,
Jawa Barat, jelas mempesona. Di tanah yang sama itulah Prabu Tadjimalela,
pendiri Kerajaan Sumedang Larang, nun ratusan tahun silam, jatuh hati pada
kecantikan wilayah itu dan berucap selalu pada tanah kelahirannya: *Insun
Medal, Insun Madangan*.

“Di sinilah aku dilahirkan dari tanah inilah aku menerangi.” Ucapannya bukan
tanpa alasan, daya pikat wilayah itu telah kuat sejak ratusan tahun lalu
bahkan jauh sebelum sebuah kerajaan besar penerus Pajajaran berdiri di
atasnya; Sumedang Larang.

Relif dan topografi tanah yang bergelombang justru menjadi kelebihan
tersendiri. Kawasan itu terapit sejumlah gunung api aktif mulai dari
Manglayang hingga Geulis yang menjadikan daratannya subur.

Kawasan yang semula bernama Himbar Buana itu disemati predikat Sumedang
berasal dari ungkapan jatuh hati Tadjimalela pada tempatnya dilahirkan: *Insun
Medal*.

Sumedang tidak berhenti mempesona sampai saat ini. Kecantikan alamnya
laksana sudah menjadi kodrat bahwa kawasan itu begitu membuat kangen
pendatang yang pernah mampir. Peradaban yang berkembang di atasnya kian
menjadikan kota itu sempurna sebagai daerah persinggahan wisata budaya.

Sumedang menawarkan beragam pengalaman wisata yang tidak pernah ada di
daerah lain mulai dari* agrotourism, ekowisata, culinary trip*, hingga
*adventure
tourism.*

Inilah Sumedang, kota kecil di selatan Indramayu, 45 km dari kota Bandung,
di persimpangan Bandung-Cirebon, tiga jam dari ibukota Indonesia, menawarkan
iklim lain kepada wisatawan yang ingin memanjakan paru-parunya dengan udara
yang masih perawan.

Sumedang memanggil dengan pesonanya. “Selamat datang di tanah kelahiranku,”
boleh jadi itulah yang akan disampaikan Prabu Tadjimalela kepada setiap
wisatawan yang mampir.

Ketika Sumedang memanggil tidak akan ada yang sanggup untuk menolak
berpaling. Kota ini memang sudah terbukti tak pernah kehilangan pesonanya
untuk menghipnotis wisatawan. Hutan Manglayang yang bernaung di kawasannya
menjadi daya tarik yang tak pernah habis direguk.

Dan jika ingin mendalami peradaban yang berkembang di dalamnya, Sumedang
adalah gudangnya. Kota itu memiliki ciri kota kuno khas Jawa Barat. Di
tengah kota terdapat alun-alun sebagai pusat kota yang dikelilingi Masjid
Agung, penjara, dan kantor pusat pemerintahan.

Di tengah alun-alun berdiri Monumen Lingga yakni sebuah tugu peringatan atas
jasa Pangeran Suriatmaja dalam mengembangkan Sumedang. Monumen itu dibangun
pada 1902 oleh Pemerintah Belanda dan kini menjadi lambang kebanggaan
Kabupaten Sumedang.

Bupati Sumedang, Don Murdono, berulang kali menegaskan bahwa daerahnya telah
siap menjadi destinasi wisata pilihan setelah Bandung. “Sumedang sudah
sangat layak dikunjungi wisatawan dan kami siap menjadi daerah tujuan wisata
di Jawa Barat,” katanya.

Bukan tanpa alasan, kota itu memiliki hampir semua yang dicari wisatawan
ketika melancong. Letaknya juga strategis tepat di persimpangan jalur wisata
Bandung-Cirebon.

Dinas Pariwisata dan Kebudayaan setempat sedang berupaya keras untuk
menjadikan Sumedang sebagai persinggahan wajib wisatawan yang melintas
antara Bandung-Cirebon.

Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten
Sumedang, Karsidi, mengatakan, pihaknya sedang dalam tahap mewujudkan
Sumedang sebagai daerah tujuan wisata.

“Kami berupaya meningkatkan arus kunjungan wisata ke Sumedang dengan
berbagai acara. Profil wisata daerah kami menawarkan obyek wisata alam,
budaya, minat khusus, dan atraksi lainnya,” katanya.

Meski terus berkembang tanpa henti, Sumedang tetap mempesona sebagai pusat
ekowisata. Lihat saja, kawasan Jatinangor dengan topografi yang bergelombang
sangat menarik untuk disambangi. Kisaran ketinggian 500-1.100 m dpl menjadi
tantangan tersendiri bagi wisatawan pecinta alam sekaligus penyuka
petualangan.

Jika tak puas menikmati kecantikan gunung Manglayang dan Geulis dari
ketinggian 500 m dpl, cobalah untuk sesekali naik. Meski hanya kendaraan
sejenis Land Rover saja yang mampu menaklukkan jalanan bak sungai kering,
tetapi itulah pengalaman yang dicari.

Kawasan Desa Wisata Sukasari, Kecamatan Sindangsari, Sumedang, misalnya,
menjadi salah satu yang paling ditawarkan. Topografi yang bergelombang
justru menjadi daya tawar tertinggi yang menjadikan kawasan itu paling
sesuai digunakan untuk wisata adrenalin trekking.

Menginaplah di penginapan sederhana untuk turut merasakan keramahan
masyarakat Bumi Pasundan. Mereka umumnya memiliki bintik-bintik merah di
pipi; timbunan *eritrosit*, akibat dinginnya udara di waktu pagi dan
tingginya kadar oksigen terlarut.

Itulah cermin masyarakat yang kenyang menghirup udara segar yang
menyehatkan. Di balik semua itu, masyarakat di kawasan itu mengerti betul
cara memanjakan wisatawan yang mampir.

Kesenian tradisional Tarawangsa diperdengarkan dengan irama yang romantis.
Musik adat itu dimetamorfosiskan dari semula kesenian pujian bagi Dewi Sri
saat panen, menjadi alunan selamat datang bagi wisatawan.

Sebagai alat musik gesek menyerupai kecapi, tarawangsa mampu memperdengarkan
lagu-lagu yang hanya dapat ditemukan di beberapa daerah tertentu di Jawa
Barat, yaitu di daerah Rancakalong (Sumedang),Cibalong, Cipatujah
(Tasikmalaya Selatan), Banjaran (Bandung), dan Kanekes (Banten Selatan).

Dua perangkat calung rantai dan suling yang dimainkan dalam laras pelog
menjadi pelengkap ditambah dengan nyanyian yang tak pernah bisa didengar di
pelosok manapun selain dari tempatnya berasal.

Menari dalam kesenian Tarawangsa bukan hanya merupakan gerak fisik
semata-mata, melainkan sangat berkaitan dengan hal-hal metafisik sesuai
dengan kepercayaan si penari. Oleh karena itu tidak heran apabila para
penari sering mengalami *trance *(tidak sadarkan diri).

Tarawangsa hanya salah satu dari sejuta lebih cerita di bumi kahyangan.
Masyarakat kawasan itu kaya dengan istiadat yang tak pernah habis
dipertontonkan.

Dalam kabut yang terasa sulit disibakkan, masyarakat mempersembahkan domba
garut hasil ternaknya untuk diadutangkaskan di hadapan pendatang.

“Domba tangkas merupakan domba garut kualitas unggul yang memenuhi kriteria
untuk mengikuti kontes dan seni ketangkasan domba garut,” kata Asep, salah
satu anggota Himpunan Peternak Domba dan Kambing Indonesia (HPDKI) di
wilayah itu.

Ia mengatakan, kontes dan seni ketangkasan domba garut telah sejak lama
menjadi budaya masyarakat Sunda, bahkan sekarang ini sudah dikenal luas
secara nasional.

HPDKI sendiri juga telah mengembangkan format kontes dan seni ketangkasan
domba garut menjadi kegiatan yang positif dan menarik.

Bahkan kegiatan itu dapat menjadi lokomotif pendorong budidaya peternakan
nasional, dan menariknya kegiatan ini dapat menjadi salah satu pilihan
investasi yang memberikan hasil yang berlipat ganda. Bayangkan, harga domba
tangkas papan atas bernilai puluhan juta rupiah.

Dua domba diadu-tangkaskan diiringi bunyian musik menjadi pengalaman
tersendiri. Sumedang telah menawarkan sisi lain kehidupan.

Pantas bila ketika pesona Sumedang memanggil, sulit bagi siapapun untuk
tidak berpaling.

Dan ketika pulang nanti jangan lupa untuk menenteng tahu sumedang, opak
cimanggung, conggean ketan bakar, ubi cilembu, sale pisang, sawo sukasari,
dan salak bongkot.  (an/ham)


-- 
Aldo Desatura ® & ©
================
Kesadaran adalah matahari, Kesabaran adalah bumi
Keberanian menjadi cakrawala dan Perjuangan Adalah pelaksanaan kata kata


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke