Penetrasi Internet Banyak Bergantung ISP Ilegal

BEBERAPA tahun belakangan pertumbuhan internet di Yogyakarta memang
selalu semarak. Antara tahun 1999 sampai 2002 pertumbuhan warung
internet atau warnet sangat pesat. Hampir di setiap sudut kota, kita
bisa menjumpai usaha warnet ini. Saat ini jumlah warnet yang hidup
di Yogyakarta diperkirakan sekitar 130 buah.

Maraknya perkembangan warnet ini tentu saja berdampak positif bagi
penyebaran internet dan mengikis kesenjangan teknologi informasi
(digital devide). Masyarakat dapat mengakses internet dan
mendapatkan informasi di internet dengan mudah. Perkembangan
internet yang pesat ini juga didorong oleh fakta kota Yogyakarta
sebagai kota pelajar. Banyak pelajar dan mahasiswa yang membutuhkan
fasilitas akses internet melalui warnet ini karena sambungan telepon
kabel masih sangat kurang, apalagi kalau harus menjangkau
kamar-kamar kos pada mahasiswa dan pelajar.

Perkembangan dunia internet ternyata tidak berhenti di sana.
Beberapa warnet yang merasa membutuhkan koneksi internet lebih baik
berinisiatif mengembangkan diri dan memberikan layanan jasa akses
internet, yang dalam kesehariannya sering disebut sebagai penyedia
jasa internet/internet service provider (ISP). Sampai pertengahan
tahun 2004 ini, tercatat di Yogyakarta ada sekitar 25 ISP, sementara
dari data yang dimiliki Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet
Indonesia (APJII), di Yogyakarta beroperasi 13 ISP yang telah
memiliki izin dari pemerintah (Direktorat Jenderal Pos dan
Telekomunikasi/ Ditjen Postel).

Perizinan ISP yang dikeluarkan oleh Ditjen Postel memang cukup
berlapis. Setelah memiliki izin usaha berupa PT, ISP harus mengurus
izin prinsip yang berlaku selama satu tahun. Untuk menjamin
kemampuan ISP memberikan layanan yang baik kepada masyarakat, Postel
akan melakukan uji laik operasi (ULO) dan, jika lulus, ISP akan
mendapatkan izin penyelenggaraan. Mulai tahun 2004, Postel juga
memberlakukan kontrak pengembangan yang diwujudkan dalam modern
licencing. Pada proses pengurusan izin di atas, semua perangkat yang
digunakan harus disertifikasi terlebih dahulu.

DALAM pelaksanaannya, ISP diwajibkan untuk membayar BHP
Penyelenggaraan Telekomunikasi sebesar satu persen dari pendapatan
operasional. Jika menggunakan wireless LAN 2,4 GHz, ISP harus
mengurus izin frekuensi untuk mendapatkan izin stasiun radio dan
akan dikenai BHP Frekuensi. ISP yang menggunakan koneksi via satelit
harus juga memiliki landing rights yang didapat dari Network Access
Provider (NAP).

Berlapisnya proses perizinan telekomunikasi bagi ISP sering kali
membuat ISP ciut nyalinya untuk melakukan pengurusan. Sebagian belum
berani mulai mengurus karena takut akan ada biaya siluman dalam
kepengurusan yang jumlahnya besar, meskipun pihak Postel sendiri
setiap melakukan sosialisasi selalu mengatakan bahwa biaya
pengurusan izin adalah nol rupiah.

Ketidakberesan izin yang dimiliki ISP di daerah menjadi terbukti
saat dilakukan penertiban, seperti yang dilakukan oleh Kantor Balai
Monitor Frekuensi Radio dan Orbit Satelit Kelas II Yogyakarta pada
tanggal 15 dan 16 September 2004 lalu. Sebanyak 10 ISP dinyatakan
tidak beres izinnya, dan perangkat mereka disita dan disegel,
sehingga tidak dapat beroperasi. Penyegelan berdampak langsung
terhadap tutupnya lebih dari 70 warnet dan putusnya koneksi internet
pada 41 kantor instansi pemerintah dan sekolah, 5 perusahaan swasta,
serta 23 pelanggan personal. Artinya, penertiban yang telah
dilakukan ini melumpuhkan sekitar 50 persen internet di Yogyakarta.

