Milis Yon-I/ITB ini haruslah disebut sebagai milis refleksi, milis
kenang-kenangan.
Karena isi postings-nya didominasi oleh refleksi kegiatan masa lalu dari
para members milis ini ketika mereka masih aktif sebagai anggota Yon-I pada
"jaman dahulu".

Mengapa ada dominasi posting yang reflektif itu?
Salahsatu sebabnya tentulah karena memang kegiatan Yon-I sekarang ini tidak
terlalu tinggi intensitasnya, sehingga tidak banyak yang "laik muat" sebagai
postings dalam milis ini. Sehingga berita kegiatan mutakhir menjadi
minoritas di milis ini.
Sebab lain, yang menurut saya lebih menentukan, adalah jangka waktu yang
panjang sejak tahun-tahun awal Yon-I sampai sekarang memang menyimpan banyak
kisah-kisah kenangan. Selama ini tidak ada media untuk menyalurkannya yang
se-instant milis ini, dan sekarang perkembangan teknologi memungkinkan
munculnya kisah-kisah yang reflektif itu. Maka membanjirlah kisah masa lalu
di sini.

Yang namanya "masa lalu" itu pun tidak tanggung-tanggung "ke-antik-annya".
Misalnya kisah-kisah klasik dari Joseph Wardi yang ber-serial, dan dari
Tutun Suntana beserta foto-fotonya, menceritakan kejadian-kejadian yang
berlangsung hampir 40 tahun yang lalu.
Posting yang berjudul "tahun-tahun penuh warna" yang tersebut pada subject
di atas ini, walau di-posting-kan sdr. Edy Christiono dari generasi yang
lebih kemudian, tetapi merupakan refleksi dari kegiatan anggota Yon-I yang
lebih senior pada 30 tahun yang lalu.
Cerita reflektif mengenai meninggalnya siswa latihan dasar Menwa Yon-I yang
dikisahkan generasi yang lebih muda, itu pun suatu kejadian yang terjadi
sudah belasan tahun yang lalu.

Tetapi hari ini saya ingin menyampaikan suatu kisah reflektif tentang Yon-I
yang terjadi belum lama berselang, yaitu di bulan-bulan pertama tahun 1998.
Refleksi ini sengaja saya posting-kan hari ini, karena tepat di tanggal 21
Mei ini pada 4 tahun yang lalu perjuangan para mahasiswa berhasil menurunkan
Soeharto dari tahta kepresidenannya.

Pada bulan-bulan itu para mahasiswa berjuang menggulirkan reformasi, dalam
suatu gerakan yang terus meningkat bagaikan bergulingnya bola salju. Pada
akhir bulan April 1998 intensitas gerakan itu sudah jauh lebih besar
daripada gerakan mahasiswa di tahun 1966 (di mana saya pribadi terlibat
cukup intens), karena kali ini sudah menyebar ke semua kota universitas di
seluruh Indonesia, sedangkan pergolakan 1966 praktis hanya berlangsung di
Jakarta dan Bandung.

Di tengah-tengah gejolak gerakan reformasi itu, para mahasiswa anggota Yon-I
merasa berada dalam dilema.
Ikut terjun ke tengah-tengah demonstrasi mahasiswa dirasakan sebagai tidak
sejalan dengan "garis" pimpinan ITB, padahal selama seperempat abad sudah
ditanamkan doktrin bahwa Yon-I adalah aparat Rektor selaku Kamatrik.
Tidak ikut berdemo dianggap sebagai melawan arus perjuangan para mahasiswa
yang pada saat itu sudah nyata-nyata terlihat sebagai perwujudan dari
aspirasi masyarakat bangsa secara keseluruhan.
Secara simplistis dapat dikatakan bahwa kalau anggota Yon-I ikut demo, lalu
ternyata Soeharto bertahan, maka Yon-I bubar. Dan sebaliknya kalau tidak
ikut demo, lalu ternyata Soeharto jatuh, Yon-I akan bubar juga.
Para anggota Yon-I mendiskusikan langkah apa yang pas, tetapi keputusan
sulit diperoleh. Sementara tanggungjawab pengambilan keputusan yang
menentukan mati-hidupnya Yon-I itu tentu ada pada Dan Yon.

Dalam suasana penuh tanda-tanya besar itu, Dan Yon, ketika itu sdr. Herman
Wijaya, mengambil suatu keputusan yang sungguh berani. Yaitu mengundang
saya, kalau tidak salah ingat pada Maret 1998 (tanggal berapanya barangkali
Herman Wijaya lebih ingat) untuk memberikan pandangan mengenai apa yang
sebaiknya dilakukan Yon-I dalam situasi dilematis itu.

Mengapa saya katakan "sungguh berani".
Karena saya pribadi waktu itu dalam status "berkasta paria".
Beberapa bulan sebelumnya, akhir Januari awal Pebruari 1998, saya bersama
beberapa teman lainnya (Arifin Panigoro, Zainal Arifin, Andi Sahrandi, yang
kebetulan semuanya alumni Yon-I) diinterogasi Koserse Polri, atas permintaan
BAIS (sekarang BIA) untuk tuduhan makar/subversif hendak menggulingkan
Soeharto. Walaupun tidak ditahan berlama-lama, tetapi berminggu-minggu
setelah itu saya secara berkala disidik di Mabes Polri dan 24 jam
dibayang-bayangi petugas intel. Sehingga banyak teman-teman yang risih
berada dekat-dekat saya.
Pada bulan-bulan akhir 1997 dan awal 1998 itu sedang berlangsung proses
pembentukan Yayasan Corps Yon-I, di mana saya diminta untuk ikut menjadi
anggota Badan Pendiri bersama beberapa senior lainnya, termasuk juga sdr.
Arifin Panigoro (Ketua Corps, apa kabarnya ya Yayasan ini?). Tetapi ketika
Arifin dan saya jadi tertuduh makar, ada senior-senior tertentu yang menekan
Dan Yon untuk mencoret nama Arifin dan saya dari daftar Badan Pendiri,
karena "kita perlu clearance bagi dua orang ini" katanya.
Sementara itu sdr. Andi Sahrandi ditekan di perusahaan tempatnya berkerja
untuk mengundurkan diri, karena posisinya sebagai tertuduh makar, walau
bersifat pribadi tetapi "akan  menempatkan perusahaan dalam bahaya" katanya.
Lain lagi sdr. Zainal Arifin, saat itu ia pengurus suatu yayasan paguyuban
ex mahasiswa Bandung yang di tahun 1966 aktif dalam gerakan pembaharuan.
Karena statusnya sebagai tertuduh makar itu Yayasan mengadakan rapat untuk
"mengadili" Zainal, karena kegiatan oposisinya itu walau bersifat pribadi
tetapi dapat "membawa imbas yang membahayakan kelangsungan hidup Yayasan"
katanya.

Namun walaupun demikian toh Dan Yon Herman Wijaya berani mengundang
salahsatu dari para "paria" ini untuk menjadi narasumber utama menyampaikan
sikap dan pandangannya pada rekan-rekannya di Yon-I.
Apa yang menjadi pertimbangan Herman Wijaya ketika itu memilih saya, sampai
sekarang saya sendiri tidak tahu.

Pertemuan diadakan malam hari di salahsatu ruang kuliah yang saya tidak tahu
ruang nomor berapa (jaman saya mahasiswa ruang itu belum dibangun), tetapi
letaknya di seberang Student Center Barat.
Di situ hadir semua anggota Yon-I yang aktif, para pimpinan dan staf, bahkan
juga para dosen pembina.
Dan atas permintaan saya, diundang pula, dan hadir, teman-teman dari
Yon-II/Unpad, yang hadir bersama Dan Yonnya.
Saya lihat juga hadir beberapa alumni senior yang berdomisili di Bandung,
antara lain mantan Dan Yon sdr. Iwan ZG. Kalau saya tidak salah ingat, ada
juga sdr. Theo Pieters, senior dari angkatan Wala 1959.

Untuk datang ke pertemuan ini saya mengajak serta dua orang rekan senior
lainnya.
Rekan alumni senior yang pertama adalah sdr. Andi Sahrandi, yang saat itu
sangat intens "bergerak" di tengah-tengah para aktivis mahasiswa di berbagai
kota-kota di Indonesia (jadi memang tidak terlalu salah info di BAIS ketika
itu, he he he). Dalam posisinya itu ia bisa memberikan testimoni tangan
pertama mengenai aspirasi yang berkembang di kalangan berbagai lapisan
mahasiswa pada saat itu, yaitu bahwa reformasi identik dengan turunnya
Soeharto.
Rekan alumni senior yang kedua yang saya ajak adalah sdr Hardi Soesilo, yang
waktu itu (dan sampai sekarang masih) anggota DPR dari Golkar. Di luar
dugaan para hadirin, justru dalam posisinya itu ia bisa memberikan testimoni
tangan pertama mengenai pandangan yang berkembang di kalangan elite ruling
party pada saat itu, yang mayoritasnya juga sudah mengehendaki lengsernya
Soeharto.

Tentu tidaklah akan menarik kalau diceritakan jalannya pertemuan secara
rinci.
Singkat cerita kami bertiga berhasil menjelaskan secara sistematis dan logis
bahwa jatuhnya Soeharto sudah merupakan keniscayaan, bahkan era penguasa 3
dekade itu sudah berada pada hari-hari terakhirnya.
Dan bahwa posisi yang terbaik bagi anggota Yon-I dalam situasi itu adalah
berjuang bahu-membahu dengan rekan-rekannya para mahasiswa lainnya
menumbangkan rezim Orba.
Pemahaman akan keniscayaan itu dalam waktu singkat telah dapat diserap oleh
para anggota Yon-I, Yon-II dan dosen pembina yang hadir pada malam itu.
Sehingga sisa waktu pada sebagian besar dari malam itu hanya tinggal diisi
dengan pembicaraan mengenai aspek teknis pelaksanaan keikut-sertaan anggota
Yon-I dalam demo-demo mahasiswa. Misalnya disepakati dalam ikut berdemo
tidak pakai uniform. Juga dibahas combat tactics "tangan-kosong" yang dapat
dilakukan anggota Yon-I, yang lebih terlatih dari mahasiswa umum, untuk
menjaga soliditas barisan mahasiswa ketika terjadi benturan dengan aparat.



Saya ingin menutup refleksi ini dengan menceritakan suatu fenomena aneh yang
terjadi malam itu.

Ketika pertemuan secara resmi sudah usai, kami masih ngobrol-ngobrol
menjelang pulang sampai larut malam. Yang banyak ngobrol dengan kami para
alumni senior adalah para dosen pembina.
Pada kesempatan itu, salahsatu dari dosen pembina kepada saya berpesan
sebagai berikut:
"Pak Djoni, dalam beberapa hari lagi Pak Harto akan pergi ke luar negeri (ke
KTT Non Blok di Mesir).
Tolong beritahu massa mahasiswa yang berdemonstrasi, agar lebih berhati-hati
ketika Pak Harto berada di luar negeri itu. Karena menurut catatan saya,
sering sekali ketika Soeharto berada di luar negeri, di sini pecah
kerusuhan.
Kelihatannya ini suatu taktik standar dari Soeharto, setiap posisinya
terdesak dia akan merekayasa kerusuhan, dan sebelum itu dia lebih dahulu
pergi ke luar negeri, sehingga di pandangan internasional ia punya alibi,
sementara itu kembalinya di tanah air, penyelesaian kerusuhan itu setiap
kali akan membuat ia muncul kembali dalam posisi yang lebih kuat".
Coba Pak Djoni perhatikan, apa sih urgensinya bagi Pak Harto untuk pergi ke
luar negeri dalam hari-hari ini di mana situasi negara sudah genting begini?
Sehingga kuat dugaan saya mengenai hal ini (akan pecahnya kerusuhan), jadi
sekali lagi tolong ingatkan teman-teman mahasiswa untuk menurunkan
intensitas demonstrasi ketika Pak Harto di luar negeri".

Tentu saja permintaannya untuk menurunkan intensitas demo tidak saya penuhi,
karena walaupun saya mau pun, pasang naik gerakan mahasiswa sudah pada
point-of-no-return sehingga tidak bisa di-rem lagi oleh siapapun.
Tetapi ternyata benarlah bahwa pada tanggal 13-15 Mei pecah kerusuhan di
Jakarta dalam kedahsyatan yang belum pernah ada dalam sejarah Indonesia,
setelah sebelumnya beberapa mahasiswa tewas ditembaki.

Saya tidak tahu apakah secara statistik benar bahwa dalam beberapa kali
ketika Soeharto pergi ke luar negeri maka di dalam negeri terjadi kerusuhan.
Lebih-lebih lagi sulit bagi kita untuk dapat mengetahui apakah Soeharto-lah
yang merekayasa kerusuhan-kerusuhan itu.
Tetapi yang pasti, tentang pecahnya kerusuhan Mei 1998 itu, prediksi dosen
pembina itu ternyata benar (walau ternyata Soeharto tidak tampil lebih kuat
bahkan akhirnya tumbang).
Sayang sekali dosen pembina itu saya lupa namanya.
Barangkali sdr. Iftikar masih ingat??


Wasalam.



--[YONSATU - ITB]----------------------------------------------------------
Online archive : <http://yonsatu.mahawarman.net>
Moderators     : <mailto:[EMAIL PROTECTED]>
Unsubscribe    : <mailto:[EMAIL PROTECTED]>
Vacation       : <mailto:[EMAIL PROTECTED]?BODY=vacation%20yonsatu>
1 Mail/day     : <mailto:[EMAIL PROTECTED]?BODY=set%20yonsatu%20digest>

Kirim email ke