Wah, Bung Syafril. Merinding saya membaca tulisan ini.
Kenapa ya,Tidak ada yang mencalonkan Kwik Kian Gie menjadi Gubernur BI ?
Apakah seorang seperti Kwik ini kuat dan gagah berbicara ketika yang
bersangkutan diluar system saja ? Dan kalau beliau berada di dalam system
perilakunya akan berubah ?
Sekarang beliau duduk sebagai Mentri Negara Perencanaan
Pembangunan/Bappenas, kenapa dia tidak pernah mengungkapkan hal-hal yang
sehubungan dengan jabatannya itu maupun dengan Bappenas.
Apakah beliau ini hanya canggih untuk "looking outward" saja atau "only good
on looking beyond his own fence"
Berkali-kali saya membaca tulisannya dan saya berkesimpulan bahwa beliau
sangat mengetahui problem-problem yang dihadapi oleh ekonomi Indonesia
bahkan juga dengan memberi alternatif2 solusinya.
Tetapi yang paling mengherankan saya, dia berada dipusat kekuasaan tetapi
mengapa dia tidak dapat berbuat ataukah dia tidak diberi kesempatan untuk
berbuat?
Atau ia hanya seorang analis saja semata and nothing else !!!!
So, why............???????



----- Original Message -----
From: "Syafril Hermansyah" <[EMAIL PROTECTED]>
To: <[EMAIL PROTECTED]>
Sent: Monday, February 24, 2003 11:36 PM
Subject: [yonsatu] Obligasi Rekap


> Tanggapan Soal Obligasi Rekapitalisasi
>
> Kwik Kian Gie
>
> Di Suara Pembaruan tanggal 10 Februari 2003, Sdr Elvin Masassya
> menanggapi artikel saya yang dimuat di harian Kompas tanggal 10 Februari
> 2003 juga.
>
> Seluruh Kabinet Gotong Royong mengetahui bahwa lambat laun masalah
> Obligasi Rekapitalisasi (OR) sudah menjadi obsesi dan setiap kali ingat
> membuat saya tertekan (depressed). Hal ini antara lain juga disebabkan
> dalam pekerjaan saya yang bertanggung jawab ikut serta dalam penyusunan
> anggaran negara, terutama anggaran pembangunannya, setiap kali menangis
> mendengarkan penderitaan saudara-saudara sebangsa setanah air kita yang
> miskin dan menderita karena sakit, karena tergusur (displaced) berkenaan
> dengan musibah banjir, jiwanya terancam karena terjadi kerusuhan,
> menganggur, hidup di tumpukan sampah yang penuh dengan kuman, dan
> sebagainya.
>
> Mereka ini menurut konstitusi kita sama-sama pemilik dari bumi, air dan
> segala kekayaan yang terkandung di dalamnya. Saya juga menangis membaca
> laporan Deputi saya betapa sekitar paling sedikit 50% dari infrastruktur
> kita sudah rusak berat dan tidak punya cukup uang untuk membenahinya.
> Menangis dan juga terkejut betapa TNI/Polri ternyata harus menjerit
> karena lumpuhnya persenjataan dan minimnya gaji para anggotanya.
>
> Yang membuat saya menjadi tertekan adalah jumlah uang yang mereka
> butuhkan untuk kesemuanya ini berkisar antara puluhan sampai ratusan
> miliar rupiah. Memang ada yang sampai beberapa triliun. Tetapi jauh di
> bawah angka-angka yang dibutuhkan untuk memberi subsidi kepada bank-bank
> yang sebenarnya secara finansial dan komersial sudah bangkrut, tetapi
> dipertahankan dengan subsidi dalam jumlah uang yang tidak pernah ada
> taranya dalam sejarah subsidi mensubsidi. Kesemuanya ini membuat saya
> dan banyak kawan lainnya memaksa diri terus-menerus mencari solusi
> bagaimana uang yang demikian banyaknya dapat dihemat.
>
> Pembayaran OR
>
> Pikiran saya tidak terlepas dari percakapan dengan Stanley Fischer dan
> Hubert Neiss ketika program merekap bank-bank kategori B sedang
> diberlakukan. Ketika itu saya menanyakan bagaimana cara pemerintah
> membayar jumlah uang yang begitu besar? Olehnya dijawab bahwa OR itu
> tidak dimaksud untuk dibayar, karena OR dipakai sebagai instrumen untuk
> mencapai dua tujuan. Yang pertama supaya bank serta merta memenuhi
> kecukupan modal atau CAR yang dipersyaratkan (ketika itu 4%). Sekaligus
> OR juga mengakibatkan pendapat- an bunga bagi bank rekap sehingga serta
> merta juga membuat bank yang rugi menjadi laba.
>
> Tentang pembayaran OR oleh pemerintah dikatakan bahwa seiring dengan
> membaiknya perekonomian pada umumnya, bank-bank juga akan mampu menarik
> deposito dari masyarakat dan menyalurkannya kepada dunia usaha dengan
> spread yang positif. Spread positif ini akan melampaui keseluruhan
> komponen biaya sehingga akan terciptakan laba neto. Laba neto ini
> memperbesar CAR sampai melampaui angka yang dipersyaratkan. Modal ekuiti
> diturunkan dengan cara menurunkan nilai OR yang senilai itu juga. Karena
> OR sudah musnah dalam pembukuan, fisiknya dikembalikan kepada
> pemerintah. Lambat laun dan setapak demi setapak OR akan habis. Jadi
> bank akan dapat mengembalikan OR atas kekuatannya sendiri membuat laba
> dan dari laba ini OR dikembalikan.
>
> Seterusnya bank beroperasi tanpa perolehan bunga dari OR, tetapi dari
> spread positif yang melampaui keseluruhan biaya operasional bank.
> Setelah itu barulah bank dijual. Bank yang dijual sudah terbebas dari
> subsidi oleh pemerintah. Kalau belum, seperti halnya dengan BCA, laba
> neto BCA 100% datangnya dari bunga OR walaupun sudah menjadi milik
> swasta. Sebagian dari laba neto ini dibagikan sebagai dividen. Ini tentu
> bukan maksudnya. Subsidi dimaksud untuk menyehatkan bank, bukan untuk
> membagi dividen kepada pemilik swasta.
>
> OR sebagai instrumen yang dimaksud oleh Stanley Fisher dan Hubert Neiss
> seperti yang dijelaskan tadi pelaksanaannya berbeda, terutama setelah
> mereka tidak lagi di IMF. Jadinya adalah seperti yang sekarang ini
> dengan beban luar biasa beratnya.
>
> Tentang instrumen yang saya usulkan sebagai pengganti OR yang ternyata
> lain pelaksanaannya dengan ide awal Stanley Fischer dan Hubert Neiss
> tidak terlepas dari pikiran Paul Volcker. Seperti kita ketahui, BPK
> melaporkan bahwa dari Rp 114,54 triliun BLBI yang dikucurkan oleh BI,
> 95,78% tidak dapat dipertanggungjawabkan. Timbul masalah bahwa kalau BI
> harus menanggungnya, BI akan mengalami Modal Ekuiti negatif yang sangat
> parah yang sama saja dengan bangkrut.
>
> Setelah sangat lama tidak ada penyelesaiannya, Menko Perekonomian
> Dorodjatun minta bantuan nasihat dari Paul Volcker, mantan Gubernur Bank
> Sentral AS. Paul Volcker menganjurkan supaya Modal Ekuiti BI yang
> negatif itu dijadikan positif dengan cara injeksi oleh Departemen
> Keuangan. Tidak dengan uang tunai, melainkan dengan instrumen yang
> dinamakan Capital Maintenance Note.
>
> Kertas ini mengandung angka yang dipasang sesuai dengan kebutuhan. Tidak
> mengandung kewajiban membayar bunga oleh BI.
>
> Tetapi kalau BI mau membayar bunga dan mampu juga tidak apa-apa.
> Demikian yang tercantum dalam nasihat tertulis oleh Paul Volcker. Saya
> salah menggunakan istilah zero coupon bond. Mestinya saya meniru Paul
> Volcker dengan menggunakan istilah Capital Maintenance Note dengan
> karakteristik yang persis seperti yang dinasihatkan oleh Paul Volcker.
> Kesemua pikiran ini karena merasa bisa memperkecil beban pemerintah
> dalam pembayaran OR beserta bunganya yang minimal lebih dari seribu
> triliun rupiah, tetapi skenarionya bisa sampai ribuan triliun rupiah.
>
> Tetapi kalau tidak bisa, karena bank-bank rekap memang harus
> dipertahankan berapapun biayanya, marilah kita membayangkan apa jadinya
> dengan bank-bank rekap itu dalam jangka menengah sampai jangka agak
> panjangnya dengan pengertian OR sama sekali tidak ditarik. Pemerintah
> konsisten membayar jumlah pokok yang besarnya Rp 430 triliun dan sudah
> di-reprofile. Akibatnya bunga membeng- kak. Menurut pemerintah kepada
> Komisi IX, dampak reprofiling adalah bahwa kewajiban membayar bunga
> membengkak dengan Rp 800 miliar per tahunnya selama 8 ta- hun.
>
> Jadi total kewajiban pembayaran untuk pokok OR dan bunganya menjadi Rp
> 430 triliun ditambah bunga Rp 600 triliun ditambah pembengkakan karena
> reprofiling sebesar 8 kali Rp 800 miliar atau Rp 6,4 triliun. Seluruhnya
> menjadi Rp 1.036,4 triliun. Ini versi pemerintah. Sebelumnya Divisi
> Perencanaan dan Sekretariat BPPN membuat skenario antara yang terbaik
> dan terburuk yang jatuhnya antara Rp 1.030 triliun sampai Rp 14.000
> triiun.
>
> Daftar OR yang sudah di-reprofile saya berikan kepada staf Bappenas
> untuk dihitung dampaknya terhadap total kewajiban pemerintah untuk
> membayar pokok OR beserta bunganya. Mereka tidak bisa tiba pada angka
> yang kurang dari Rp 1.500 triliun. Gatot Arya Putra dkk (mantan Divisi
> Perencanaan dan Sekretariat) tetap pada pendiriannya bahwa setelah
> reprofiling kewajiban pembayaran pemerintah kurang lebihnya masih sama
> saja dengan skenario yang pernah dibuatnya.
>
> Jadi tanpa peduli versi manapun yang akan terjadi, tanpa peduli
> pemerintah konsisten membayar sepenuhnya. Apakah bank akan menjadi
> sehat? Kalau ya, apa dasarnya, mana business plan-nya dan mana
> kuantifikasi dari business plan tersebut berupa proyeksi cash flows,
> proyeksi Neraca dan proyeksi Perincian Rugi/Laba. Boleh kan publik
> mengetahuinya kalau yang dipakai uang publik?
>
> Yang lebih mendasari pikiran ini adalah bank yang rusak, tetapi
> organisasi dan jaringan (network) sebagai bank masih bagus dan utuh.
> Hanya finansialnya rusak. Lantas ada sekelompok manusia akhli manajemen
> profesional bank diberi tugas atau di-challenge. Anda dihadapkan pada
> bank yang finansialnya rusak seperti ini. Kecukupan modalnya dijamin
> dengan capital maintenance note a la Paul Volcker. Rugi/ labanya dijamin
> dengan uang tunai sampai tidak rugi dengan subsidi dari pemerintah.
> Kepadanya diberi waktu 8 tahun untuk membuat bank mampu membuat laba
> neto atas kekuatannya sendiri tanpa subsidi lagi. Kalau jawabannya tidak
> berani, apakah banknya akan menjadi viable untuk hidup terus? Kalau ya,
> hitung-hitungannya bagaimana?
>
> Moral Hazards
>
> Tentang moral hazards, ini terjadi di mana saja selama manusianya itu
> terjangkit mental, mindset, moral dan akhlak KKN. Bukan hanya di
> bank-bank BUMN. Di mana saja dan dalam kondisi apa saja moral hazards
> terjadi setiap hari.
>
> Apakah dengan subsidi oleh pemerintah yang sampai saat ini konsisten
> dibayar terus itu bank-bank bebas dari moral hazards? Moral hazards
> terjadi besar-besaran di masa lampau dengan hasil malapetaka yang kita
> alami sekarang ini. Sistem ada pengaruhnya, tetapi hanya sangat-sangat
> sedikit. Sistem yang paling perfek, tetapi manusianya rusak semua,
> banyak sekali yang dikorup.
>
> Sebaliknya sistem tidak sempurna kalau manusianya jujur semua akan
> terbebas dari moral hazards. Ini tidak boleh diartikan bahwa saya tidak
> percaya pada sistem yang baik. Sistem yang baik berguna untuk efisiensi
> dan efektivitas. Juga ada dampaknya pada peluang untuk moral hazards,
> tetapi sangat kecil.
>
> Sebagai contoh, sistem akuntansi adalah pemisahan fungsi antara fungsi
> pengambilan keputusan, fungsi penyimpanan dan fungsi registrasi.
> Maksudnya supaya korupsi hanya dapat dilakukan oleh 3 orang sekaligus,
> dan ini dianggap sulit, karena pasti ada dari 3 orang yang tidak mau
> diajak untuk bekerja sama dalam korupsi. Di Indonesia tidak demikian.
> Ratusan orang mau diajak korupsi bersama-sama sekaligus dan saling
> menutupi. Mengapa? Karena sudah rusak sama sekali dengan proses yang
> berlangsung demikian lamanya. Jadi moral hazards-nya kita cegah seperti
> kita mati-matian mencegah moral hazards yang setiap harinya terjadi di
> mana-mana.
>
> Penulis adalah Menteri Negara Perencanaan Pembangunan/Bappenas.
>
> Last modified: 20/2/2003
>
> --
> syafril
> -------
> Syafril Hermansyah<syafril-at-dutaint.co.id>
>
> --[YONSATU -
ITB]----------------------------------------------------------
> Online archive : <http://yonsatu.mahawarman.net>
> Moderators     : <mailto:[EMAIL PROTECTED]>
> Unsubscribe    : <mailto:[EMAIL PROTECTED]>
> Vacation       : <mailto:[EMAIL PROTECTED]>
>



--[YONSATU - ITB]----------------------------------------------------------
Online archive : <http://yonsatu.mahawarman.net>
Moderators     : <mailto:[EMAIL PROTECTED]>
Unsubscribe    : <mailto:[EMAIL PROTECTED]>
Vacation       : <mailto:[EMAIL PROTECTED]>


Kirim email ke