Secara logis, semua orang pasti setuju bahwa industri apa pun yang
tumbuh di Indonesia haruslah berada pada koridor hukum dan peraturan
yang benar. Namun, melihat banyaknya jumlah ISP yang perizinannya
belum lengkap (sebagian malah belum memiliki izin sama sekali) dan
cukup besarnya jumlah pelanggan yang dilayani, harus disadari bahwa
ISP ilegal ini ternyata memegang peranan yang cukup signifikan pada
proses penyebaran internet di daerah-daerah. Di saat ISP-ISP besar
berkonsentrasi pada pengembangan usaha di Jakarta, daerah bisa
dibilang menjadi anak tiri. ISP yang melakukan operasi secara
nasional dan melakukan penetrasi ke daerah-daerah jumlahnya tidak
lebih dari jumlah jari tangan kita.

SEMAKIN majunya teknologi perangkat, untuk menjadi sebuah ISP dengan
kapasitas 2 mbps, tidak lagi harus menggunakan perangkat yang mahal
dan bermerek. Komputer personal yang dilengkapi beberapa kartu
jaringan (network card) sudah dapat difungsikan menjadi router dan
pengatur kecepatan koneksi pelanggan (bandwidth management). Atau
kalau mau lebih mudah, dengan perangkat lunak Mikrotik
(http://www.mikrotik.com) seharga 45 dollar AS, kita sudah bisa
mendapatkan aplikasi router yang cukup lengkap.

Untuk menyalurkan bandwidth ke pelanggan, tidak lagi dibutuhkan
perangkat jaringan yang mahal. Cukup dengan sepasang perangkat
wireless internet 2,4 GHz seharga kurang dari Rp 1 juta per buah dan
bisa dibeli dengan mudah di toko-toko komputer di Mangga Dua. Untuk
total investasi awal perangkat sebuah ISP kecil saat ini hanya
diperlukan biaya tidak lebih dari Rp 50 juta.

Menurut aturan, seluruh perangkat jaringan yang digunakan harus
disertifikasi. Masalah sertifikasi adalah masalah yang cukup
mengganjal dengan penyelenggaraan ISP murah ini. Misalnya untuk
perangkat router dengan menggunakan PC, hampir tidak mungkin
dilakukan sertifikasi, mengingat spesifikasi router bisa di-upgrade
sewaktu-waktu jika dibutuhkan, dan juga konfigurasi antara satu PC
router dengan lainnya bisa berbeda.

Demikian juga dengan perangkat wireless, seiring dengan perkembangan
teknologi, hampir tiap tiga bulan setiap merek perangkat
mengeluarkan jenis yang baru, padahal setiap kali keluar jenis baru,
perangkat tersebut harus disertifikasi lagi. Merek yang tersedia di
pasaran pun beragam, dan sebagian dari merek-merek tersebut tidak
ada yang telah disertifikasi. Sertifikasi ini seharusnya dilakukan
oleh produsen, dan bukan oleh toko penjual, ataupun ISP sebagai
pemakai. Seharusnya, perangkat yang telah sesuai dengan standar baku
internasional secara otomatis juga diakui oleh pemerintah dan tidak
perlu lagi disertifikasi.

Aturan yang mengatur tata cara perizinan ISP di Indonesia saat
dibuat memang diarahkan untuk mengatur perusahaan besar. Saat itu
belum terpikir bahwa dengan modal kecil bisa membuat ISP. Pemerintah
(dalam hal ini Ditjen Postel) perlu lebih bijaksana menyikapi hal
ini. Fungsi pemerintah sebagai pembina perlu lebih dikedepankan
daripada fungsi sebagai regulator dan penertib. Postel perlu membuat
langkah-langkah operasional yang nyata untuk merangkul ISP-ISP kecil
yang sebagian masih takut untuk memulai proses perizinan.

Sandungan-sandungan seperti soal sertifikasi yang perlu ditinjau
ulang, karena perkembangan industri perangkat telekomunikasi memang
sangat pesat dan dinamis, sehingga syarat-syarat sertifikasi baku
yang ada menjadi sangat menghambat. Jangan sampai Postel hanya
berpegang pada prosedur perizinan baku dan mengesampingkan fakta
bahwa berbagai ISP kecil inilah yang menjadi ujung tombak penyebaran
internet ke daerah-daerah.

Sudah saatnya ISP-ISP kecil ini didukung untuk bisa hidup dengan
layak, sebagaimana juga masyarakat Indonesia yang tinggal di daerah
juga layak dan harus dapat mendapatkan akses internet yang mudah dan
murah.

Valens Riyadi Pelaku Industri Penyedia Jasa Internet dan Menjabat
sebagai Korwil I APJII Wilayah Yogyakarta

---
Ruang Kantor siap pakai, fasilitas lengkap, meja, ac. Hubungi
Jl Pucang Anom Timur I/19, Surabaya 60282, Tel. 031 5013570
Fax. 031 5048504 http://www.warnet2000.net/kantor.htm


Visit our website at http://www.warnet2000.net 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/warnet2000/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke